Nasional

Martin van Bruinessen: Penelitian Keislaman Harus Jangkau Suara-Suara Arus Bawah

NU Online  ·  Sabtu, 9 Agustus 2025 | 18:05 WIB

Martin van Bruinessen: Penelitian Keislaman Harus Jangkau Suara-Suara Arus Bawah

Martin van Bruinessen. (Foto: dok. NU Online)

Jakarta, NU Online

 

Antropolog dan peneliti Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) asal Belanda Martin van Bruinessen menyebut pentingnya penelitian studi keislaman yang lebih berpihak pada suara arus bawah. Karena menurutnya pemahaman Islam di Indonesia tidak bisa hanya dilihat dari perspektif elite, melainkan harus menyentuh masyarakat akar rumput.

 

"Peneliti Islamic Studies saat ini perlu memiliki keberanian untuk melihat hal-hal yang selama ini luput dari perhatian dan menyuarakan, hal-hal yang mungkin tidak enak didengar," tegasnya dalam Peluncuran Buku dan Diskusi bertajuk Kontribusi Martin van Bruinessen dalam Pemikiran Aswaja di Indonesia di Aula Fakultas Islam Nusantara Unusia, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

 

Ia mengungkapkan bahwa selama ini banyak aspek penting dari perkembangan Islam yang luput dari perhatian akademisi dan selalu ada arus bawah yang temuannya lebih dekat dengan realita masyarakat dibandingkan dengan arus atas yang bermain di tingkat penguasa.

 

"Sebelum saya mulai meneliti, para ahli cenderung fokus pada Islam modernis, sementara NU dan Aswaja hanya dianggap sebagai reaksi belaka," ujarnya.

 

Menurutnya, diperlukan keberanian intelektual untuk mengangkat isu-isu yang kurang populer tetapi justru krusial bagi masyarakat. Martin menyebut peran Gus Dur sangat besar dalam mengubah tren penelitian Aswaja.

 

"Gus Dur punya pengaruh besar dalam membuat Aswaja diperhitungkan, bukan hanya sebagai tradisi lokal, tapi sebagai kekuatan intelektual," tambahnya.

 

Martin juga menyebut nama beberapa tokoh yang berkontribusi besar dalam pengembangan penelitian keislaman, di antaranya almarhum KH Imam Aziz, H Fakhruddin, dan Agus Salim.

 

Dalam diskusi tersebut, Farish A Noor, akademisi yang dikenal dengan penelitian lintas-budaya, menyoroti menurunnya minat penelitian mendalam di kalangan akademisi muda. "Mau belajar, mau tahu, ingin tahu—ini yang seharusnya menggerakkan peneliti. Sayangnya, ini justru yang sedang krisis di universitas-universitas saat ini," tegasnya.

 

Ia juga mengingatkan bahwa penelitian Islam ke depan harus bisa menjawab tantangan global, termasuk meluruskan stigma negatif seperti Islamofobia. "Dunia Barat selalu meminta kita membuktikan bahwa Islam bukan teroris. Nah, di sinilah peran penelitian yang berbasis pada realitas masyarakat, bukan sekadar teori," ujarnya.  

 

Pada kesempatan yang sama, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Suaedy yang juga meneliti Aswaja menekankan betapa beratnya memperjuangkan studi Aswaja di tengah dominasi wacana Barat. "Martin van Bruinessen adalah salah satu yang gigih membela Aswaja ketika masih dianggap tradisionalis dan anti-modern," katanya.  

 

Ia menambahkan, penelitian Martin tentang pesantren, tarekat, dan kitab kuning telah membuka jalan bagi studi Islam yang lebih inklusif. "Saya kira, seseorang yang mau meneliti tentang tarekat dan pesantren mau tidak mau harus merujuk kepada salah satu tulisan beliau," ujar Suaedy.  

 

Diskusi juga mengungkap pentingnya dokumentasi sejarah Islam Nusantara. Wasekjen PBNU Ahmad Ginanjar Syaban yang juga merupakan filolog dan penulis buku C. Snouck Hurgronje dan Wajah Islamnya mengungkapkan bahwa ribuan surat antara Snouck Hurgronje dan tokoh Islam seperti KH Soleh Darat tersimpan di Universitas Leiden. 

 

"Ini adalah khazanah tak ternilai yang bisa membantu kita memahami dinamika Islam Nusantara," katanya.  

 

Acara ini ditutup dengan peluncuran buku, Trajectories of Indonesian Islam (Martin van Bruinessen) beserta tiga buku lainnya yakni, C. Snouck Hurgronje dan Wajah Islamnya (A. Ginanjar Sya'ban), Kekerasan Linguistik: Bagaimana Bahasa Mengeliminasi Kelompok Minoritas (Faris Alnizar), dan Nahdlatul Ulama Abad Kedua, Islam Nusantara, dan Siyasah Peradaban (Ahmad Suaedy).