Fenomena sound horeg, yakni penggunaan pengeras suara berdaya tinggi yang menggelegar, kini semakin marak di berbagai pelosok Indonesia. Belakangan, sejumlah fatwa, terutama dari kalangan sebagian kiai NU, menyatakan bahwa penggunaan sound horeg tergolong haram. Lantas, bagaimana sebenarnya nalar fiqih di balik fatwa ini?
Tradisi sound horeg atau parade dengan kendaraan berisi sound system super keras kini telah menjadi pemandangan umum di banyak daerah, terutama saat perayaan hari besar nasional seperti karnaval Kemerdekaan RI. Meski bagi sebagian masyarakat dianggap hiburan, namun keberadaan sound horeg memicu kontroversi karena menimbulkan gangguan serius bagi lingkungan sosial, kesehatan, bahkan keamanan.
Kegiatan sound horeg biasanya dilakukan dengan menyusun puluhan unit kendaraan bermuatan sound system berkapasitas tinggi. Suaranya bisa terdengar hingga radius kilometer, memecah keheningan, mengguncang kaca rumah, bahkan menyebabkan genteng berjatuhan.
Namun di sisi lain, para penghobi sound horeg merasa kegiatan ini adalah bentuk hiburan rakyat. Sebagian bahkan menyebutnya sebagai bentuk partisipasi dalam memeriahkan kemerdekaan. Tradisi ini telah menjadi rutinan tahunan dan bahkan diklaim sebagai bagian dari adat lokal.
Fenomena "sound horeg" menuai sorotan tajam dari kalangan ulama dan tokoh masyarakat. Karena penggunaannya tidak terbatas pada tempat dan waktu. Suara bising yang ditimbulkan tidak hanya mengganggu istirahat warga, tetapi juga berdampak pada kesehatan. Tercatat, ada anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran hingga pendarahan akibat kerasnya suara.
Parahnya lagi, penggunaan sound horeg seringkali disertai parade yang tidak sesuai norma syariah, seperti tarian oleh perempuan yang mempertontonkan aurat, bahkan terjadi praktik memaksa warga untuk iuran, meskipun mereka keberatan.
Dari sisi regulasi, pemerintah melalui Permen LH No. 48 Tahun 1996 menetapkan batas kebisingan yang diperbolehkan, seperti di kawasan perumahan maksimal 55 desibel, tempat ibadah 55 dB, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan sound horeg dalam masyarakat sering kali mencapai 100–130 dB, jauh melampaui batas yang aman.
Fatwa haramnya sound horeg didasarkan pada dua pokok pikiran. Pertama terkait dampaknya yang dapat mengganggu dan membahayakan orang lain. Kedua terkait potensi terjadinya kemaksiatan, seperti joget-joget dengan memperlihatkan aurat, terjadinya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, dan lainnya.
Nalar Pertama, Sound Horeg Membahayakan dan Melebihi Batas Kewajaran
Penggunaan sound horeg yang melampaui batas kewajaran dan pada umumnya dapat menimbulkan bahaya kepada orang lain, hukumnya adalah haram. Sebaliknya, penggunaan sound system yang dibolehkan harus memperhatikan adat yang berlaku, tidak menimbulkan bahaya atau gangguan, dan sesuai peraturan perundang-undangan. (keputusan Bahtsul Masail Kubro (BMK) V Pondok Pesantren An Najah Denanyar, Jombang (Ahad, 17 November 2024)
Dalam penjelasannya, penggunaan sound system diperbolehkan apabila memenuhi tiga syarat utama:
- Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku secara adat (‘urf).
- Tidak menimbulkan dharar (bahaya) atau idza’ (gangguan) yang tidak ditoleransi menurut adat.
- Sesuai dengan aturan pemerintah.
Jadi, ketika penggunaan sound horeg melampaui batas kewajaran, merusak ketenangan masyarakat, melanggar aturan hukum, bahkan membahayakan kesehatan, maka hukumnya jelas diharamkan.
