Tak Sekadar Ibadah, Haji adalah Gerbang Keilmuan Islam Nusantara
NU Online · Kamis, 5 Juni 2025 | 06:00 WIB
Ayung Notonegoro
Kolomnis
“Hai Anakku ki mas, marilah kita pergi haji, karena sekarang waktu orang naik haji, dan sebagai pula santri kamu tinggal juga dahulu di sini dan turutlah sebagaimana pekerti anakku!”
Percakapan Sunan Gunungjati kepada putranya, Maulana Hasanuddin di atas, dalam Hikayat Hasanuddin sebagaimana dikutip oleh Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (2020: 5), menyiratkan jika perjalanan haji jamaah asal Nusantara tak hanya sekadar beribadah haji. Tapi, juga bertujuan untuk menuntut ilmu.
Praktik ibadah haji yang juga sinambi menuntut ilmu agama tersebut, di kemudian hari, menjadi pintu gerbang arus literasi Islam Nusantara terbuka. Mereka menetap dalam waktu yang cukup lama, kitab-kitab dihasilkan, bahkan dipesan dengan memanfaatkan ritus ibadah haji yang mengharuskan adanya pergerakan dari Nusantara ke Hijaz dan sebaliknya tersebut.
Salah satu bentuk literasi Islam Nusantara yang melalui perlintasan haji tersebut adalah permintaan fatwa dari ulama-ulama di Hijaz. Dalam memberikan fatwa atau jawaban, sebagaimana diuraikan oleh Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (2013), tak jarang menuliskannya dalam sebuah karya tulis (hal. 139 – 145).
Ada beberapa karya tulis yang merupakan “pesanan” dari Muslim Nusantara. Dalam proses pembelajaran di Makkah ataupun di Madinah santri dari Nusantara mengajukan pertanyaan dan kemudian jawaban dari gurunya berbentuk sebuah kitab. Ibrahim al-Kurani (w. 1101 H / 1690 M), seorang ulama terkemuka di Haramain yang menjadi guru ulama dari berbagai negara, menulis kitab ‘Ithafu-l-Dzaki bi Syarahi-l-Tuhfati-l-Mursalah ila Ruhi-l-Nabi. Kitab tersebut ditulis untuk merespons persoalan yang dialami oleh santri-santrinya dari Nusantara.
Al-Kurani menuliskan karyanya dalam bidang tasawuf tersebut sebagai tanggapan atas karya Fadhl-u-Allah al-Burhanpuri yang berjudul al-Tuhfatu-l-Mursala ila Ruhi-l-Nabi yang diselesaikannya pada tahun 1000 H/ 1590 M. Tanggapan al-Kurani tersebut ditujukan atas permintaan para murid-muridnya yang berasal dari Nusantara. Hal ini sebagaimana tersirat dari kata pengantar dalam karyanya tersebut:
“Kami mendapatkan informasi yang dapat dipercaya dari sebuah kelompok Jawiyyin (Nusantara) bahwa telah tersebar di kalangan penduduk tanah-tanah Jawah (Nusantara) beberapa buku mengenai haqiqah ......diantara buku-buku tersebut adalah sebuah ringkasan yang berjudul al-Tuhfatul Mursalah.....”
Ibrahim al-Kurani tak hanya mengarang ‘Ithaful Dzaki guna menjawab permasalahan-permasalahan yang dialami murid-muridnya dari Nusantara. Al-Kurani kembali menuliskan sebuah kitab dengan pembahasan yang sama tentang tasawuf yang memadukan antara syariat dan hakikat. Kitab tersebut berjudul al-Jawabatu-l-Gharawiyyah ‘an Masa’ili-l-jawiyyah al-Jahriyyah.
Karya tulis lain yang ditujukan untuk menjawab permasalahan-permasalahan keagamaan orang-orang Nusantara juga ditulis oleh Abdul Syukur al-Syami. Karya yang berjudul Ziyadah min Ibarati-l-Mutaqaddimin min Ahli-l-Jawi – Tambahan Atas Contoh-Contoh yang Terdahulu dari Penduduk Jawi (Nusantara) – itu mengupas tentang hakikat dan keesaan Tuhan. Abdul Syukur sendiri, besar kemungkinan, adalah murid dari Ibrahim al-Kurani.
