Sound horeg kian menjamur di berbagai daerah, terutama saat hajatan dan perayaan warga. Suaranya yang menggelegar, arak-arakan kostum nyentrik, serta jogetan energik memang menarik perhatian publik. Namun di balik itu, muncul pertanyaan serius, apakah semua ini selaras dengan nilai-nilai Islam? Tulisan ini mencoba menimbang secara kritis antara maslahat dan mafsadah sound horeg dalam perspektif fiqih, agar umat tak terjebak antara hiburan dan mudarat.
Potret Sound Horeg
Sound horeg yang identik dengan arak-arakan musik keras dan dandanan mencolok punya nilai positif bagi sebagian warga. Di antaranya adalah geliat ekonomi bagi penyedia jasa sound system dan para pelaku UMKM lokal seperti pedagang makanan dan souvenir bertema sound horeg. Di sisi budaya, sound horeg kerap jadi ajang eksplorasi budaya lokal, khususnya Jawa, melalui kostum tradisional yang dimodifikasi. Bahkan, banyak peserta menjadikannya sebagai media ekspresi diri dan identitas.
Namun di balik nilai ekonomis dan artistik tersebut, sound horeg menyimpan potensi bahaya yang tak bisa diabaikan. Volume suara yang sangat keras bisa berdampak buruk pada kesehatan warga, terutama kelompok rentan seperti bayi, lansia, dan penderita penyakit jantung. Di Blitar tahun 2019, seorang anak tewas di depan speaker aktif saat hajatan. Dugaan medis menyebut serangan jantung akibat suara mendadak yang ekstrem sebagai pemicunya.
Gangguan lain yang dirasakan warga adalah terganggunya waktu istirahat, terutama ketika acara berlangsung larut malam hingga dini hari. Kebisingan itu bukan hanya membuat warga sulit tidur, tapi juga menurunkan produktivitas keesokan harinya. Pelajar yang tak bisa fokus belajar, pekerja yang kelelahan, serta lansia yang stres adalah potret nyata dari kegaduhan ini. Dalam jangka panjang, ini merusak kualitas hidup masyarakat secara perlahan tapi nyata.
Selain kesehatan manusia, dampak fisik pada bangunan juga dilaporkan oleh banyak warga. Getaran dari sound system berkekuatan besar membuat genteng longsor dan kaca-kaca rumah pecah, terutama di rumah-rumah tua dengan struktur rentan. Pemerintah setempat memang sudah berupaya menertibkan melalui surat edaran, tapi hasilnya tetap tidak maksimal.
Di Blitar, misalnya, pemerintah kabupaten menerbitkan Surat Edaran No. B/180.07/295/409.4.5/2024 yang membatasi kebisingan maksimal 60 desibel dan waktu hingga pukul 23.00. Namun, pelanggaran kerap terjadi, terutama soal durasi larut malam.
Yang tak kalah mencemaskan adalah ekses moral dari acara ini. Banyak peserta perempuan berjoget dengan pakaian terbuka, sehingga memicu keresahan sosial karena dianggap melanggar norma kesopanan masyarakat. Selain itu, parade sound horeg acapkali disertai konsumsi alkohol secara terbuka, sehingga memicu tindakan kriminal dan merusak ketertiban umum. Meski berniat hiburan, sound horeg bisa berubah jadi panggung kebablasan jika tanpa regulasi yang ditegakkan secara konsisten.
Kontradiksi Maslahat dan Mafsadah
Dari data yang ditemukan terkait polemik sound horeg, tampak jelas adanya pertentangan antara nilai-nilai positif (maslahat) dan dampak negatif (mafsadah) dalam pelaksanaannya. Di satu sisi, kegiatan ini memberi ruang bagi geliat ekonomi lokal dan ekspresi budaya. Namun di sisi lain, ia juga memunculkan gangguan serius bagi masyarakat. Dalam situasi seperti ini, prinsip fiqih menegaskan bahwa mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan.
Meskipun parade sound horeg membawa sejumlah manfaat, keberadaan mafsadah yang nyata seperti gangguan kesehatan, kerusakan bangunan, hingga kerusakan moral, membuatnya tidak dapat dibenarkan secara syar’i. Maka, konsekuensinya adalah parade tersebut sebaiknya dihentikan atau dibatasi secara ketat. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqih yang berbunyi:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya, “Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.”
Imam as-Suyuthi dalam Al-Asybah wan Nadza’ir menjelaskan bahwa logika kaidah "menolak mafsadah lebih utama daripada menarik maslahat" berakar dari perhatian syariat yang lebih besar terhadap larangan dibanding perintah. Hal ini ditegaskan lewat sabda Nabi ﷺ: “Jika aku perintahkan sesuatu, lakukan semampunya; dan jika aku larang sesuatu, maka jauhilah.” Artinya, meninggalkan larangan bersifat mutlak, sementara melaksanakan perintah bersifat fleksibel sesuai kemampuan masing-masing individu.