Abdul Hamid Asy-Syirwani menjelaskan bahwa penggunaan barang yang menjadi hak milik pribadi, tidak boleh sampai melampaui batas kewajaran.
ويَتَصَرَّفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْمُلَّاكِ فِي مِلْكِهِ عَلَى الْعَادَةِ فَإِنْ تَعَدَّى فِي تَصَرُّفِهِ بِمِلْكِهِ الْعَادَةَ ضَمِنَ مَا تَوَلَّدَ مِنْهُ قَطْعًا أَوْ ظَنًّا قَوِيًّا – إِلَى أَنْ قَالَ- تَنْبِيهٌ يُنْبَغِي أَنْ يُسْتَثْنَى مِنْ قَوْلِهِمْ لَا يُمْنَعُ مَا يُضِرُّ الْمَالِكَ مَا لَوْ تَوَلَّدَ مِنَ الرَّائِحَةِ مُبِيحُ تَيَمُّمٍ كَمَرَضٍ فَإِنَّ الَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهُ إِنْ غَلَبَ تَوَلُّدُهُ وَإِيذَاؤُهُ الْمَذْكُورُ مُنِعَ مِنْهُ وَإِلَّا فَلَا. اهـ
Artinya “Setiap pemilik harta boleh bertindak atas miliknya menurut kebiasaan yang berlaku. Namun jika ia melampaui kebiasaan dalam pemanfaatan terhadap miliknya, maka ia wajib menanggung kerugian yang pasti atau diduga kuat akan timbul dari tindakannya…
Catatan penting: Perlu dikecualikan dari kaidah ‘tidak dicegah sesuatu yang merugikan pemilik (dari pihak lain)’, yaitu apabila dari bau tersebut timbul penyakit yang membolehkan tayammum. Maka pendapat yang jelas adalah jika umumnya bau tersebut menimbulkan gangguan seperti itu, maka harus dicegah, dan jika tidak demikian, maka tidak perlu dicegah.” (Hasyiyah asy-Syirwani, [Beirut: Darul Fikr, 2019] juz VI, halaman 238–239)
Referensi ini menegaskan bahwa seseorang boleh menggunakan harta miliknya sesuai kebiasaan umum. Tapi jika tindakannya melampaui batas kewajaran dan menimbulkan mudarat yang terbukti kuat (misalnya bau yang menyebabkan penyakit), maka ia wajib dicegah, dan dapat dimintai ganti rugi.
Berdasarkan data, suara dari "sound horeg" jelas telah melewati batas kewajaran dan sangat berpotensi menyebabkan dampak buruk serius pada kesehatan, terutama pendengaran. Berikut beberapa data yang mendukung:
1. Batas Aman Kebisingan Menurut WHO
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan batas aman paparan suara untuk jangka waktu tertentu: 85 desibel (dB) untuk durasi maksimal 8 jam. Ini adalah batas aman umum untuk lingkungan kerja. Untuk suara dengan tingkat desibel lebih tinggi, durasi paparan aman akan semakin singkat. WHO juga merekomendasikan tingkat suara rata-rata maksimal di angka 100 desibel (dB) untuk acara seperti konser.
2. Tingkat Desibel "Sound Horeg"
Berbagai sumber dan penelitian menunjukkan bahwa tingkat kebisingan yang dihasilkan oleh sound horeg sangat tinggi. Sound horeg dapat mencapai 120 hingga 135 desibel (dB). Beberapa laporan bahkan menyebutkan hingga 139 dB saat sound check (Lihat skripsi Auliana Salsabila Fitria dengan judul Pengawasan hukum terhadap penyewa pengguna sound gigantic yang melebihi batas desibel perspektif hukum positif dan maqashid syariah: Studi di Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Malang, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2025).
Sebagai perbandingan, suara mesin pesawat saat diparkirkan bisa mencapai sekitar 135 dB. Petugas bandara pun harus menggunakan pelindung telinga ganda (earplug dan headphone) untuk melindungi pendengaran mereka. Konser musik rock umumnya berkisar antara 100 dB hingga 130 dB. Sound horeg seringkali melebihi level ini.