Ada pula seorang ulama terkemuka tanah Makkah yang menuliskan tentang permasalahan umat Islam Nusantara. Ia adalah Tajjudin bin Ahmad (w. 1066 H / 1656 M), atau dikenal pula dengan nama Ibnu Ya’qub. Ia merupakan ulama yang produktif menulis, mulai tentang bahasa Arab sampai sufistik. Sedangkan karyanya yang ditujukan untuk menjawab permasalahan murid-muridnya asal Nusantara menguraikan tentang konsep wahdaniyah (keesaan Tuhan). Kitab itu berjudul al-Jadatul Qawimah ila Tahqiq Mas’alatil Wujud wa Ta’alluail Qudratil Qadimah fil Jawab an al-Is’ilatil Waridah min (Bilad) Jawah.
Tidak hanya ulama-ulama Haramain pada abad ke-17 yang menuliskan kitab-kitab untuk menjawab permasalahan umat Muslim di Nusantara. Salah seorang ulama dan penulis produktif abad ke-18 bernama Sulaiman al-Kurdi (1125-1194 H / 1713-1780 M) juga menuliskan kitab yang ditujukan kepada Muslim Nusantara. Karya yang berjudul al-Durratul Bahiyyah fi Jawabil As’ilatil Jawiyyah itu, berdasar penelitian dari Azyumardi Azra, tak diketahui tentang isinya.
Selain dengan meminta fatwa tersebut, yang tak kalah menariknya adalah haji menjadi sarana distribusi kitab-kitab terbitan Timur Tengah ke Nusantara. Orang yang sedang menunaikan rukun Islam kelima tersebut menjadi medium sebelum adanya media pos atau kurir sebagaimana dewasa ini.
Tradisi tersebut, misalnya, dipraktikkan oleh Manshur bin Dawud di Awe Geutah, Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen, Aceh. Dalam sebuah surat tertanggal 4 Syaban 1340 H (1 April 1922 M), sebagaimana yang diungkap oleh Masykur Syafruddin di buku “Surat-Surat Aceh-Mekkah (2023)”, menitip kitab kepada seorang teungku di Cot Meurak, dekat Bandar Bireuen. Demikian kutipan surat yang ditulis dengan aksara Arab-Jawi tersebut:
“Harap perhamba sebesar-besar harap, apabila datang Teungku guru perhamba atas Negeri Mekkah Al-Musyarrafah, Teungku tolong beli kitab Bujairamy ‘ala Fathil Wahhab, satu yang nomor satu, yakni yang ada kulit dan khat baik dan qirthas putih. Jikalau tiada putih, jadi yang kuning. Dan rupia akan harganya, qadar dua puluh rupia, sekarang perhamba kasih dalam tangan Teungku. Kalau tidak cukup, Teungku kasih hutang kepada perhamba. Kemudian hari, perhamba bayar dalam Bandar Birun. Itulah adanya.”
Tak hanya di Aceh, di Jawa juga dapat kita temukan peristiwa yang serupa. Seperti halnya dikemukakan sejumlah surat yang diteliti Komunitas Pegon dari koleksi Kiai Saleh Lateng, Banyuwangi (1862-1952). Ada dua buah surat yang menjelaskan tentang praktik distribusi kitab-kitab terbitan Timur Tengah ke Nusantara.
Di antaranya dalam surat yang dikirim oleh Hasan bin Kholil (tanpa tanggal). Ia menulis dengan menggunakan bahasa Madura bercampur Arab dan aksara Pegon. Berikut sejumlah kutipannya:
“Wa rabian, kaule makerem kitab de’ jama’ahna Syaikh Raddin. Matur panapah, bunten?”
