Nasional

Pembangunan Memorial Living Park di Rumoh Geudong Perlu Disertai Proses Yudisial yang Akuntabel

NU Online  ·  Senin, 14 Juli 2025 | 22:00 WIB

Pembangunan Memorial Living Park di Rumoh Geudong Perlu Disertai Proses Yudisial yang Akuntabel

Peresmian Memorial Living Park di bekas Rumoh Geudong Aceh oleh KemenHAM pada Kamis (10/7/2025). (Foto: KontraS Aceh)

Aceh, NU Online

Pemerintah meresmikan sebuah monumen di atas reruntuhan Rumoh Geudong, Gampong Bili, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, pada Kamis (10/7/2025). Hal ini dinilai sebagai upaya pemulihan dan pencegahan keberulangan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Rumoh Geudong merupakan salah satu di antara lokasi pelanggaran HAM berat saat terjadi konflik bersenjata antara militer Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada masa lalu.


Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh Azharul Husna mengatakan, langkah pemerintah untuk memulihkan korban pelanggaran HAM berat lewat pembangunan Memorial Living Park di Rumoh Geudong dinilai belum memadai alias terkesan seremonial.


Menurutnya, penyelesaian non-yudisial memang diatur dalam kerangka keadilan transisional, tetapi harus dibarengi proses yudisial yang akuntabel. "Keduanya harus berjalan dan saling menguatkan," jelasnya saat dihubungi NU Online pada Senin (14/7/2025).


"Memorialisasi memang penting sebagai bentuk pengakuan publik, ruang ingatan, dan edukasi sejarah bagi generasi muda. Namun tanpa penegakan hukum, memorial hanya akan menjadi penanda luka tanpa keadilan," lanjutnya.


Ia menambahkan, dalam kasus Rumoh Geudong korban telah menunggu selama hampir 25 tahun tanpa kejelasan pelaku, tanpa keadilan formal dan tanpa pemulihan yang utuh. Padahal, lanjutnya, amanat konstitusi melalui Pasal 28I ayat 4 UUD 1945 dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah sangat jelas menyatakan pentingnya penegakan hukum atas pelanggaran HAM berat.


"Pemerintah juga harus memastikan pengungkapan kebenaran, transparan dalam prosesnya, serta membuka dokumen-dokumen negara yang selama ini ditutup rapat, termasuk memastikan bahwa sejarah pelanggaran HAM berat yang ditulis nantinya (salah satu rekomendasi PPHAM adalah penulisan sejarah) sesuai fakta korban di lapangan," terangnya.


Nana, sapaan akrab Koordinator KontraS Aceh, menegaskan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat harus didahulukan dan dilanjutkan dengan upaya non-yudisial. Upaya non-yudisial ini bisa berupa memorialisasi, reparasi kolektif, edukasi publik dan program pemulihan komunitas korban, tetapi harus diperkuat secara partisipatif.


"Memorial Living Park seharusnya bukan substitusi keadilan formal, melainkan pelengkap dalam kerangka keadilan transisional yang menyeluruh," ujarnya.


"Di sisi lain, penting untuk memastikan bahwa implementasi Inpres No. 2 Tahun 2023 terkait rekomendasi reparasi bagi korban tidak berhenti di tengah jalan atau hanya dijadikan alat seremonial semata tanpa pemenuhan yang nyata," tambahnya.


Sebelumnya, pemerintah telah memberikan tali asih berupa uang tunai senilai Rp10 juta per orang kepada beberapa korban. Menurut Nana, hal itu bukan termasuk reparasi komprehensif.


Ia mengatakan, langkah selanjutnya setelah penyerahan tali asih, pemerintah harus melakukan pengakuan resmi, pengungkapan kebenaran dan pertanggungjawaban hukum terkait pelanggaran HAM berat itu.


