Tokoh

Jejak Intelektual KH Achmad Muchdlor: dari Pesantren hingga Dua Gelar Doktor

NU Online  ·  Selasa, 29 Juli 2025 | 15:25 WIB

Jejak Intelektual KH Achmad Muchdlor: dari Pesantren hingga Dua Gelar Doktor

KH Achmad Muchdlor(Foto: Dok. Keluarga)

Prof. Dr. KH Achmad Muchdlor, SH., lahir di Desa Kauman, Babat, Lamongan, Jawa Timur, sebagai anak keenam dari sepuluh bersaudara pasangan H. Muchdlor dan Hj. Nasiyah. Perjalanan menuntut ilmunya dimulai sejak usia sembilan tahun di Madrasah At-Tahdzibiyah Babat, dilanjutkan dengan pengabdian tiga tahun (1948-1951) di Pesantren Sawahan Babat di bawah asuhan Kiai Mudloffar.


Ia kemudian melanjutkan pendidikan di SGA Islam atau PGA Bojonegoro (1951-1956) sambil mendalami ilmu di Pesantren Kendal, Dander, Bojonegoro, bersama Kiai Abu Dzar. Perjalanan spiritualnya tak berhenti di situ, berlanjut ke Pesantren Langitan yang diasuh oleh KH Abdul Hadi Zahid, Widang Tuban.


Menariknya, KH Achmad Muchdlor memiliki dua tanggal lahir yang tercatat. Meskipun Majalah Kaki Langit menulis 9 Agustus 1937, banyak arsip administratif menunjukkan 8 September 1939. Setelah ditelusuri, tanggal lahir sebenarnya adalah 9 Agustus 1937. Perubahan ini terjadi pada 1963 saat ia diangkat menjadi Bi’tsatul Hajj. Prof. Koesnoe menyarankan perubahan tahun kelahiran menjadi 1939 agar ia masuk kategori usia muda, mengingat pada saat itu tim Bi’tsatul Hajj terbagi tiga golongan: tua, dewasa, dan muda.


Semangat "Fighting Spirit" dan Filosofi Hidup yang Menginspirasi
KH Achmad Muchdlor sangat terinspirasi oleh perjuangan kedua orang tuanya yang aktif mendirikan madrasah dan terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan. Ayahnya, H. Muchdlor, adalah teladan "fighting spirit" dan konsisten dalam mencapai tujuan mulia (uluwwul himmah) demi menegakkan kalimatullah (li i′lai kalimatillah).


Semangat untuk memberikan manfaat kepada orang lain, jauh dari ego pribadi, tertanam kuat dalam diri Achmad Muchdlor. Semboyannya, "Hum rijaalun nahnu rijaalun" (mereka lelaki kita juga lelaki), mencerminkan kegigihan dan kesetaraan dalam berjuang. Ia dikenal dengan ungkapan, "Jangan takut mati karena belum makan dan minum, tapi takutlah mati karena tidak berjuang."


Ia juga sangat menghayati bait dari kitab Ta’liimul Mutaallim: "Likulli yaumin ziyadatan minal ilmi washbah fi buhuuril fawaidi" (tiap hari bertambah ilmu dan bergelimang dalam lautan yang berfaedah), yang kemudian disempurnakan dengan "Bijaddin laa bijiddin kullu majdi fahal jaddun bilaa jiddin bimujdi" (segala sesuatu bisa dicapai dengan semangat, kemampuan, dan kearifan Tuhan). Semboyan ini memadukan ikhtiar dan doa, menjadikan buku sebagai teman setianya.


Jejak Perjuangan di Malang: Dari Madrasah Hingga Perguruan Tinggi
Perjalanan KH Achmad Muchdlor membawanya ke Malang. Saat menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah Langitan, ia mengampu kelas 4, 5, dan 6, serta menginisiasi forum halaqah yang membahas multi-disiplin ilmu, dari tasawuf hingga kimia, guna memperkaya ilmu santri dan membentuk sikap ilmiah.


