Fragmen

Kisah Jamaah Haji Indonesia Pulang saat Meletus Perang Dunia II

NU Online  ·  Senin, 16 Juni 2025 | 08:17 WIB

Kisah Jamaah Haji Indonesia Pulang saat Meletus Perang Dunia II

Ilustrasi: jamaah haji tempo dulu saat menuruni kapal laut. (Foto: Arsip Nasional)

Ada banyak kisah suka duka yang terkenang dari orang Indonesia saat melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci. Salah satu momen yang patut untuk dikenang yakni ketika meletus Perang Dunia II pada September 1939. Banyak jamaah haji asal Hindia Belanda, juga orang-orang dari tanah air yang tinggal di sana (mukimin), tidak bisa langsung pulang ke kampung halamannya.


Untuk itulah, sejumlah tokoh yang masih berada di Tanah Hijaz membentuk Komite Kesengsaraan Indonesia (Kokesin) pada 19 Juni 1940, sebagaimana dituliskan Iip D Yahya dalam buku KH Anwar Musaddad, Ketua Kokesin & Pendiri Hizbullah Priangan (Lakpesdam PWNU Jawa Barat, 2025).


Sebagai informasi, untuk pergi menjalankan ibadah haji pada masa itu secara massal, baru ada transportasi kapal laut, yang untuk perjalanannya baik Indonesia ke Tanah Suci maupun sebaliknya, bisa memakan waktu hingga berminggu-minggu.


Oleh karena itu, pada 18 Februari 1940 atau hanya beberapa minggu setelah berakhirnya bulan haji di tahun itu, Wakil Konsul Hindia Belanda di Jeddah, R Abdulkadir menganjurkan kepada para mukimin, agar memohon bantuan kepada Konsul di Jeddah agar bisa dipulangkan ke tanah air, yang pada akhirnya terbentuklah Kokesin.


Kokesin kemudian mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Voklsraad, dan MIAI dengan judul, Rakyat Indonesia Sengsara Minta Kapal Vrij. Vrij berarti gratis. Surat juga dikirimkan kepada Raja Ibnu Saud. Surat kawat yang dikirim ke MIAI berbunyi, "Minta keputusan kapal dan sebelumnya pertolongan uang." hanya mendapatkan jawaban singkat. "Sabar."


Daftar mukimin saat itu mencapai 2.900 orang. Kemudian dilakukan penyaringan, agar bantuan tepat sasaran, menjadi 2.504 orang, yang terbagi 2.320 dewasa dan 184 anak-anak (Pemandangan, 07-01-1941).


Bantuan pertama datang dari Konsulat di Jeddah berupa 45 karung beras dan uang £ 5, menyusul dari MIAI berupa uang sebesar £ 200. Berikutnya MIAI mengirimkan bantuan secara berkala, dengan jumlah yang lebih besar, hasil sumbangan dari masyarakat di tanah air. Kemudian untuk kapal pemulangan, baru disetujui pada pertengahan Maret 1941 atau hampir setahun setelah terbentuknya Kokesin. Kapal pertama yang memulangkan mukimin, berangkat dari Jeddah pada 5 April 1941.


Peran KH Anwar Musaddad
Pengurus Kokesin ini dipimpin oleh seorang ketua, yang juga dibantu seorang wakil yang mengurus mukimin dari daerahnya. Ketua dan pengurus Kokesin yang ikut mendampingi proses pemulangan ke tanah air, selanjutnya akan digantikan ketua dan pengurus yang baru, yang masih berada di Tanah Hijaz.


Dan Ketua Kokesin yang terakhir adalah KH Anwar Musaddad yang pulang dengan kapal terakhir. KH Anwar Musaddad merupakan tokoh kelahiran Garut pada 3 April 1910. Pada saat menjadi Ketua Kokesin terakhir, usianya kala itu 31 tahun. Dengan bekal pendidikan formal di HIS Garut, MULO Sukabumi, dan AMS Batavia, juga Pesantren Cipari Wanaraja Garut dibawah asuhan Kiai Harmaen, Anwar menjalankan tugas yang tidak sepele tersebut dengan baik.