3. Toleransi Telinga Manusia Terhadap Suara Keras
Telinga manusia memiliki batas toleransi terhadap suara keras:
- Pada tingkat 91 dB, telinga hanya aman terpapar selama sekitar 1 jam.
- Pada tingkat 100 dB, paparan aman direkomendasikan tidak lebih dari 15 menit.
- Pada tingkat 110-120 dB, seperti suara di diskotek atau konser rock yang sangat keras, kerusakan permanen pada pendengaran bisa terjadi dalam waktu singkat.
- Untuk suara setinggi 135 dB (seperti sound horeg), telinga manusia hanya dapat menoleransinya dalam hitungan 1-2 menit saja sebelum berisiko tinggi mengalami kerusakan permanen.
4. Bukti Dampak Nyata di Masyarakat
Dampak "sound horeg" yang melebihi batas kewajaran juga terlihat dari keluhan masyarakat:
- Banyak warga melaporkan terpaksa meninggalkan rumah karena tidak tahan dengan suara dan getaran dari sound horeg.
- Ada laporan kaca dan genting rumah mengalami retakan akibat getaran ekstrem dari sistem suara tersebut, menunjukkan intensitas yang luar biasa.
- MUI Jember, setelah melakukan kajian dengan puluhan responden, menemukan bahwa volume sound horeg menembus 130 dB, jauh melebihi ambang batas wajar 85 dB, dan telah mengganggu kesehatan dan kenyamanan warga.
Dengan data-data di atas, sangat jelas bahwa tingkat kebisingan yang dihasilkan oleh "sound horeg" jauh melampaui batas aman yang direkomendasikan oleh WHO dan batas toleransi telinga manusia. Paparan suara pada tingkat tersebut, bahkan dalam durasi singkat, memiliki potensi besar untuk menyebabkan kerusakan pendengaran permanen dan masalah kesehatan lainnya.
Dalam Fatawa Ar-Ramli (juz III, hlm. 13–14), Ar-Ramli menjelaskan bahwa: Jika seseorang menyalakan api (seperti dalam proses pembuatan bahan kimia) di tempat yang biasa dipakai untuk itu, tetapi menyebabkan bahaya besar seperti asap beracun yang mengganggu bahkan membahayakan nyawa orang lain (misalnya anak-anak kecil), maka:
- Hukumnya haram bila kuat dugaan akan terjadi mudarat bagi orang lain.
- Pelakunya berdosa dan boleh diberi hukuman ta’zir oleh penguasa.
- Wajib ada pengingkaran dan pencegahan terhadap perbuatannya.
- Ia bertanggung jawab mengganti kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan, tanpa pengecualian, meskipun dilakukan di tanah miliknya sendiri.
Paparan terhadap sound horeg memiliki dampak buruk yang signifikan bagi kesehatan, terutama pada pendengaran, diantaranya;
1. Tingkat Kebisingan yang Melebihi Batas Aman:
Sound horeg memiliki tingkat kebisingan yang sangat tinggi, bahkan bisa mencapai 135 desibel (dB). Angka ini jauh melampaui batas kebisingan yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 85 desibel (dB) untuk durasi maksimal 8 jam. Untuk suara setinggi 135 dB, telinga manusia hanya dapat mentolerirnya dalam hitungan menit (bahkan 1-2 menit saja).
2. Kerusakan Koklea (Rumah Siput):
Paparan suara dengan desibel tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada koklea, struktur berisi sel-sel rambut halus di telinga bagian dalam yang berfungsi menangkap getaran suara. Kerusakan ini dapat terjadi sementara maupun permanen.
Pertama, peningkatan ambang dengar sementara (Temporary Threshold Shift/TTS): Kondisi ini biasanya muncul setelah terpapar suara intensitas tinggi di atas 75 dB. Gejala yang muncul dapat berupa penurunan pendengaran sementara, rasa penuh pada telinga, atau telinga berdenging (tinnitus). Umumnya, kondisi ini dapat pulih dalam beberapa jam atau hari karena telinga mengalami kelelahan.
