Fragmen

Hari Arafah: Berdirinya Liga Muslimin Indonesia, Bersatunya NU, Perti, dan PSII

NU Online  ·  Jumat, 6 Juni 2025 | 11:47 WIB

Hari Arafah: Berdirinya Liga Muslimin Indonesia, Bersatunya NU, Perti, dan PSII

Perdana Menteri Wilopo berpidato saat pembentukan Liga Muslimin Indonesia (Foto: Arsip Nasional Republik Indonesia)

Hari Arafah menjadi momen yang istimewa, yang akan selalu dikenang oleh umat Islam sedunia. Dalam kitab Tafsîr Mafâtîhul Ghaib (Fakhruddin Ar-Razi, Darul Fikr, 2000) disebutkan momen hari Arafah menjadi istimewa, karena beberapa hal. Di antaranya adalah momen pertemuan Nabi Adam as dan Siti Hawa setelah keduanya terusir dari surga ke dunia. Kemudian juga pertemuan Nabi Ibrahim as setelah berpisah cukup lama dengan keluarganya.


Maka, Arafah menjadi momen pertemuan-pertemuan yang penting. Jangan lupa, pada hari Arafah pula, umat Islam yang tengah menjalankan ibadah haji, berkumpul bersama di Padang Arafah, sebagai salah satu rukun haji yang tidak boleh ditinggalkan.


Momen istimewa di hari Arafah inilah yang kemudian menjadi inspirasi dari pertemuan sejumlah tokoh muslim di Indonesia, pada tanggal 9 Dzulhijjah 1371 H atau 30 Agustus 1952. Pertemuan perwakilan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pucuk Pimpinan (PP) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Dewan Tertinggi Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) tersebut kemudian menghasilkan keputusan: membentuk sebuah badan federasi umat Islam yang bernama Liga Muslimin Indonesia (LMI).


Berita terbentuknya LMI, termuat di beberapa surat kabar pada masa itu. Di antaranya Harian Suara Merdeka edisi 1 September 1952 (dua hari setelah pembentukan LMI) menuliskan artikel berita dengan judul: Liga Muslimin Indonesia, Organisai Federatief Antara NU-PSII-dan Perti, Wahid Hasjim Dipilih sebagai Ketua. Kemudian diterangkan pula mengenai kronologi singkat acara pertemuan tersebut:


"Piagam pembentukan Liga Muslimin Indonesia, Sabtu pagi pk. 09.00, ditandatangani di Djakarta oleh wakil2 Pengurus Besar dari anggauta2nja jaitu: KH Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama, Abikusno Tjokrosujoso dari PSII, dan KH Siradjuddin Abbas dari Perti,"


Untuk Keselamatan Peri Kemanusiaan
Abu Bakar Aceh dalam buku Sedjarah Hidup KH A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Panitya Buku Peringatan Alm KH A Wahid Hasjim/ Kemenag, 1958, hal 565-566) menuliskan suasana acara pembentukan LMI, yang di dalam ruangan terdapat tiga meja, yang masing-masing meja diberikan lima kursi (total ada 15 kursi) yang diperuntukkan bagi wakil-wakil dari ketiga organisasi.


"Pada medja NU duduk KH A Wahid Hasjim, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH M Dahlan, seorang pandu Ansor, dan seorang puteri, Wahidah,"


Di tengah-tengah meja tersebut, terdapat sebuah meja resmi, yang dihias dengan indah dan di atasnya sudah terletak piagam yang akan ditandatangani bersama. Pukul 09.00, dimulailah acara dengan pembukaan dilanjutkan pembacaan Al-Qur'an oleh Siti Nurjanah dan menyanyikan lagi Indonesia Raya, yang dikomandoi Saiful Bahri. Setelah mengheningkan cipta sejenak, kemudian perwakilan dari tiga organisasi diminta untuk menyampaikan sambutan.


KH A Wahid Hasyim dari NU terlebih dahulu mendapatkan kesempatan pertama untuk berpidato. Ia menekankan pentingnya persatuan bangsa, khususnya di kalangan umat Islam yang kala itu terkotak-kotak karena perbedaan pemahaman dan bahkan pilihan politik.


“... Pada hari Arafah seperti pada hari Arafah sekarang, 1360 tahun yang lalu, junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW, berdiri di Padang Arafah, di dalam pertemuan sedunia oleh umat Islam kala itu. Maka sesungguhnya, merupakan nikmat dan rahmat dari Allah SWT yang besar sekali bagi kita, bahwa pada hari yang bersejarah seperti hari Arafah ini, kita sekalian berkumpul di sini mengeratkan persaudaraan Islam yang telah ada dalam jiwa kita, dengan ikatan lahir berupa organisasi, ialah Liga Muslimin Indonesia!” tegas Kiai Wahid.