As-Suyuthi menyampaikan:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ فَإِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ ; قُدِّمَ دَفْعُ الْمَفْسَدَةِ غَالِبًا، لِأَنَّ اعْتِنَاءَ الشَّارِعِ بِالْمَنْهِيَّاتِ أَشَدُّ مِنْ اعْتِنَائِهِ بِالْمَأْمُورَاتِ، وَلِذَلِكَ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ.
Artinya, “Mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan. Maka, jika terdapat pertentangan antara mafsadah (kerusakan) dan maslahat (manfaat), maka umumnya yang didahulukan adalah mencegah kerusakan. Sebab, perhatian syariat terhadap larangan lebih besar daripada perintah. Karena itulah Nabi SAW bersabda: 'Jika aku perintahkan kalian sesuatu, lakukanlah sebisanya; tetapi jika aku larang kalian dari sesuatu, maka jauhilah sepenuhnya.’” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha’ir, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 2015], hlm. 138)
Konsekuensi dari prinsip ini tampak jelas dalam praktik fiqih. Syariat memberikan keringanan dalam menjalankan perintah, seperti bolehnya shalat duduk saat sakit, berbuka puasa saat safar, atau meninggalkan wudhu dengan air bila berhalangan. Sebaliknya, tidak ada toleransi dalam pelanggaran larangan, terlebih dalam hal dosa besar. Bahkan, beberapa sunah seperti berkumur dan menghirup air disunnahkan, tapi makruh bagi orang puasa, demi menghindari kemungkinan melanggar larangan.
Dikotomi Dua Maslahat
Sekarang mari kita ubah sudut pandangnya. Bukan lagi membenturkan antara maslahat dan mafsadah, tetapi memperhadapkan dua bentuk maslahat yang sama-sama memiliki nilai positif. Dalam situasi ini, satu maslahat hanya bisa diwujudkan dengan mengorbankan maslahat lainnya. Inilah yang dalam fiqih disebut ta'arudhul mashalih. Ketika dua maslahat bertabrakan dan tak mungkin diwujudkan bersamaan, maka salah satunya harus dipilih berdasarkan kadar manfaat yang lebih besar.
Artinya, jika yang dipertahankan adalah maslahat parade sound horeg seperti geliat ekonomi pemilik sound system, kesejahteraan pelaku UMKM, dan ruang ekspresi budaya, maka ada maslahat lain yang harus tereliminasi. Maslahat tersebut meliputi ketenangan warga, kesehatan masyarakat rentan, waktu istirahat yang cukup, serta perlindungan fisik bangunan. Sebaliknya, jika maslahat sosial yang lebih luas itu diutamakan, maka maslahat parade sound horeg harus rela dikesampingkan demi kepentingan bersama.
Dalam analisis kasus demikian, langkah yang tepat secara fiqih adalah menimbang dan memilih maslahat yang lebih besar (arjahul mashaliḥ). Jika maslahat yang lahir dari parade sound horeg hanya dinikmati sebagian kecil pihak (misalnya pelaku usaha atau seniman lokal), sedangkan maslahat berupa ketenangan, kesehatan, dan keselamatan sosial dirasakan oleh mayoritas warga, maka jelas maslahat yang kedua lebih arjah (unggul) dan layak didahulukan. (Ibnu Asyur, Maqashidusy Syari’ah al-Islamiyah, [Qatar: Wuzara’ul Auqaf, 2004], juz II, hlm. 94)
Begitu pula jika pelaksanaan parade sound horeg justru menghalangi terwujudnya maslahat sosial yang lebih luas, maka mempertahankan parade tersebut berarti menyingkirkan maslahat yang lebih besar demi maslahat yang lebih kecil. Sikap ini bertentangan dengan prinsip fiqih yang menilai bahwa mendahulukan maslahat terbesar adalah sikap hukum yang terpuji. Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam dalam Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam menjelaskan:
وَأَنَّ تَقْدِيمَ أَرْجَحِ الْمَصَالِحِ فَأَرْجَحِهَا مَحْمُودٌ حَسَنٌ، وَأَنَّ دَرْءَ أَفْسَدِ الْمَفَاسِدِ فَأَفْسَدِهَا مَحْمُودٌ حَسَنٌ، وَأَنَّ تَقْدِيمَ أَرْجَحِ الْمَصَالِحِ فَأَرْجَحِهَا مَحْمُودٌ حَسَنٌ
Artinya, “Mendahulukan maslahat yang paling besar di antara beberapa maslahat adalah tindakan yang terpuji dan baik. Begitu juga, mencegah kerusakan yang paling besar di antara sejumlah kerusakan merupakan tindakan yang terpuji dan baik,” ('Izzuddin, Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, tanpa tahun]. juz I, hlm. 6)
Dalam konteks ini, pelarangan atau pembatasan parade sound horeg bukan dapat dimaknai sebagai sikap anti budaya lokal atau pematokan ruang gerak ekonomi rakyat. Justru sebaliknya, langkah ini merupakan pilihan syar‘i yang lebih bijak karena mempertimbangkan kemaslahatan publik yang lebih luas, mendalam, dan berjangka panjang. Syariat mengajarkan bahwa kepentingan kolektif harus diutamakan ketika maslahat saling berbenturan dan tidak bisa diwujudkan bersamaan.
