Farida Mawardi, Memimpin Organisasi Pelajar Putri NU di Masa Genting (1963-1966)
NU Online · Jumat, 20 Juni 2025 | 13:10 WIB
Ajie Najmuddin
Kolomnis
Pada saat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) didirikan pada 2 Maret 1955, usianya belum genap sepuluh tahun. Pemilik nama lengkap Faridatul Unsiyah Mawardi tersebut dilahirkan di Kota Solo pada 20 Agustus 1945 atau hanya tiga hari setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Farida atau Faridah, begitu ia biasa dipanggil, memiliki kakak bernama Latifatuzzahroh (Latifah) Mawardi, yang meski terpaut usia cukup jauh dari kakaknya tersebut (terpaut kurang lebih 8-9 tahun), namun ia kerapkali melihat beberapa pertemuan yang diselenggarakan di rumahnya di Jalan Imam Bonjol No 35 Keprabon Wetan Solo.
Kira-kira, pada tahun 1954, rumahnya yang juga sering disebut sebagai Pesantren Mashyudiyah (merujuk pada nama kakek Farida bernama KH Masyhud) atau kediaman Nyai Masyhud (merujuk pada nama nenek Farida atau istri KH Masyhud), kerap digunakan untuk pertemuan teman-teman kakaknya.
Diskusi-diskusi ringan yang dilakukan oleh sejumlah pelajar putri di Solo kala itu, di antaranya Umroh Machfudzoh, Atikah Murtadlo, Latifah Mawardi, Romlah, Basyiroh Soimuri, dan lain-lain. Dengan panduan Ketua Fatayat Cabang Surakarta, Nihayah (yang di kemudian hari menjadi istri Rais Aam PBNU, KH Achmad Siddiq), mereka berbicara tentang pentingnya organisasi pelajar putri dalam tubuh organisasi NU, setelah sebelumnya, pada bulan Februari 1954, telah lahir Ikatan Pelajar NU (IPNU).
Gagasan ini menjadi semakin matang dengan diusulkannya pembentukan sebuah tim kecil oleh paman Farida bernama Mustahal Achmad, Ketua PC IPNU Surakarta saat itu, untuk membuat draf pendirian IPPNU. Gagasan ini akhirnya terealisasikan dan kemudian bersamaan dengan momen Muktamar I IPNU di Malang, Jawa Timur tahun 1955, berdirilah IPPNU.
Hampir setahun berikutnya, pada Januari 1956, diselenggarakanlah Konferensi Besar (Konbes) pertama (kelak disebut sebagai Kongres I) IPPNU yang diselenggarakan di Kota Surakarta. Rumah Farida dijadikan untuk pusat kepanitiaan Konbes. Hasil Konbes memutuskan untuk membentuk Pimpinan Pusat IPPNU yang berkedudukan di Solo (tepatnya di rumah Ny Hj Mahmudah Mawardi), dengan susunan pengurus utama: Basyiroh Shoimuri (Ketua Umum), Umroh Machfudzoh (Ketua I), dan Syamsiyah Muthoyyib (Sekjen).
Keluarga Penggerak NU
Farida terlahir dari keluarga penggerak NU. Kakeknya, KH Mashyud bin Qosim bin Ahmad merupakan tokoh kelahiran Bonang Lasem yang kemudian menjadi salah satu tokoh pengurus NU Surakarta pada masa awal berdiri (tahun 1930-an). Kemudian ibunya yang bernama Nyai Hj Mahmudah merupakan tokoh wanita NU, yang pernah menjadi Ketua Umum PP Muslimat NU selama beberapa periode (1950-1979). Sedangkan ayahnya Kiai Mawardi, merupakan tokoh Islam di Kota Solo, yang wafat di usia yang tergolong masih muda.
Pasangan Kiai Mawardi dan Nyai Mahmudah melahirkan 4 orang anak, yakni Djabir Mawardi (lahir tahun 1934), A Chalid Mawardi (1936), Latifatuzzahroh Mawardi (1936/1937), dan yang terakhir Faridatul Unsiyah Mawardi (1945). Keempat putra-putri Kiai Mawardi dan Nyai Mahmudah tersebut, kemudian juga ikut aktif sebagai penggerak NU.
Djabir aktif sebagai pengurus PMII dan GP Ansor, kemudian Chalid ikut mendirikan IPNU dan PMII, dan juga pernah menjadi Ketua Umum PP GP Ansor (1980-1985). Di kemudian waktu, KH A Chalid Mawardi mengemban amanah sebagai Ketua PBNU di era KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1989-1994.
