Tokoh

Zainal Arifin Tanamas, Tokoh Buruh NU Sebelum Lahir Sarbumusi

NU Online  ·  Kamis, 1 Mei 2025 | 15:00 WIB

Zainal Arifin Tanamas, Tokoh Buruh NU Sebelum Lahir Sarbumusi

Zainal Arifin Tanamas (Foto: Repro buku Hasil Rakjat Memilih Tokoh-Tokoh Parlemen (Hasil Pemilu Pertama - 1955) di Indonesia (Parlaungan, 1956)

Nahdlatul Ulama (NU) secara konsisten ikut serta dalam upaya memperhatikan dan memperjuangkan hak-hak upah, perlindungan, dan kesejahteraan bagi para kaum pekerja atau buruh. 


Hal ini tentu juga didasarkan pada ajaran agama Islam, yang memperhatikan kesejahteraan buruh. Salah satunya sabda Nabi Muhammad saw, yang memerintahkan untuk memberitahukan upah yang akan diterima dan agar tidak menunda-nunda pembayaran upah.


Di dalam struktur Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sebelum terbentuk Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi), sudah ada bagian yang ditunjuk untuk mengurusi Perburuhan. Bidang Perburuhan ini, berdasarkan Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, 2009) muncul sejak kepengurusan tahun 1954-1956 


Nama yang tertera sebagai Ketua Bagian Perburuhan yakni H. Zainal Arifin Tanamas. Penggunaan Tanamas di belakang namanya, juga untuk membedakan satu tokoh PBNU yang juga Wakil Perdana Menteri (Waperdam) di masa itu, yakni KH Zainul Arifin.


H Zainal Arifin Tanamas dalam buku Hasil Rakjat Memilih Tokoh-Tokoh Parlemen (Hasil Pemilu Pertama - 1955) di Indonesia (Parlaungan, 1956) disebutkan profil singkatnya. Ia dilahirkan di Maninjau (Sumatera Tengah, kini masuk Sumatera Barat, pen) pada tanggal 9 Oktober 1906. 


Di dalam struktur NU, sebelum menjadi masuk PBNU, Zainal Arifin pernah menjadi Ketua Ranting NU Kebon Sirih Jakarta (1935-1937), kemudian Ketua PCNU Serang (1937-1943). Jabatan tertinggi di PBNU adalah sebagai anggota merangkap Wakil Ketua DPR RI (1956-1959).


Zainal Arifin pernah mengenyam pendidikan di MULO dan kursus jawatan Pos, Telegraf dan Telepon (PTT) di Bandung. Dari pendidikan tersebut, ia kemudian dapat berkarier menjadi Kontrolir Pos Kepala pada Jawatan PTT. Kemudian tahun 1947-1949, ia bekerja di Kementerian Pertahanan RI bagian Penerangan daerah Jawa Barat.


Pekerjaan di bagian telekomunikasi maupun penerangan ini juga ia teruskan dalam ranah pergerakan, di mana ia juga pernah menjadi anggota Pengurus Besar Sarekat Buruh (SB) Postel (1950-1955) dan pada tahun 1956 ia menjadi Ketua Umum Sarekat Sekerdja PTT. Kiprahnya mengurusi organisasi buruh ini pula, yang kemungkinan menjadi pertimbangan penunjukan dirinya menjadi anggota PBNU Bagian Perburuhan.


Selama dirinya menjadi Ketua Bagian Buruh PBNU, ia mengorganisir kekuatan buruh dan tentu saja membentuk organisasi-organisasi buruh di perusahaan, pabrik, dan lain sebagainya, yang kelak menjadi bagian dari Konfederasi Sarbumusi.


Dalam karier politik maupun pemerintahan, Zainal Arifin di antaranya pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Kabupaten Bandung di Pangalengan (1945-1948), kemudian anggota Badan Pemerintah Kotapraja Jakarta Raya (1951-1954), dan kemudian terpilih menjadi Anggota DPR RI dari Partai NU hasil Pemilu 1955 (1956-1959) dan pasca-Dekrit Presiden 1959 (1959-1960).


