Internasional

Sarasehan dan Rekomendasi PCINU Eropa dan Mediterania

NU Online  ·  Rabu, 21 Januari 2015 | 16:01 WIB

Sejumlah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama di Eropa dan Mediterania mengadakan pertemuan di Den Haag, Belanda. Perwakilan PCINU yang datang adalah Belanda, Maroko, Jerman, Belgia, United Kingdom, dan Prancis.
<>
Pada pertemuan yang dikemas dengan sarasehan tersebut membahas berbagai hal dan rekomendasi. Berikut rnaagkuman ceramah dan diskusi selama Sarasehan berlangsung oleh Mohamad Shohibuddin (Katib Syuriyah PCI NU Belanda).

“ISLAM NUSANTARA” DAN OTENTISITASNYA

• Islam Nusantara adalah identitas kawasan di Nusantara yang mencakup sebagian besar wilayah Asia Tenggara dan berpusatkan di Indonesia. Identitas ini berintikan pada ideologi keagamaan aswaja dengan ciri khas berupa sikap sosial-keagamaan tawassuth, tawazun, dan i’tidal yang dikembangkan tidak saja dalam rangka persaudaraan sesama agama (ukhuwwah islamiyyah), tetapi juga persaudaraan sebangsa (ukhuwwah wathaniyyah) dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah).

• Islam Nusantara, betapapun coraknya adalah khas dan tidak selalu mengikuti budaya Arab, adalah sah dan otentik karena sanadnya bisa terlacak dengan baik. Mata rantai intelektual yang membentuk tradisi dan khazanah Islam Nusantara bisa ditelusuri dengan baik dan gamblang yang memperlihatkan bagaimana para ulama Nusantara dulu terhubung pada sumber-sumber ruhaniah dan keilmuan Islam yang ada di Hijaz maupun belahan dunia lain. Bukan saja terhubung dalam arti sebagai penerima pasif, sebaliknya banyak ulama Nusantara menjadi otoritas keagamaan yang turut mewarnai transmisi ruhaniah dan keilmuan Islam ke seantero dunia. Ini bisa dicontohkan dengan Abdurrauf Singkeli, Yusuf Makassari, Nawawi Banteni, dan lain-lain.

• Bukti lain dari otensitisitas Islam Nusantara adalah bahwa banyak praktik sosial-keagamaan yang dianggap khas di Nusantara ternyata juga bisa dijumpai secara luas di negara lain, misalnya di Maroko. Hal ini bisa dilihat dalam banyak amalan ibadah (seperti tradisi membaca dalail al-khayrat, tahlil dan menghadiahkan pahala, membaca al-Qur’an berjamaah, dan lain-lain), bertasawuf dan bertarikat, maupun dalam tradisi sosial keagamaan (seperti maulid Nabi, selamatan kematian, ziyarah kubur, kumpulan wali, dan lain-lain). Bahwa ujung timur dunia Islam berbagi banyak keserupaan praktik sosial-keagamaan dengan ujung barat dunia Islam membuktikan bahwa keduanya berhulu pada sumber ruhaniah dan keilmuan Islam yang sama.

PERAN HISTORIS DAN TANTANGAN

• Sebagai pusat dari Islam Nusantara, Islam di Indonesia memiliki dua ciri utama menonjol, yakni segi pengorganisasian dan pemikiran. Dua hal ini membedakan Islam di Indonesia dari Islam di belahan dunia yang lain.