Di pesantren asuhan KH Ali Maksum, ia dengan cepat mendalami berbagai kitab dan mempelajari hizib di pesantren Syekh Muhammad Idris, Cirebon. Titik balik perjuangannya di Malang terjadi setelah bertemu Sayyid Muhammad Al-Jufri yang memberinya pilihan tempat berjuang: Semarang, Yogyakarta, atau Malang. Pilihan ini diperkuat oleh ayahnya, H. Muchdlor, yang menguatkan tekadnya untuk berjuang di Malang.


Setibanya di Malang, surat dari ayahnya mengantarnya kepada KH Abdur Rahim, Ro’is Syuriyah NU Kodya Malang, yang kemudian memperkenalkannya kepada Prof. Dr. Moch. Koesnoe, Dekan UNU.


Karier Akademik Tantangan Disertasi 
Dari perkenalan inilah, karier akademik KH Achmad Muchdlor di dunia perguruan tinggi dimulai sebagai asisten mahasiswa pada 12 Oktober 1961. Kegigihannya terbukti saat ia berhasil lolos ujian pendidikan doktoral tahap propaedeutic pada 1961 tanpa harus kuliah. Prof. Koesnoe kembali menawarinya ujian kandidat filsafat umum di APAI NU, yang kembali berhasil ia lalui pada 1962.


Prestise semakin melekat saat ia diamanahi sebagai Bi’tsatul Hajj oleh Departemen Agama Pusat pada 1963, dan mengemban misi misionaris Islam di Gunung Agung, Bali. Bahkan, ia diberi tugas tambahan untuk observasi di Perpustakaan Al-Jai’atul Islamiyah di Madinah. Pada 1964, ia lulus ujian Bakaliorat dari Fakultas Tarbiyah Wa Ta’lim UNNU Malang, dan pada 1966 kembali dipercaya mengemban amanah P3H (Panitia Perbaikan Perjalanan Haji).


Setelah itu, ia diamanahi menjadi utusan dekan dan asisten dosen mata kuliah balaghah. Ujian doktoral I dan II juga berhasil ia tempuh saat menjadi asisten dosen di IAIN.


Puncak karier akademik ia adalah saat rektor IAIN Surabaya, Abdul Jabar, tertarik menobatkan ia sebagai guru besar filsafat pendidikan IAIN. Untuk itu, ia harus mengajukan disertasi. Pada 2000, ia lulus ujian doktoral. Prof. Koesnoe menyarankan dua judul disertasi: "Riset Ronggowarsito adalah Pemimpin Thariqat di Tanah Jawa" dan "Analisis Transendental Tentang Eksistensi Jin Menurut Al-Qur’an dan Pengaruhnya Terhadap SDM." Kiai Muchdlor memilih judul kedua karena cukup dengan studi literatur.


Proposal disertasi yang telah rampung kemudian diajukan ke IAIN Surabaya dan tim guru besar Departemen Agama, AIMS, di Jakarta. Namun, AIMS menolak judul tersebut dengan alasan "analisis transendental tidak memiliki metode penelitian." Lebih dari itu, penolakan ini disinyalir karena konflik aliran, di mana mayoritas anggota AIMS yang beraliran Hanafiah enggan mendukung popularitas Kiai Muchdlor sebagai tokoh NU.


Meraih Gelar Doktor dari Harvard dan Profesor dengan Pidato Ilmiah
Kekecewaan akibat penolakan AIMS tak membuat Kiai Muchdlor menyerah. Prof. Koesnoe menghubungi Harris Robert, Presiden Harvard International University (cabang Jakarta dan Singapura), yang bersedia menguji disertasi Kiai Muchdlor. Prof. Koesnoe menegaskan bahwa penelitian ini fokus pada relasi keberadaan jin dan pengaruhnya terhadap sumber daya manusia, bukan esensi jin itu sendiri.


Dengan pembahasan yang radikal, sistematis, dan logis, Kiai Muchdlor memaparkan disertasinya di hadapan para punggawa Harvard International University. Dengan penuh percaya diri, ia dinyatakan lulus dengan gelar Doktor pada 10 Desember 2000.