Dikotomi Dua Mafsadah
Jika pada analisis sebelumnya kita membahas pertentangan antara dua maslahat, maka sekarang mari kita perhatikan kondisi ketika dua mafsadah saling bertabrakan. Dalam fiqih, kondisi semacam ini juga dikenal dan memiliki rumusan tersendiri. Ketika dua mafsadah tak dapat dihindari secara bersamaan, maka langkah yang diambil adalah memilih mafsadah yang lebih ringan dan mencegah terjadinya mafsadah yang lebih besar serta lebih merusak kepentingan umat. Prinsip ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Yasin Al-Fadani dalam Al-Fawaidul Janiyyah berikut:
(وَرُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا): أَيْ دَفْعُ أَعْظَمِهِمَا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا. قَوْلُهُ: (وَدَلِيلُنَا): أَيْ مُعْتَمَدُ الشَّافِعِيَّةِ عَلَى هَذِهِ الْقَاعِدَةِ. قَوْلُهُ: (بَوْلُ الْأَعْرَابِيِّ فِي الْمَسْجِدِ): أَيْ حَدِيثُ بَوْلِ الْأَعْرَابِيِّ فِي الْمَسْجِدِ... قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ: فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ ﷺ الْكَفَّ عَنِ الْأَعْرَابِيِّ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ، وَهُوَ دَفْعُ أَعْظَمِ الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ أَيْسَرِهَا.
Artinya, “(Mempertimbangkan yang paling besar bahayanya): maksudnya adalah mencegah bahaya yang lebih besar dengan mengambil bahaya yang lebih ringan. Ucapan: ‘Dalil kami’ maksudnya adalah dasar yang dijadikan acuan oleh mazhab Syafi’i atas kaidah ini. Ucapan: ‘Kencingnya seorang Arab Badui di masjid’ maksudnya adalah hadis yang menceritakan peristiwa tersebut...”
“Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk membiarkan si Badui demi mempertahankan maslahat yang lebih besar, yaitu mencegah dua kerusakan dengan memilih yang lebih ringan.” (Al-Fadani, Al-Fawaidul Janiyyah, [Beirut: Darul Basyar al-Islamiah, 1996], juz I, hlm. 282)
Dalam konteks sound horeg, situasi kadang memaksa kita memilih antara dua keburukan: melarang parade dan menghadapi potensi konflik dengan sebagian warga yang merasa haknya dibatasi, atau membiarkannya berlangsung dengan risiko gangguan besar terhadap ketenangan sosial. Dalam fiqih, bila dua mafsadah tak bisa dihindari bersamaan, maka yang harus diambil adalah pilihan yang paling ringan, demi mencegah mafsadah yang lebih besar dan lebih berbahaya bagi masyarakat luas.
Parade sound horeg mungkin menimbulkan ketegangan sosial jika dilarang tiba-tiba, seperti protes dari penyelenggara atau gesekan antarwarga. Namun, jika dibiarkan tanpa kendali, kerusakan yang muncul bisa lebih luas seperti gangguan tidur, bayi menangis sepanjang malam, kaca pecah, moralitas publik rusak, hingga konflik horizontal. Maka, menurut prinsip syariat, pembatasan yang tegas dan terukur adalah langkah bijak dalam mencegah mafsadah yang lebih dalam dan meluas.
Standar Maslahat dan Mafsadah
Dalam uraian panjang sebelumnya, kita telah mencoba memetakan antara maslahat dan mafsadah dari dua sisi antara mereka yang pro terhadap parade sound horeg dan mereka yang menentangnya. Namun, penting untuk mengajukan pertanyaan kritis, apakah pemetaan tersebut sudah sesuai dengan standar fiqih? Bisa jadi, beberapa unsur yang kita anggap maslahat justru secara syar‘i tidak tergolong maslahat yang sahih atau bersifat sementara dan tidak substansial.