Sedangkan Latifah yang setelah menikah dikenal sebagai Latifah Hasyim, selain ikut mendirikan dan menjadi pengurus PP IPPNU di awal periode, juga pernah menjadi pengurus PP Muslimat NU sejak tahun 1968. Kemudian ia dipercaya menjadi Sekretaris Umum PP Muslimat NU (1984-1989), Ketua III (1989-1995), dan Ketua II (1995-2000).
Kemudian Farida yang memulai aktivitas organisasi, dengan menjadi pengurus IPPNU di Kota Surakarta. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, rumah Farida yang menjadi sentral PP IPPNU, membuatnya sedari dini telah banyak terlibat di organisasi ini.
Memimpin di Masa Genting
Sempat dipercaya sebagai salah satu ketua bidang PP IPPNU (1960-1963), pada Kongres ke-4 IPPNU di Purwokerto tahun 1963, Farida Mawardi terpilih sebagai Ketua Umum (Ketum) PP IPPNU (1963-1966) menggantikan Ketum sebelumnya, Machmudah Nachrowi. Farida didampingi Machsanah sebagai sekjen. Dalam buku Sejarah Perjalanan IPPNU 1955-2000 (PP IPPNU, 2000) diterangkan Kongres Purwokerto ini menandai awal kerja paralel IPNU-IPPNU dalam setiap kongres dan konbes di masa-masa berikutnya.
Ketika menjadi Ketua PP IPPNU, Farida membuat sejumlah kebijakan di antaranya pemindahan sekretariat PP IPPNU dari Surakarta ke Yogyakarta. Sekretariat PP IPPNU yang semula di rumahnya, di Jalan Imam Bonjol No. 35 Keprabon Wetan Surakarta secara berangsur-angsur dipindahkan ke Jalan Gandekan Lor 45, Yogyakarta.
Pada periode ini perluasan dan pembinaan cabang-cabang di luar Jawa masih diteruskan, diantaranya tourne ke Jambi dan Lampung. Untuk kelancaran komunikasi organisasi, diterbitkan pula majalah "Kartikawati" oleh Departemen Dakwah dan Penerangan yang berisi agenda kegiatan IPPNU. Dari sekian banyak, program kerja paling menonjol adalah pengusahaan beasiswa untuk segenap kader IPPNU, mengingat situasi ekonomi akibat kebijakan politik sedemikian parah.
Konsolidasi IPNU-IPPNU sendiri dilakukan dengan mengadakan Konbes di Pekalongan, Jawa Tengah. Konbes III IPNU dan konbes I IPPNU yang dilaksanakan bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda itu menelurkan "Doktrin Pekalongan" yang memberikan landasan idiil, khususnya butir 4, bagi IPNU-IPPNU untuk segera melakukan aktualisasi perjuangannya, ketimbang hanya sekedar mengeluarkan seruan, resolusi, deklarasi, dan konsepsi ideal lain.
Melalui doktrin itu, IPNU-IPPNU menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya sekedar alat pemersatu tetapi juga merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang memiliki kedudukan jauh lebih tinggi daripada Manifesto Komunis maupun Declaration of Independence.
Konbes juga menjawab isu yang sempat berkembang mengenai disatukannya keorganisasian IPNU dan IPPNU. Disebutkan dalam doktrin tersebut:
"... bahwa perpisahan organisasi antara IPNU dan IPPNU bukanlah suatu faktor yang dapat dijadikan sebab kemacetan dan terhambatnya perkembangan kedua organisasi dalam segala aspeknya, bahkan menunjukkan progresivitas dan emansipasi yang dibenarkan, yang oleh karenanya mengadakan peleburan dalam artian fusi dari kedua organisasi tersebut dipandang sangat tidak perlu dan tidak dibenarkan, di samping itu mengadakan integrasi dalam artian kerja sama perlu diintensifkan."
Doktrin tertanggal 28 Oktober 1964 itu dideklarasikan bersama oleh IPNU dan IPPNU, masing-masing diwakili oleh Asnawi Latief dan Farida Mawardi yang menjabat sebagai ketua umum. Hasil yang nyata dari doktrin tersebut adalah dibentuknya "Corps Brigade Pembangunan" (CBP) yang bertugas menghimpun putra-putri NU untuk membantu pelaksanaan pembangunan masyarakat desa, transmigrasi, dan program-program pembangunan mental dan material lainnya. CBP dibentuk sebagai organ di bawah PP IPNU dan PP IPPNU yang merupakan barisan serba guna dalam soal keamanan dan pembangunan.
Pada akhir bulan Juli hingga Agustus 1965 dilangsungkan pemusatan latihan (Training Center, TC) untuk komandan-komandan cabang dan daerah CBP di Cebongan, Yogyakarta. Mengenai TC ini akan penulis kemukakan di lain artikel.
Setelah terjadi peristiwa G30S pada awal Oktober 1965, pada perkembangannya IPNU-IPPNU tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dalam upaya untuk menyuarakan Tritura. Pada tanggal 12 Januari 1966, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan KAPPI memelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura. Isi Tritura adalah: 1. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, 2. Perombakan kabinet Dwikora, dan 3.Turunkan harga pangan.
Baca Juga
KH Chalid Mawardi Ulama Diplomat
Pada tanggal 20-24 Agustus 1966 di Surabaya diadakan Kongres VI IPNU dan V IPPNU. Kongres Surabaya ini memunculkan beberapa keputusan, diantaranya yang terpenting adalah pernyataan bahwa IPNU-IPPNU berdiri sendiri sebagai badan otonom NU, yang semula secara administratif bernaung di bawah LP Ma'arif.
Dengan menjadi badan otonom, Ketum PP IPNU dan IPPNU berhak duduk sebagai anggota pleno PBNU bersama badan-badan otonom lainnya. Sebagai konsekuensi dari perubahan status tersebut adalah IPNU dan IPPNU harus bisa lebih mandiri dalam setiap kegiatannya, namun di saat yang sama dapat berpartisipasi langsung dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan melalui sidang pleno PBNU.
Kongres juga memutuskan untuk memindahkan Pimpinan Pusat dari Yogyakarta ke ibukota negara yaitu Jakarta. Dalam kongres itu Asnawi Latif terpilih kembali sebagai Ketua Umum PP IPNU sedangkan Machsanah (yang kemudian menjadi istri Asnawi) dan Umi Hasanah masing-masing terpilih sebagai Ketua Umum dan Sekjen PP IPPNU.
Menjadi Pendidik
Ketika aktif di IPPNU, Farida juga kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada (UGM). Karena domisilinya ini juga aktivitas PP IPPNU lebih banyak dikendalikan dari Yogyakarta. Tamat dari universitas, Farida bekerja sebagai pegawai Kanwil Departemen Perindustrian dan Departemen Agama DIY, hingga kemudian menjadi Dosen di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Nama Purnomo, melekat di belakang namanya, setelah ia menikah dengan Muhamad Purnomo, yang kemudian membawa kariernya sebagai dosen hijrah ke IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Di ibukota, Farida aktif dalam PP Muslimat NU sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan pada kepengurusan PP Muslimat NU tahun 1995-2000 ia masih tercatat sebagai anggota.
Dari pernikahannya dengan Purnomo, ia dikaruniai dua anak, yakni SK Nawangsari (lahir 1975) dan Achmad Kurniawan Sudjatmiko (1977). Kesibukan mendidik dua anak tidak mengendurkan semangatnya untuk mengajar juga di Universitas Negeri Jakarta (dulu IKIP Jakarta). Semangat belajarnya yang tinggi mendapatkan penyaluran setelah berhasil melanjutkan ke jenjang magister di Macquari University, Australia. Kefasihannya dalam bahasa Inggris memberikan Farida kesempatan untuk mengikuti beberapa pelatihan dan seminar di Korea Selatan, London, dan Bangkok.
Farida juga tercatat pernah menjadi Dewan Penasehat Kowani (Korps Wanita Indonesia). Putrinya, Nawangsari (Sari) mengingat perjuangan Farida. “Saya masih teringat yang dilakukan ibu bersama ketua Kowani pada saat itu adalah Ibu Sulasikin Murpratomo memperjuangkan hak kaum perempuan Indonesia,” ujar Sari kepada NU Online pada Rabu (18/6/2025).
Sari menyampaikan di tengah kepadatan aktivitas organisasi dan pekerjaannya sebagai dosen UNJ, Farida selalu meluangkan waktu untuk berdiskusi serta bertukar pikiran bersama anak-anaknya yang dapat meningkatkan pengetahuan mereka.
“Setiap selepas maghrib ketika kami masih butuh bimbingan beliau selalu duduk bersama kami membantu mengerjakan PR (pekerjaan rumah) ataupun melakukan evaluasi dalam belajar kami,” ungkapnya.
Farida meninggal dunia pada Selasa (17/6/2025) sore di kediamannya, Jalan Kebon Sirih Barat Nomor 7, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta Pusat.
Ajie Najmuddin, pemerhati sejarah NU
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
4
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
5
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
6
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
Terkini
Lihat Semua