Setahun kemudian, pada 2001, ia meraih gelar profesor. Syaratnya tak lagi ujian tertulis, melainkan cukup menyusun dan mengorasikan pidato ilmiah. Kiai H. Achmad Muchdlor menyampaikan pidato pengukuhan berjudul “Orientasi Berpikir dalam Ilmu Pengetahuan” di hadapan dewan penguji di Taman Mini Indonesia Indah, sebuah sumbangsih besar bagi wilayah intelektual.


Dedikasi Tanpa Batas: Rektor UNISLA dan Pendiri IAIN Sunan Ampel Malang
Darah perjuangan Kiai Muchdlor terus mengalir hingga akhir hayatnya. Ia mengemban amanah besar sejak peresmian Universitas Islam Lamongan (UNISLA) pada 10 Agustus 2000, berdasarkan SK Mendiknas No. 146/O/O/2000. Ia menjabat sebagai rektor sejak awal pendirian dan perintisan hingga akhir usianya, memimpin UNISLA dalam tiga periode dengan perkembangan pesat. Keberhasilan UNISLA ini tak lepas dari keistiqomahan ia dalam berjuang tanpa henti melakukan kebaikan tanpa tendensi keuntungan finansial.


Prof. Dr. KH Achmad Muchdlor S.H. adalah salah satu pejuang di balik berdirinya IAIN Sunan Ampel Malang (kini UIN Maulana Malik Ibrahim Malang). Atas usulan menteri agama, pendirian IAIN Sunan Ampel Malang dipelopori oleh UNU (sekarang UNISMA) dan Pesantren Luhur, sehingga keduanya turut terlibat dalam pembangunan dan perkembangannya.


UNU, yang telah berdiri tiga tahun sebelum IAIN Sunan Ampel Malang, memiliki tiga konsentrasi: Akademik Pendidikan Agama Islam (APAI), Hukum, Ekonomi, dan Sosial Kemasyarakatan. Untuk sinkronisasi, APAI diubah menjadi Fakultas Tarbiyah Wa Ta’lim (FTT). Selain itu, KH Achmad Muchdlor juga turut merintis berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Malang.


Penulis Produktif, Peneliti Sejarah, dan Inisiator Spiritual
Tak hanya piawai di ruang kelas, KH Achmad Muchdlor juga seorang penulis produktif. Ia menjadi pemasok utama artikel bertema intelektual-spiritual di majalah IAIN pada tahun 1993 dan 1996.


Ia juga merupakan inisiator tim riset yang berdedikasi menemukan artefak-artefak sejarah Sunan Giri yang masih terpendam, yang hasil risetnya menjadi referensi buku Atlas Walisongo.


Sebagai muassis Pesantren Luhur, ia tak hanya mengajarkan dan membiasakan santrinya berwirid untuk kemampuan spiritual, tetapi juga mengoptimalkan intelektualitas mereka melalui halaqah. Halaqah ini bertujuan mengembangkan ilmu dan menjadi strategi belajar dengan metode bandongan yang umum di pesantren.