Dari tulisannya di Harian Pemandangan edisi 10 November 1941, kita bisa mengetahui proses perjalanan para mukimin, mulai dari pelabuhan Jeddah menuju ke Hindia Belanda. Perjalanan rombongan Kiai Anwar dimulai pada tanggal 23 Sya'ban 1360 H atau 15 September 1941. Terlebih dahulu mereka diberangkatkan dengan menggunakan kendaraan auto-auto pengangkutan barang dari Makkah ke Jeddah, dengan jarak tempuh sekitar 75 Km.


Setibanya di Jeddah, mereka tidak langsung berangkat naik kapal. Akan tetapi, menginap di beberapa rumah yang telah disediakan, untuk menunggu datangnya kapal. Keadaan di sana juga agak memprihatinkan. Karena bertepatan musim panas, air dan makanan yang tersedia dijual dengan harga yang cukup mahal, yakni sekitar 6 sen untuk satu blek air tawar.


Waktu untuk menunggu jadwal tiba kapal pun tidak singkat. Hingga Ramadhan, mereka masih berada di Jeddah alias kapal yang mereka tunggu belum juga tiba. Maka, selain berpuasa di kompleks tempat penginapan tersebut juga diselenggarakan shalat tarawih berjamaah.


Pada tanggal 18 Ramadhan, tibalah yang ditunggu-tunggu. Kapal SS Garoet dari Rotterdamsche-Lloyd datang dari Suez untuk mengangkut para mukimin dan para penumpang lainnya, yang berjumlah 630 orang. Para calon penumpang diperiksa terlebih dahulu tiketnya, yang memakan waktu hampir satu hari.


"(Tanggal) 20 puasa pagi-pagi, mulai kapal Garut berlayar, setelahnya Kokesin memukul kawat lebih dahulu dari Jeddah ke MIAI di Surabaya menyatakan mukimin selamat berlayar bersama Kokesin." terang Kiai Anwar.


Tugas ketua Kokesin di dalam kapal Garut yakni sebagai Kepala Haji yang mesti langsung berhubung dengan kapten kapal untuk mengurus berbagai hal mengenai makanan, kesehatan, dan keamanan. Selama perjalanan, ada yang meninggal adapula yang melahirkan. Tercatat ada empat orang yang meninggal, dan tiga orang yang melahirkan.


Tak terasa, bulan Ramadhan telah usai, sementara mereka masih berada di atas kapal, para mukimin merayakan Hari Raya Idul Fitri. Kiai Anwar sebagai ketua, mengusulkan kepada kapten untuk memberikan hidangan makanan yang istimewa di hari Lebaran itu. Setelah disetujui, maka dipilihlah sapi yang paling gemuk dari Liverpool dengan harga f 140.


"Keesokan harinya dengan banyak suka hati disembahyangkan sunah Idul Fitri di atas dek.. setelah selesai khutbah terus semuanya berjabat tangan sambil mengatakan minal aidzin. Kemudian beramai-ramai makan sop sapi, kejadian yang senantiasa akan jadi peringatan, karena jarang-jarang orang yang merasakan hari raya di atas lautan dengan secara demikian,"


Momen lebaran tahun 1360 H tersebut mereka rayakan kira-kira ketika berada di dekat lautan Colombo, Ceylon. Dan akhirnya setelah berlayar kurang lebih 23 hari lamanya, kapal tiba di Pelabuhan Tanjung Priuk dalam keadaan selamat.


Dalam sejarah Indonesia modern, apa yang dilakukan Kokesin dengan bantuan MIAI adalah penyelamatan warga Indonesia terbesar di luar negeri. Sejumlah 2.320 orang dewasa dan 184 anak-anak berhasil pulang kembali ke kampung halaman. Sebagai ketua Kokesin, Anwar Musaddad memimpin kapal terakhir dengan penumpang 630 orang.


Ajie Najmuddin, pemerhati sejarah NU
Â