Ia menyebut, di banyak negara pascakonflik, reparasi finansial merupakan bagian dari hak korban. Namun jumlahnya harus proporsional dan didasarkan pada kerugian yang dialami, baik secara fisik, psikologis, sosial, maupun ekonomi.


"Selain itu, mekanisme keadilan transisi yang sudah ada di Aceh seperti KKR Aceh juga perlu dilibatkan agar proses reparasi berjalan akuntabel dan sesuai dengan kebutuhan korban," kata Nana.


"Tanpa tindak lanjut yang serius, tali asih Rp10 juta ini lebih terlihat sebagai formalitas belaka ketimbang bentuk pemulihan bermartabat," tegasnya.


Ia menjelaskan, reparasi dalam keadilan transisional tidak bisa hanya berbentuk uang santunan. Idealnya, reparasi mencakup berbagai aspek pemulihan korban. Hal tersebut dapat berupa pemulihan psikologis, akses layanan kesehatan gratis seumur hidup, dan jaminan pendidikan minimal hingga perguruan tinggi bagi anak-anak korban. Reparasi juga dapat berupa pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas di wilayah-wilayah korban hingga perlindungan sosial yang memastikan korban tidak hidup dalam kemiskinan dan keterpinggiran pascakonflik.


Nana menilai, hingga saat ini, secara umum pemerintah belum menjalankan reparasi tersebut. Sebab, hingga saat ini, mayoritas korban Rumoh Geudong belum mendapatkan layanan pemulihan psikologis, tidak ada jaminan layanan kesehatan khusus (bahkan terkendala karena belum disosialisasikan terkait JKN Plus), bahkan beberapa anak korban masih mengalami diskriminasi dalam akses pendidikan. Program pemberdayaan ekonomi pun sporadis, tidak terencana dan lebih bersifat simbolik.


"Negara seharusnya membangun skema reparasi yang komprehensif, berbasis kebutuhan korban serta partisipatif. Bukan sekadar kebijakan top-down yang bersifat sementara," tandasnya.


Ia mengungkapkan, dalam konteks Aceh, negara bisa belajar pada dokumen Tata Cara Baku (TCB) No. 12/2019 milik Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang berisi rekomendasi reparasi, baik yang bersifat mendesak maupun komprehensif. "Dokumen ini dapat dijadikan rujukan pemerintah untuk membuat analisis rekomendasi reparasi yang lebih komprehensif dan bermartabat," katanya.

Wakil Menteri HAM Mugiyanto saat meresmikan Memorial Living Park di Rumoh Geudong, Aceh, Kamis (10/7/2025). (Foto: Kementerian HAM)


Peresmian Memorial Living Park

Dalam siaran pers yang dirilis Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM), Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (WamenHAM) Mugiyanto menyampaikan, peresmian Memorial Living Park merupakan momentum penting bagi bangsa Indonesia melakukan penanganan dan pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM yang berat secara non-yudisial.


"Kita di sini tidak sedang membuka luka lama, tetapi sedang membangun jembatan pemulihan untuk menyambung kembali kemanusiaan dan persaudaraan kita yang pernah terkoyak," terang Mugiyanto.


WamenHAM mengungkapkan, pembangunan memorial ini sebagai implementasi  prinsip-prinsip HAM khususnya hak korban atas pengakuan, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan. "Negara hadir bukan hanya untuk mengakui, tetapi juga untuk menghadirkan ruang pemulihan, rekonsiliasi dan perdamaian yang bermartabat," ucapnya. 


Lebih dari itu, Memorial Living Park diproyeksikan menjadi wujud kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat sipil dalam membangun pendekatan kemanusiaan yang berkelanjutan. Kementerian HAM akan memastikan Memorial Living Park dikelola secara bersama, terutama melibatkan seluas-luasnya partisipasi korban. 


"Kami mengajak seluruh pihak untuk menjaga ruang ini bukan hanya sebagai taman, tetapi sebagai pusat peradaban, tempat kita menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan dalam tindakan nyata," imbau Mugiyanto.