“Dalam keadaan hidup perseorangan yang tidak mempunyai ikatan sesama jamaahnya demikian itu, tidaklah heran apabila tiap-tiap orang Islam lalu tenggelam dan terseret oleh aliran-aliran dan golongan-golongan lain dengan tidak sadar dan insaf. Dan bukanlah pada suatu hal yang tidak masuk di akal, kalau propaganda penjajahan yang pada suatu masa pernah dijalankan oleh golongan yang berkepentingan, kadang-kadang masih mendapatkan telinga yang suka mendengarkannya, disebabkan hilangnya ikatan sesama jamaah itu.” lanjut Kiai Wahid. 


Senada dengan Kiai Wahid, Abikusno Cokrosuyoso dan KH Sirajuddin Abbas juga mengemukakan harapan yang sama, agar LMI ini menjadi wadah persatuan umat Islam, khususnya di Indonesia.


Selain perwakilan dari tiga organisasi tersebut, acara pendirian LMI juga dihadiri sejumlah tamu undangan. Harian Kedaulatan Rakyat edisi hari Senin tanggal 1 September 1952, dalam artikel berjudul "Piagam Liga Muslimin Ditandatangani, Untuk Kebaikan/Keselamatan Perikemanusiaan" menyebutkan sejumlah tokoh yang hadir.


"Upatjara penandatanganan dilakukan di serambi muka gedung parlemen, jang dihadiri oleh 5 orang menteri, di antaranja PM Wilopo, wakil2 dari Kedutaan Besar Mesir, Kedutaan Besar Birma, dan lk (lebih kurang, pen) 100 orang hadirin, di antaranja wakil Perantjis.. Sesudah itu diadakan pidato jang pokoknja menguraikan maksud pembentukan liga tsb, jakni usaha menjusun tenaga kaum muslimin, menudju ke arah persatuan umat Islam dan mendjundjung deradjatnja dan membawa pandji2 Islam dalam gelanggang politik internasional bagi kebaikan dan keselamatan perikemanusiaan umumnja,"


Setelah penyampaian sambutan-sambutan, KH M Dahlan dari NU membacakan piagam Liga Muslimin Indonesia, yang kemudian ditandatangani oleh ketiga perwakilan dari NU (KH A Wahid Hasyim), PSII (Abikusno Cokrosuyoso), dan PERTI (KH Sirajuddin Abbas).


Ketiga tokoh penandatanganan tersebut, kemudian juga didaulat menjadi pengurus utama LMI. KH Wahid Hasyim dari perwakilan NU didaulat menjadi Ketua, didampingi Abikusno Cokrosuyoso (Wk Ketua I), KH Sirajuddin Abbas (Wk Ketua II), dan ditambah Achmad Masruri dari PSII, sebagai Sekretaris Umum.


Perdana Menteri (PM) Wilopo, yang hadir dalam kesempatan tersebut, turut memberikan apresiasi atas terbentuknya LMI ini. Dalam pidatonya ia mendoakan terciptanya keberhasilan tujuan LMI.


"Dengan terbentuknja liga itu, jang menurut PM merupakan suatu kesanggupan dari organisasi2 jang bersangkutan dalam fasal2 jang bersamaan. PM mendoakan hendaknja usaha liga akan berhasil memupuk good will di antara golongan2, sehingga dapat meringankan keadaan jang sukar dan menemukan djalan jang memuaskan sekalian," (Artikel berjudul "Liga Muslimin Indonesia, Terdiri dari NU, PSII, dan Perti" dimuat di Pikiran Rakjat edisi 1 September 1952)


Selain ketiga organisasi yang ikut menandatangani deklarasi LMI, Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (LKiS, 2009, hal 124) menyebut Dar ad-Da'wah wa al-Irsyad (DDI) dan Persarikatan Tionghoa Islam Indonesia (PTII) juga ikut bergabung dalam LMI.


Meski sempat menghasilkan beberapa konsensus yang berpengaruh dalam dinamika sosial politik Indonesia pada masa itu, juga program bersama, antara lain pengiriman misi Liga Muslimin Indonesia ke sejumlah negara Islam, namun LMI pada akhirnya bubar dengan sendirinya.


Hubungan antara partai Islam tersebut sering kali tegang, apalagi kalau terjadi hal yang menyangkut kepentingan masing-masing partai, terutama dalam hal yang bersangkutan dengan kabinet. Antara NU, PSII, dan Perti, sebagai pendiri Liga, ada rasa saling curiga. Hingga tulisan ini dimuat, penulis belum menemukan dokumen atau tanggal pembubaran LMI.


Ajie Najmuddin, pemerhati sejarah NU, Pegiat Komunitas Ulik Arsip