Maknanya kurang lebih: keempat, saya mengirimkan kitab kepada jama’ahnya Syaikh Raddin. Adakah yang disampaikannya?
Dilanjutkan lebih jauh, Hasan menawarkan demikian: “Sabian, lamun kasokan kitab, sampean mugi e sebut e delem surat (Ketujuh, jika anda menginginkan kitab, silakan anda sebutkan dalam surat).
Dari surat di atas, terjadi transaksi pengiriman kitab yang memanfaatkan arus jamaah haji. Kiai Saleh mendapatkan kitab sekaligus bisa memesan kitab kepada Hasan bin Kholil melalui perantara jamaah haji.
Praktik tersebut juga diungkapkan dalam surat yang dikirim oleh Muhammad Romli bin Abu Bakar dari Makkah kepada Kiai Saleh yang bertarikh 30 Jumadil Akhir 1332 H (27 April 1914 M). Surat berbahasa Madura bercampur Arab dan beraksara Pegon itu, berbunyi demikian:
“Wa aidlan badan kaule ngatorna alamat al-hayyah wa-l-mahabbah kitab ka’dintoh karena buru deteng se ngaji dari Mesir. Karena ajunan sampean saben-sabenah kasokan de’ akitab anyar. Insyaallah kelamon bede kitab anyar ajunan sampean kereme de’a pos.”
Terjemahnya:
“Dan juga, saya [Muhammad Romli] menghaturkan rasa hormat dan cinta saya [kepada Kiai Saleh] dengan mengirimkan kitab kesana, karena yang mengaji di Mesir baru datang [ialah yang membelikan kitab di Mesir]. Karena engkau dahulu senang jika terdapat kitab baru. Insyallah, jika ada kitab baru, bakal saya kirim lagi kepada tuan lewat pos.”
Dari surat di atas, terkonfirmasi jika tak hanya kitab-kitab terbitan Hijaz saja yang diinginkan oleh Kiai Saleh. Termasuk kitab-kitab baru yang dicetak di Mesir. Kitab tersebut kemudian dibawa ke Hijaz dan kemudian tersebar hingga ke Nusantara.
Jika menengok akhir abad 19 hingga awal abad 20, memang Hijaz dan Mesir menjadi tempat penerbitan kitab-kitab keislaman yang maju di masanya. Sebagaimana diungkapkan oleh Filiz Digiroglu dalam Malay Publications Printed in The Ottoman Empire and Mecca Provincial Printing House sebagaimana dimuat dalam Studies on The Relations Between The Ottoman Empire and Southeast Asia (2024: 111-112), Makkah menjadi tempat penerbitan negara di masa Kesultanan Utsmaniyah guna menerbitkan kitab-kitab keislaman, termasuk karya-karya ulama Nusantara. Di antaranya adalah penerbitan Matba’ah al-Mirriyah bi Makkati-l-Mahmiyah. Percetakan negara ini berdiri pada 1300 H atau sekitar 1883.
Selain itu, juga ada sejumlah percetakan kitab swasta di Makkah. Salah satunya adalah percetakan At-Taraqqi al-Majidiyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Majid Kurdi (L. 1294 H/ 1877 M) pada 1327 H/ 1909 M. Sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Fauzi Ilyas (2023: 86-88), percetakan tersebut merupakan milik dari ipar seorang ulama Nusantara yang tinggal di Makkah, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Dalam waktu empat tahun awal, percetakan ini telah menerbitkan tak kurang dari 100 judul yang berasal dari ulama Timur Tengah, bahkan ulama Nusantara.
Pergerakan kitab-kitab dalam perjalanan haji tersebut, memberikan dampak yang positif. Menjadi transfer pengetahuan yang mendinamisasi dan mencerdaskan warga Nusantara. Bagaimana dengan saat ini?
Ayung Notonegoro, pemerhati sejarah NU, founder Komunitas Pegon
Terpopuler
1
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
2
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
3
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Khutbah Jumat: Meraih Hikmah Kurban di Hari Raya Idul Adha
Terkini
Lihat Semua