Nasional

Ketum FKDT: Ustadz Madrasah Diniyah Garda Terdepan Pendidikan Islam, Layak Diakui Negara

NU Online  ·  Sabtu, 19 Juli 2025 | 12:00 WIB

Ketum FKDT: Ustadz Madrasah Diniyah Garda Terdepan Pendidikan Islam, Layak Diakui Negara

Ketum Pengurus Pusat Forum Koordinasi Diniyah Takmiliyah (DPP FKDT), H Lukman Hakim saat Peringatan Harlah dan Rapimnas FKDT di Hotel Bidakara, Jalan Gatot Subroto, Tebet, Jakarta, Sabtu (19/7/2025). (Foto: Budi)

Jakarta, NU Online 
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Forum Koordinasi Diniyah Takmiliyah (DPP FKDT), H Lukman Hakim menyerukan pengakuan lebih besar negara terhadap peran ustadz-ustadz Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) yang selama ini menjadi garda terdepan dalam pendidikan keagamaan anak-anak Indonesia.


Lukman Hakim menekankan pentingnya kehadiran negara untuk mendukung kesejahteraan para pendidik diniyah tersebut.

 

"Bangsa Indonesia harus berterima kasih kepada ustadz-ustadz Madrasah Diniyah Takmiliyah. Karena perjuangan mereka, Indonesia tetap menjadi negara yang harmonis, toleran, dan menghargai keberagaman," ujar Lukman pada Peringatan Harlah dan Rapimnas FKDT di Hotel Bidakara, Jalan Gatot Subroto, Tebet, Jakarta, Sabtu (19/7/2025).

 

Lukman menggambarkan realitas miris yang dihadapi para pengajar MDT. Honor bulanan mereka, kata dia, kerap tak lebih dari Rp100 ribu hingga Rp200 ribu. Jumlah itu jauh dari standar upah minimum regional.


"Kalau dihitung, ustadz MDT itu mayoritas berpenghasilan di bawah Rp500 ribu. Tapi mereka tetap ikhlas mengajar, dengan beban berat dan tantangan yang makin besar," jelasnya.

 

Ia juga menyentil rendahnya kesadaran masyarakat dalam mendukung keberlangsungan MDT. Iuran SPP di MDT rata-rata hanya Rp10 ribu per bulan, bahkan banyak yang gratis. Itu pun kerap menunggak hingga berbulan-bulan.

 

"Saya keliling Indonesia. Ini fakta, bukan karangan. Ustadz-ustadz ini tetap mengajar walau iuran nunggak 7 bulan," imbuhnya.

 

Lukman mengungkapkan bahwa tantangan ustadz MDT kini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga perubahan zaman yang membuat posisi mereka makin sulit.

 

Menurutnya, pergeseran nilai menghancurkan wibawa guru agama. Dulu, hukuman dari ustadz dianggap sebagai bagian dari pendidikan. Kini, justru menjadi potensi kriminalisasi.


Lukman menyampaikan aspirasi agar ustadz MDT dimasukkan dalam kategori penerima manfaat bantuan sosial, seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau program keluarga harapan.


"Kalau definisi miskin itu penghasilan di bawah Rp500 ribu, maka ustadz MDT paling layak dapat bantuan sosial. Jangan hanya ASN atau lembaga formal yang diperhatikan," tegasnya.

 

Ia juga meminta agar Kementerian Agama memperlakukan FKDT sebagai mitra strategis dan memberi ruang serta dukungan nyata dalam pengembangan kelembagaan dan program-program pembinaan keagamaan.

 

Salah satu isu penting yang disorot FKDT adalah kebijakan full day school yang dinilai mengancam eksistensi MDT. Menurut Lukman, kebijakan itu membuat anak-anak kehilangan waktu untuk belajar agama di luar jam sekolah formal.

 

"Kalau anak habis waktu di sekolah, mereka tak sempat lagi belajar agama. Nanti belajarnya dari YouTube, bisa tersesat doktrinasi,” tegasnya.

 

Untuk kemandirian FKDT, ia juga mendorong pembentukan Lembaga Amil Zakat (LAZ) khusus yang dikelola FKDT, agar tidak terus bergantung pada negara atau Baznas.

 

"Sudah saatnya FKDT punya LAZ sendiri. Agar pembinaan ustadz dan pengelolaan MDT bisa lebih mandiri dan berdaya," katanya.


Lukman menegaskan bahwa para ustadz MDT adalah penjaga nilai dan akhlak generasi muda Indonesia. Dukungan negara dan masyarakat terhadap mereka adalah investasi untuk masa depan bangsa.

 

"Mereka mengajarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Kalau negara ingin generasi yang berkarakter dan bermoral, maka MDT dan ustadznya harus dilibatkan dan didukung," pungkasnya.