Karya-karya Tulis
Karya tulis Prof. Dr. Kiai H. Achmad Muchdlor, S. H. yang telah dan belum terpublikasi sangat beragam, mencakup bidang sejarah, filsafat, logika, linguistik, dan pendidikan Islam. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Sejarah Dakwah Walisongo dan Sunan Giri, Percetakan Alwi, Surabaya, 1974
  2. Kitab Kasyfud Dujjah  (Khulasah Fi Ilmi Ar Ruudl), Biro Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, Malang, 1989
  3. Studi Tentang Pengembangan Dan Pembinaan Agama Islam Dan Pendidikannya Di Daerah Perbatasan Lintas ASEAN Kalimantan Barat, Biro Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, 1993
  4. Prinsip-prinsip Dasar Memahami Al-Quran, Biro Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, Malang, 1994
  5. Perbedaan Pendapat dalam Madzhab, Penerbit Sarjana Indonesia, Surabaya, 1994
  6. Logika Berpikir dalam Ilmu Mantiq, Penerbit Sarjana Indonesia, Surabaya, 1995
  7. Kamus Filsafat Umum, Penerbit Rajawali Press, Malang, 1995
  8. Linguistik Bahasa Arab, Biro Penulisan Karya Ilmiah IAIN Malang, Malang, 1995
  9. Filsafat Keberadaan Sang Pencipta, Biro Penulisan Karya Ilmiah IAIN Malang, Malang, 1995
  10. Filsafat Tujuan Pendidikan Islam, Biro Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, Malang, 1995
  11. Analisis Transendental Tentang Eksistensi Jin Menurut Al-Qur’an dan Pengaruhnya Terhadap SDM, Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Malang, Malang, 1996
  12. Sistem Berfikir dalam Ilmu Pengetahuan, Penerbit Sarjana Indonesia, Surabaya, 1996
  13. Nahwu Shorof Praktis (Jilid I, II, dan III), Penerbit Sarjana Indonesia, Surabaya, 1996
  14. Filsafat Pendidikan Islam, Biro Penulisan Karya Ilmiah IAIN Malang, Malang, 1996
  15. Pengetahuan Metode Qur’any, Biro Penulisan Karya Ilmiah IAIN Malang, Malang, 1996
  16. Kunci Pengendalian Diri dalam Ilmu Tasawuf, Biro Penulisan Karya Ilmiah IAIN Malang, Malang, 1996
  17. Tathbiqu Balaghah, Biro Penulisan Karya Ilmiah IAIN Malang, Malang, 1996
  18. Tauladan yang Baik bagi Muballigh dan Pendidik, Biro Penulisan Karya Ilmiah IAIN Malang, Malang, 1997
  19. Ilmu Pengetahuan Badi’ (Sastra Arab), Biro Penulisan Karya Ilmiah IAIN Malang, Malang, 1997
  20. Tema: “Memacu Meningkatkan Kualitas Sarjana untuk Membina Kualitas Sumberdaya Manusia”, Edisi Khusus Majalah IAIN Malang tahun 1993
  21. Tema: “Dialektika dalam Konsep Islam”, dalam Majalah Ilmiah Tarbiyah edisi ke-34, tahun 1994
  22. Tema: “Peranan Potensi Kreativitas Mental dalam Meningkatkan Argumentasi Berfikir Rasional”, dalam Majalah Ilmiah Tarbiyah edisi ke-36 tahun XIII Juni 1995
  23. Tema: “Pemikiran Radikal Filsafah Ghozali”, dalam Majalah Ilmiah Tarbiyah, edisi ke-39 tahun XIII September 1995
  24. Tema: “Islam dan Etos Kerja”, dalam Majalah Ilmiah Tarbiyah edisi ke-40 tahun XIII Desember 1995
  25. Tema: “Iman dan Taqwa dalam Perspektif Filsafat”, dalam Majalah Ilmiah edisi ke-41 tahun XIII Maret 1996
  26. Tema: “Integrasi Tiga Komponen Kepribadian Muslim”, dalam Buletin Al Huda edisi No. 23 tahun November 1997
  27. Berbagai artikel ilmiah di majalah IAIN, seperti “Memacu Meningkatkan Kualitas Sarjana untuk Membina Kualitas Sumberdaya Manusia” (1993) dan “Islam dan Etos Kerja” (1995).


Selain karya tulis, KH Achmad Muchdlor juga menciptakan “Sholawat Irfan” yang populer sebagai lagu qasidah dan menjadi mars UIN Maulana Malik Ibrahim Malang hingga kini.


KH Achmad Muchdlor berdomisili di Jalan Raya Sumbersari Nomor 88, Malang (Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang) dan Jalan Raya Kauman, Babat, Lamongan. Ia menikah dengan Ibu Nyai Hj. Utin Nur Hidayati dan dikaruniai tiga anak: Utin Daris Mazia, Utin Davis Mirfada, dan Mohammad Danial Farafish. Ia wafat pada hari Jumat, 2 Shafar 1434 H atau 6 Desember 2013.
 

Penulis: Ali Syamsudin Tamami dan Muhammad Fadlil Fisabilillah