• Dari aspek pertama, yakni pengorganisasian, Indonesia memiliki dua ormas besar yang tidak dimiliki oleh negara-negara Muslim lain, yakni NU dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini memiliki struktur organisasi mulai dari tingkat desa hingga nasional; dus menyerupai struktur negara. Secara periodik, kepemimpinan di setiap level ini diperbarui melalui pemilihan yang diselenggarakan secara rutin dan terbuka. Hal ini menjadikan dua organisasi ini sebagai laboratorium demokrasi yang terbesar di negara-negara Muslim. Berkat latihan ini, maka peralihan dari otoritarianisme Soeharto ke demokrasi dapat berjalan mulus. Hal ini tidak terlepas dari peran kedua organisasi besar ini yang menjadi faktor stabilitator yang penting. Di Turki juga ada organisasi masyarakat serupa Fethullah Gülen yang memiliki banyak lapangan usaha yang beragam, mulai keagamaan, sosial, dan ekonomi. Namun, organisasi ini minus satu hal: transparansi. Sebab, tidak seperti NU dan Muhammadiyah di Indonesia, organisasi ini tidak pernah menyelengarakan muktamar dan semacamnya untuk proses pergantian kepemimpinan secara rutin dan terbuka.

• Aspek kedua adalah pemikiran Islam yang sangat mengakar pada masyarakat. Pemikiran Islam di Indonesia memang tidak selalu bersifat orisinal karena banyak yang pengaruhnya dari luar dapat dikenali dengan baik. Tetapi yang istimewa, pemikiran Islam di Indonesia tidak pernah benar-benar bersifat elitis karena intelektualisme di Indonesia cukup mengakar pada masyarakat. Di luar Indonesia, kaitan intelektualisme dengan akar rumput semacam ini amat tipis. Tidak mengherankan jika kedua organisasi ini memiliki peranan yang penting dalam proses pembentukan negara-bangsa di Indonesia.

• Yang menjadi masalah adalah kenapa hal ini tidak bisa diekspor ke luar negeri? Kenapa Islam Nusantara yang dikenal moderat tenggelam oleh suara-suara yang radikal? Kenapa Indonesia tidak punya peran global yang kuat? Padahal, pada masa Soekarno, Islam sangat dihargai di dunia internasional, terutama di negara-negara Muslim.

• Para pemimpin Indonesia sejak era Soeharto terlalu berorientasi ke dalam dan tidak punya pretensi untuk memproyeksikan diri pada skala global. Hal ini berlangsung cukup lama. Tapi kini pasca Soeharto, Indonesia lebih percaya diri.

• PCI NU menjadi penting di sini karena secara organisatoris merupakan bagian dari ormas nasional tapi mendunia; memiliki akar lokalitas namun dengan pretensi untuk membangun kiprah global. Hal ini berbeda dengan Ikhwanul Muslimin atau salafi yang berwatak global namun tanpa akar tradisi dan lokalitas.

• Dalam kaitan ini ada dua agenda penting yang harus diinsyafi dan menjadi perhatian utama ke depan. Pertama, Islam Nusantara harus terus disegarkan kembali dengan cara menelaah kembali khazanah tradisi dan proses pembentukannya. Hal ini bukan saja dalam rangka menunjukkan jaringannya, tetapi juga isinya sehingga bisa dikuatkan kembali pijakan pada aspek-aspek tradisionalisme Islam Nusantara, yakni yang disebut denga turath. Lebih lanjut, penelaahan ini tidak terbatas pada tradisi yang terbentuk di Kairo, Mekah, Rayy, Maragha, Rum, Tarim dan sekitarnya, tetapi juga yang terbentuk di wilayah Nusantara sendiri.

• Agenda kedua adalah melanjutkan proyeksi “kosmopolitanisme” Islam Nusantara dari semula pada ranah nasional (pembentukan negara-bangsa) menjadi pada ranah antar-negara dan bahkan antar-bangsa, misalnya bagaimana Islam Nusantara dapat terlibat dalam membangun perdamaian dunia. Ini menuntut bukan saja pentingnya memikirkan “bagaimana ber-Aswaja dengan cara berpikir global”, namun lebih-lebih “bagaimana memecahkan persoalan dunia dengan kerangka berpikir Aswaja”.

KONDISI UMUM YANG DIALAMI/DIHADAPI

• Persoalan utama yang dihadapi oleh umat Islam khususnya di Eropa adalah meningkatnya gejala Islamophobia. Terutama di tingkat kesadaran popular, terjadi eksplosi Islamophobia karena bercampur dengan perasaan xenophobia. Hal ini didukung oleh media yang memang cenderung memecah belah masyarakat dan memojokkan Islam.

• Pengaburan makna jihad dan Islam bersifat sistematis yang tercermin dalam penyebutan “jihadis” dan “Islamist” untuk merujuk pada radikalisme Islam. Hal ini bukan hanya di media massa, namun juga dalam literatur ilmiah. Hal ini menimbulkan suatu asosiasi bahwa Islam mendorong penganutnya melakukan jihad yang dikaburkan artinya sebagai aksi kekerasan.

• Di pihak lain, persoalan utama yang tak kalah gentingnya adalah kalangan generasi muda Muslim sendiri yang sangat rentan dengan radikalisasi keagamaan. Hal ini karena mayoritas pendidikan Islam yang ada di Eropa sangat elementer. Belum banyak lembaga Islam di Eropa yang menawarkan pendidikan agama pada tingkat yang lebih tinggi. Hal ini diperburuk oleh lemahnya institusi keulamaan di kalangan komunitas Muslim di Eropa sehingga tidak ada otoritas keagamaan yang benar-benar bisa menjadi rujukan. Akibatnya, Islam mudah dipolitisasi termasuk untuk mendukung ideologi kekerasan.

• Persoalan lain yang secara khusus dihadapi diaspora Muslim Indonesia di Eropa adalah kesenjangan antargenerasi dalam sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keagamaan. Meski masih banyak kelemahan, transisi dari generasi pertama ke generasi kedua saat ini telah berlangsung dengan ciri Islam Nusantara yang masih cukup menonjol. Namun transisi dari generasi kedua ke generasi ketiga dihadapkan pada hambatan besar: masalah komunikasi. Anak-anak dan remaja banyak yang sudah tidak bisa berbahasa Indonesia lagi, sementara para pendidik dan Ustadz/Ustadzah banyak yang masih kesulitan berbahasa Belanda secara lancar.

• Eksistensi diaspora Muslim Indonesia di Eropa masih kurang terdengar. Selain karena faktor sedikitnya jumlah kelompok ini dibanding diaspora Muslim dari negeri lain, hal ini juga akibat kurangnya eksposure ke luar dan partisipasi pada perdebatan-perdebatan publik. Di samping itu, kerjasama komunitas Muslim Indonesia dengan komunitas Muslim yang lain juga belum terlembaga.

• Komunitas Muslim di Suriname yang merupakan keturunan diaspora Jawa menghadapi persoalan kecenderungan terus merosotnya jumlah pemeluk Islam di kalangan kelompok ini. Hal ini merupakan akibat dari gerakan purifikasi yang kelewat eksesif terhadap kelompok “wong ngadep ngulon” sehingga banyak di antara mereka ini memutuskan untuk beralih agama.


REKOMENDASI

• Mewujudkan Islam yang penuh rahmat agar persepsi “Islam yang ditakuti” berubah menjadi “Islam yang dicintai”.

• Menyegarkan pemahaman mengenai aswaja agar dapat dipromosikan dan direaktualisasikan oleh para diaspora Muslim Indonesia dalam rangka melibatkan diri pada penyelesaian masalah-masalah global.

• Mengembangkan dan menguatkan institusi keulamaan yang mumpuni di kalangan diaspora Muslim Indonesia agar bisa merespon persoalan-persoalan aktual di Eropa dan menjamin proses sosialisasi dan internalisasi pendidikan Islam yang mulus di antara generasi ketiga.

• Mengembangkan metode dan inovasi baru dalam penyampaian dakwah Islam di Eropa, termasuk dengan memanfaatkan teknologi digital.

• Mengembangan kerjasama regional di kawasan Eropa dan Mediterania, termasuk utamanya melalui optimalisasi jaringan PCINU yang ada di kawasan tersebut.

• Memperkuat kemampuan lobi politik diaspora Muslim Indonesia di masing-masing negara Eropa.