Kedua, peningkatan ambang dengar menetap (Permanent Threshold Shift/PTS) atau Tuli Permanen: Risiko kesehatan yang lebih serius adalah kerusakan permanen pada sel-sel koklea akibat paparan suara ekstrem, terutama di atas 140 dB. Kerusakan ini bersifat menyerang saraf pendengaran dan struktur dalam telinga. Jika ini terjadi, gangguan pendengaran tidak bisa sembuh dengan sendirinya dan seringkali membutuhkan alat bantu dengar atau implan koklea.
3. Tinnitus (Telinga Berdenging):
Paparan suara keras, termasuk suara bass tinggi dari sound horeg, dapat memicu tinnitus, yaitu kondisi telinga berdenging, berdengung, atau mendesis meskipun tidak ada suara di sekitar. Tinnitus bisa bersifat sementara atau menetap.
4. Hiperakusis (Sensitivitas Suara Berlebih):
Setelah terpapar suara keras secara berulang atau mendadak, seseorang bisa mengalami hiperakusis, yaitu kondisi di mana suara yang normal bagi orang lain terdengar sangat mengganggu atau menyakitkan. Ini disebabkan oleh perubahan sistem saraf pendengaran akibat stres akustik.
5. Pecah Gendang Telinga:
Suara yang terlalu keras, seperti dentuman sound horeg yang ekstrem, dapat menyebabkan ruptur atau pecahnya gendang telinga. Kondisi ini bisa menyebabkan nyeri hebat, gangguan pendengaran, dan infeksi.
6. Trauma Akustik:
Kerusakan akut pada sistem pendengaran akibat suara yang sangat keras dan mendadak. Gejalanya meliputi kehilangan pendengaran mendadak, vertigo, dan nyeri. Dalam kasus parah, trauma akustik bisa menyebabkan tuli permanen hanya dalam sekali kejadian.
Selain itu, terdapat pula potensi bahaya lain seperti gangguan kardiovaskular, gangguan tidur, gangguan kesehatan mental dan psikologis, penurunan kognisi, serta masalah pada ibu hamil dan janin.
Sound horeg dengan tingkat kebisingan yang jauh melampaui batas aman WHO dapat menyebabkan berbagai dampak buruk bagi kesehatan, terutama kerusakan permanen pada pendengaran. Selain itu, efek non-pendengaran seperti gangguan kardiovaskular, gangguan tidur, dan masalah psikologis juga menjadi risiko serius, sehingga membatasi paparan terhadap suara keras sangat penting untuk menjaga kesehatan pendengaran dan kesehatan secara keseluruhan.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili juga menegaskan bahwa penggunaan sound yang terlalu kencang merupakan perbuatan yang salah dan dapat dituntut ganti rugi.
إِذَا اسْتَعْمَلَ الإِنْسَانُ حَقَّهُ عَلَى نَحْوِ غَيْرِ مُعْتَادٍ فِي عُرْفِ النَّاسِ ثُمَّ تَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ لِلْغَيْرِ كَانَ مُتَعَسِّفًا كَرَفْعِ صَوْتِ الْمِذْيَاعِ الْمُزْعِجِ لِلْجِيرَانِ وَالتَّأَذِّي بِهِ ... فَفِي كُلِّ ذَلِكَ يُعْتَبَرُ مُتَعَسِّفًا فَيُمْنَعُ مِنْ تَعَسُّفِهِ وَيُعَوَّضُ الْمُتَضَرِّرُ عَمَّا أَصَابَهُ مِنْ ضَرَرٍ.
Artinya “Apabila seseorang menggunakan haknya dengan cara yang tidak lazim menurut kebiasaan orang banyak, lalu timbul kerugian bagi orang lain, maka ia telah bertindak sewenang-wenang. Seperti mengeraskan suara radio yang mengganggu tetangga dan menimbulkan kerugian bagi mereka,…
Maka dalam setiap kasus tersebut, ia dianggap telah bertindak sewenang-wenang. Oleh karena itu, ia harus dicegah dari kesewenang-wenangannya, dan pihak yang dirugikan harus diberi kompensasi atas kerugian yang menimpanya.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut: Darul Fikr] Juz IV, Halaman 35)
Meskipun sound horeg kadang dianggap sebagai hiburan dan bagian dari tradisi di beberapa daerah, data menunjukkan bahwa dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat cenderung negatif dan serius.