Sosialisme Indonesia
Selain data singkat yang ada di profil buku Hasil Rakjat Memilih Tokoh-Tokoh Parlemen, arsip mengenai Zainal Arifin juga penulis temukan pada Buku Kenang-kenangan Mu'tamar ke-XXII Partai NU Tahun 1959 di Djakarta (JAMUNU, 1962). Pada sesi pleno ke IV tanggal 16 Desember 1959, H Zainal Arifin ikut menyampaikan pandangan pemikirannya dengan judul Sosialisme ala Indonesia dan Ekonomi Terpimpin.


Secara runtut, ia mengemukakan sejarah ilmu ekonomi dunia, mulai dari pemikiran Adam Smith hingga Karl Marx. Dari paham individualisme, kapitalisme, sosialisme, hingga sosialisme ala Indonesia. Menurutnya, tujuan yang sebenarnya adalah untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.


"Sosialisme ala Indonesia, adalah sosialisme dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan dalam Indonesia, dengan adat istiadat bangsa Indonesia, dengan psikologi bangsa Indonesia, dengan kejakinan dan kepertjajaan rakjat Indonesia. Sosialisme ala Indonesia bukanlah sosialisme ala Rusia, bukan sosialisme ala RRT, bukan sosialisme ala Yugoslavia, atau ala negara-negara komunis lainnja jang berada di belakang tirai besi," tulisnya. 


Ia menambahkan sosialisme ala Indonesia, selaras dengan nilai yang terdapat pada Pancasila serta UUD 1945. Kemudian dalam pidatonya tersebut, H Zainal Arifin juga mengemukakan perihal ekonomi terpimpin.


Mengenai sosialisme Indonesia ini juga pernah dibahas oleh Rais Aam PBNU KH Abdul Wahab Chasbullah dalam sebuah rapat Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sebagaimana termaktub dalam buku Berangkat dari Pesantren (KH Saifuddin Zuhri, 2013, hlm 604). Menurutnya, sosialisme pada dasarnya suatu ajaran yang mengandung cita-cita yang baik.


"Istilahnya yang lain untuk sosialisme ialah isytirakiyah atau musyarakah yang artinya berkawan atau bersekutu. Itu sebabnya timbul istilah perserikatan. Karena istilah tersebut mengandung tujuan yang baik, yakni membagi rezeki secara adil, dengan sendirinya mencegah nafsu serakah hendak menguasai diri sendiri," terang Kiai Wahab.


Menurut Kiai Wahab. sosialisme di dunia itu bermacam-macam dan tidak semuanya bisa dipraktikkan di Indonesia. "Oleh karena itu, sosialisme yang kita praktikkan, adalah sosialisme Indonesia yang sesuai dengan adat istiadat bangsa kita, kebudayaan kita maupun keyakinan agama kita."


Begitulah, pandangan sosialisme Indonesia saat itu begitu populer. Terlebih pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno. Maka, materi sosialisme ala Indonesia yang disampaikan H Zainal Arifin pada Muktamar NU tahun 1959, menjadi sebuah gagasan hangat di masa itu.


Dalam konteks sebagai pengurus NU, H Zainal Arifin memiliki catatan sejarah, khususnya dalam perannya membidangi soal perburuhan juga mengorganisasi massa buruh di kalangan NU, sebelum lahir Sarbumusi. Ketika Sarbumusi berdiri di tahun 1955, ia tak lagi menjadi Ketua. Tokoh yang ditunjuk menjadi Ketua Umum Sarbumusi untuk yang pertama yakni H Murtadji Bisri, yang akan penulis paparkan pada artikel berikutnya.

 

Menurut penuturan dari salah satu cucunya, Ina Aie Tanamas, H Zainal Arifin meninggal dunia di Jakarta pada bulan Oktober 1970 dan dimakamkan awalnya di TPU Karet Bivak, namun karena terjadi pelebaran jalan kemudian dipindahkan ke TPU Srengseng Sawah.


Ajie Najmuddin, Pemerhati sejarah NU