Dalam prinsip syariat, standar maslahat tidak diukur dari selera publik atau manfaat sesaat, melainkan berdasarkan kesesuaiannya dengan maqashidusy syari‘ah, yaitu menjaga agama (hifzud din), jiwa (hifzun nafs), akal (hifzul ‘aql), keturunan (hifzun nasl), dan harta (hifzul mal). Jika suatu aktivitas mendukung lima tujuan dasar ini, maka ia termasuk maslahat. Namun jika bertentangan, meski tampak menguntungkan, maka aktivitas tersebut tidak dapat dikategorikan maslahat secara syar‘i.
Dalam konteks sound horeg, manfaat ekonomi yang lahir darinya memang bisa masuk dalam kategori hifzul mal, tapi jika kegiatan ini justru merusak ketenangan masyarakat, mengganggu bayi dan lansia, merangsang perilaku menyimpang, atau bahkan memicu kerusakan fisik dan moral, maka itu bertentangan dengan prinsip hifzun nafs, hifzul ‘aql, dan hifzun nasl. Oleh sebab itu, sound horeg tidak bisa langsung dianggap membawa maslahat jika faktanya justru merusak tujuan syariat yang lebih tinggi.
Prinsip ini sudah disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dalam Al-Mushtashfa Min ‘Ilmil Ushul berikut:
أَمَّا ٱلْمَصْلَحَةُ: فَهِيَ عِبَارَةٌ فِي ٱلْأَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ أَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ، وَلَسْنَا نَعْنِي بِهِ ذَٰلِكَ، فَإِنَّ جَلْبَ ٱلْمَنْفَعَةِ وَدَفْعَ ٱلْمَضَرَّةِ مَقَاصِدُ ٱلْخَلْقِ، وَصَلَاحُ ٱلْخَلْقِ فِي تَحْصِيلِ مَقَاصِدِهِمْ، لَكِنَّا نَعْنِي بِٱلْمَصْلَحَةِ ٱلْمُحَافَظَةَ عَلَىٰ مَقْصُودِ ٱلشَّرْعِ، وَمَقْصُودُ ٱلشَّرْعِ مِنَ ٱلْخَلْقِ خَمْسَةٌ، وَهُوَ: أَنْ يَحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ، وَنَفْسَهُمْ، وَعَقْلَهُمْ، وَنَسْلَهُمْ، وَمَالَهُمْ، فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظَ هَٰذِهِ ٱلْأُصُولِ ٱلْخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ، وَكُلُّ مَا يُفَوِّتُ هَٰذِهِ ٱلْأُصُولَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ، وَدَفْعُهَا مَصْلَحَةٌ.
Artinya, “Adapun maslahat, secara asal adalah istilah untuk meraih manfaat atau menolak bahaya. Namun, bukan itu yang kami maksud di sini. Sebab meraih manfaat dan menolak bahaya adalah tujuan makhluk, dan kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan-tujuan mereka. Yang kami maksud dengan maslahat adalah menjaga maksud syariat. Tujuan syariat atas umat manusia ada lima: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.”
“Maka, segala hal yang mengandung penjagaan terhadap lima prinsip ini adalah maslahat. Sebaliknya, segala sesuatu yang menghilangkannya adalah mafsadah, dan mencegahnya merupakan bagian dari maslahat.” (Al-Ghazali, Al-Mushtashfa Min ‘Ilmil Ushul, [tanpa penerbit], juz, II h. 481-482)
Dengan demikian, prinsip ini dapat dijadikan argumen penyeimbang ketika para pendukung parade sound horeg terlalu membesar-besarkan kerugian jika kegiatan tersebut dihentikan. Klaim bahwa penghentian parade akan menggugurkan maslahat seperti geliat ekonomi, ekspresi budaya lokal, dan semacamnya harus diuji berdasarkan standar syariat. Jika terbukti parade tersebut justru merusak tujuan utama syariat, maka penghentian itu justru termasuk tindakan bermaslahat.
Akhir kata, parade sound horeg bukan sekadar persoalan hiburan, tetapi menyangkut keseimbangan antara budaya, ekonomi, dan nilai-nilai syariat. Dalam Islam, hiburan tak dilarang, tetapi harus dibingkai oleh akhlak dan kemaslahatan bersama. Maka, membatasi atau bahkan menghentikan sound horeg bukan berarti menolak budaya lokal, melainkan upaya melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih besar. Fiqih hadir agar umat tidak terseret dalam euforia yang melupakan hikmah dan batasan. Walllahu a’lam.
Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.