Gangguan yang ditimbulkan dari sound horeg dapat berupa gangguan ketenteraman dan kenyamanan publik seperti kebisingan berlebihan, gangguan tidur, kerusakan properti, dan terpaksa meninggalkan rumah sementara waktu karena tidak tahan dengan tingkat kebisingan dan getaran yang ekstrem.
Selain itu, sound horeg juga berpotensi menimbulkan konflik sosial seperti keresahan dan protes warga, perpecahan antar warga, polemik iuran wajib, serta mengganggu aktivitas sosial dan keagamaan seperti ketidakfokusan di tempat ibadah dan pendidikan.
Nalar Kedua, Sound Horeg Memicu Kemaksiatan
Penggunaan sound horeg adalah haram, baik karena mengganggu pihak lain atau tidak, sebab identik dengan berbagai bentuk kemungkaran. (Keputusan Bahtsul Masail Forum Satu Muharram Pondok Pesantren Besuk Pasuruan, 27 Juni 2025)
Dalam pandangan fiqih, adat atau tradisi tidak otomatis menjadi dalil pembolehan. Adat hanya bisa dijadikan hujjah jika tidak bertentangan dengan syariat, tidak menimbulkan mudharat, dan tidak mengandung unsur maksiat.
Maka, jika adat berupa sound horeg menyebabkan gangguan serius, apalagi menjadi sarana yang identik dengan, Syiar fasik (kemaksiatan), joget dan tarian yang dilarang, campur baur antara laki-laki dan perempuan, dan potensi maksiat dan kerusakan sosial lainnya, maka sudah tentu hukumnya diharamkan.
Al-Faqih Abdullah Al-Hadhrami menjelaskan bahwa mengeluarkan suara kencang di jalanan yang dapat mengganggu ketenangan dan kenyamanan masyarakat, merupakan perbuatan kemunkaran dan harus dihentikan.
قَالَ مُوسَى بْنُ الزَّيْنِ وَحَيْثُ ضَيَّقَ اللَّاعِبُونَ بِالْكُرَةِ وَغَيْرِهَا الطَّرِيقَ عَلَى الْمَارَّةِ أَوْ حَصَلَ عَلَى النَّاسِ أَذًى بِفِعْلِهِمْ أَوْ صِيَاحِهِمْ يَمْنَعُهُمْ سُكُونَهُمْ بِنَوْمٍ وَنَحْوِهِ أَوْ جُلُوسِ النَّاسِ بِأَفْنِيَتِهِمْ لَزِمَ أَوْلِيَاءَهُمْ وَسَادَتَهُمْ بَلْ كُلَّ مَنْ قَدَرَ زَجْرُهُمْ وَمَنْعُهُمْ
Artinya “Musa bin az-Zayn berkata: Apabila para pemain bola atau lainnya mempersempit jalan bagi para pejalan kaki, atau menimbulkan gangguan bagi masyarakat karena perbuatan mereka atau teriakan mereka yang menghalangi orang lain untuk beristirahat, seperti tidur dan semisalnya, atau orang-orang duduk di pelataran rumah mereka, maka wajib bagi orang tua mereka, pemimpin mereka –bahkan siapa saja yang mampu– untuk menegur dan melarang mereka." (Qalaʾidul Kharaʾid, halaman 356)
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa mendengarkan alat-alat musik yang memicu perbuatan maksiat dan menjadi syiar kefasikan, hukumnya diharamkan.
ويَحْرُمُ اسْتِعْمَالُ آلَةٍ مِنْ شِعَارِ الشُّرْبَةِ كَطُنْبُورٍ… وَسَائِرِ أَنْوَاعِ الأَوْتَارِ وَالمَزَامِيرِ وَاسْتِمَاعُهَا لِأَنَّ اللَّذَّةَ الحَاصِلَةَ مِنْهَا تَدْعُو إِلَى فَسَادٍ كَشُرْبِ الخَمْرِ لَا سِيَّمَا مَنْ قَرُبَ عَهْدُهُ بِهَا وَلِأَنَّهَا شِعَارُ الفُسَّاقِ وَالتَّشَبُّهُ بِهِمْ حَرَامٌ.
Artinya “Haram hukumnya menggunakan alat musik yang menjadi simbol para peminum khamar, seperti ṭunbūr (alat petik berdawai)… dan seluruh jenis alat musik berdawai maupun tiupan.
Demikian juga haram hukumnya mendengarkan suara alat-alat tersebut, karena kenikmatan yang timbul darinya mendorong kepada kerusakan seperti minum khamar, terlebih bagi orang yang baru berhenti dari kebiasaan mendengarnya, dan karena alat-alat ini merupakan simbol orang-orang fasik, sedangkan menyerupai mereka adalah haram," (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz X, halaman 209).
Berikut beberapa bentuk perilaku atau aktivitas yang bertentangan dengan norma agama, moral, dan etika yang berlaku di masyarakat, yang timbul akibat fenomena sound horeg, berdasarkan berbagai laporan dan kajian, terutama dari perspektif lembaga keagamaan:
Joget Vulgar dan Erotis:
Salah satu kemunkaran yang paling sering dikaitkan dengan sound horeg adalah tarian atau joget yang dianggap tidak senonoh, erotis, atau vulgar. Seringkali, sound horeg dilengkapi dengan penari latar atau memicu penonton untuk berjoget dengan gerakan yang dinilai tidak pantas di ruang publik, terutama saat parade atau tontonan keliling.
Pergaulan Bebas (Ikhtilath):
Suasana yang hingar-bingar, ditambah dengan sorotan lampu dan irama musik yang menghentak, cenderung menciptakan lingkungan yang kondusif bagi percampuran bebas antara laki-laki dan perempuan (ikhtilath) tanpa batasan syariat. Hal ini bisa mengarah pada interaksi yang melewati batas norma kesopanan dan agama.
Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan Sound Horeg difatwakan haram, karena beberapa alasan, yaitu; mengganggu dan membahayakan masyarakat, menabrak aturan adat yang baik, identik dengan syi’ar maksiat dan perilaku yang merusak moral publik.
Keputusan ini tidak serta-merta menghapus hiburan rakyat, namun menjadi peringatan agar adat dan tradisi senantiasa dikendalikan dengan nalar syariah dan etika sosial. Tradisi boleh hidup, selama tidak mengorbankan kenyamanan dan keselamatan bersama.
Fatwa haram terhadap sound horeg bukan sekadar pelabelan, tapi bentuk tanggung jawab sosial dan etika bermasyarakat dalam Islam. Ulama NU yang menyuarakan ini, seperti dalam berbagai Bahtsul Masail di daerah-daerah, menunjukkan bahwa Islam tidak diam melihat keresahan sosial. Apalagi jika keresahan itu sudah berlangsung lama tanpa solusi.
Sebagian fatwa juga mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan, yang menyebutkan ambang batas kebisingan di pemukiman adalah 55 dB pada siang hari dan 45 dB di malam hari. Sound horeg jelas melampaui batas tersebut.
Fiqih tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga membentuk nalar hidup sosial yang sehat. Dalam konteks sound horeg, para kiai tidak sekadar mengharamkan dentuman musik, tapi mengajarkan bahwa hidup harus saling menghormati dan tidak semena-mena. Jika hiburan membuat orang lain menderita, maka itu bukan hiburan, tapi kezaliman.
Mari kita dapat memahami bahwa fatwa ini bukan sebagai larangan terhadap kegembiraan, tapi sebagai panggilan untuk menjadikan kegembiraan lebih etis, santun, dan manusiawi. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar.