Kekerasan Polisi terhadap Demonstran, Ketua PBNU: Penyelidikan Harus Dilakukan Tim Independen
NU Online · Kamis, 4 September 2025 | 16:00 WIB
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), H Mohamad Syafi' Alielha atau Savic Ali, menyoroti rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian pasca-terjadinya peristiwa kekerasan yang diduga melibatkan aparat. Ia mendesak agar penyelidikan dilakukan oleh tim independen.
"Penanganan kasus ini harus melibatkan tim independen karena kepercayaan publik terhadap kepolisian berada di level yang sangat rendah. Apalagi pelakunya adalah aparat kepolisian sendiri," katanya dalam tayangan Kompas TV Satu Meja The Forum dengan judul Marak Aksi Demonstrasi: Disikapi Bukan Direpresi, dikutip NU Online pada Kamis (4/8/2025).
Menurutnya, peristiwa kekerasan oleh polisi ini sangat memprihatinkan, terutama mengingat berbagai program reformasi di tubuh kepolisian pasca-reformasi 1998, termasuk pelatihan hak asasi manusia dan penanganan massa, ternyata belum membuahkan hasil yang memadai.
"Kita menyaksikan bahwa puluhan tahun berlalu, kepolisian belum cukup belajar bagaimana mengendalikan massa. Padahal tugas kepolisian bukan hanya menciptakan keamanan dan ketertiban, tapi juga menjamin bahwa kemanusiaan tetap hidup dan aman," jelasnya.
Savic menambahkan, pelanggaran yang dilakukan aparat justru memperburuk situasi dan membuat publik semakin marah. Ia mengingatkan bahwa ini bukan kali pertama kepolisian terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap warga.
"Ketika bentrokan sudah terjadi di lapangan, manusia bisa bertindak berdasarkan insting dan kemarahan. Siapa pun bisa jadi korban, termasuk warga sipil yang tak bersalah," katanya.
Ia mencontohkan beberapa kasus yang menunjukkan bahwa korban kekerasan tidak selalu merupakan pihak yang terlibat langsung, melainkan bisa juga warga biasa yang terjebak dalam situasi tersebut.
"Yang kita pikirkan mestinya adalah bagaimana mencegah ini terjadi lagi. Negara harus hadir untuk melindungi, bukan justru melukai," pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah Anis mengungkapkan bahwa pihaknya memperoleh informasi adanya 1.683 orang yang ditangkap, di mana 32 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, sementara sebagian besar lainnya telah dibebaskan.
“Yang pertama, Komnas HAM mendorong Polda Metro Jaya untuk segera membebaskan peserta aksi yang ditangkap. Yang kedua, kami mendorong agar Polda bekerja secara profesional, akuntabel, dan transparan. Yang ketiga, berikan akses bantuan hukum bagi setiap peserta aksi yang ditangkap dan ditahan,” katanya dikutip NU Online dari laman resmi Komnas HAM pada Rabu (3/9/2025).
Berikut adalah korban aksi unjuk rasa yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia sejak 28 Agustus hingga 1 September 2025:
- Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun. Ia tewas setelah dilindas kendaraan taktis (rantis) milik Brimob Polri saat aksi berlangsung di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, pada Kamis, 28 Agustus 2025.
- Septinus Sesa, seorang pegawai PPPK di Provinsi Papua Barat. Ia mengalami penurunan kesadaran setelah terpapar gas air mata yang ditembakkan aparat Polda Papua Barat pada Kamis, 28 Agustus 2025. Ia dibawa keluarganya ke IGD RSAL Manokwari pada 29 Agustus 2025 pukul 05.55 WIT dan dinyatakan meninggal dunia oleh tim medis.
- Andika Lutfi Falah, pelajar kelas 11 SMK Negeri 14 Kabupaten Tangerang. Ia meninggal dunia usai diduga menjadi korban dalam kerusuhan di sekitar kompleks DPR/MPR RI pada Kamis, 28 Agustus 2025. Andika sempat dirawat intensif di RS Dr. Mintoharjo dengan luka berat di bagian belakang kepala akibat benturan benda tumpul sebelum akhirnya dinyatakan meninggal dunia.
- Rusdamdiansyah, seorang pengemudi ojek online yang meninggal dunia dalam demonstrasi di depan Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, pada Jumat, 29 Agustus 2025. Ia dikeroyok massa setelah diteriaki sebagai intel, yang memicu amukan dari sejumlah orang di lokasi.
- Sumari, seorang pengemudi becak berusia 60 tahun di Solo. Ia bukan peserta aksi, melainkan warga yang kebetulan berada di dekat lokasi unjuk rasa pada 29 Agustus 2025. Saat itu, Sumari tengah tidur di becaknya dan terkena paparan gas air mata yang ditembakkan aparat. Akibatnya, ia mengalami gangguan pernapasan dan meninggal dunia.
- Muhammad Akbar Basri, anggota Humas DPRD Kota Makassar. Ia menjadi salah satu korban dalam insiden kebakaran gedung DPRD Kota Makassar pada Sabtu, 30 Agustus 2025. Saat massa membakar gedung tersebut, Akbar diduga terjebak di dalamnya dan tidak berhasil menyelamatkan diri.
- Sarinawati, Staff DPRD Makassar yang juga meninggal dunia dalam peristiwa kebakaran gedung DPRD Kota Makassar. Ia berada di dalam gedung ketika api membesar dan tidak berhasil dievakuasi.
- Syaiful Akbar, Kasi Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Kantor Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Ia turut menjadi korban dalam peristiwa yang sama, terjebak dalam kobaran api saat massa membakar gedung.
- Rheza Sendy Pratama, mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta berusia 21 tahun. Ia sempat dirawat di RSUP dr. Sardjito setelah terluka dalam aksi unjuk rasa di Markas Polda DIY pada Minggu, 31 Agustus 2025, sebelum akhirnya meninggal dunia.
- Iko Juliant Junior, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) berusia 20 tahun. Ia meninggal dunia pada Minggu, 31 Agustus 2025, setelah dirawat di RS Kariadi. Meski polisi mengklaim kematiannya sebagai kecelakaan, keluarga dan rekan-rekan korban menemukan banyak kejanggalan.
Terpopuler
1
Jadwal Puasa Sunnah Sepanjang Bulan September 2025
2
Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Pidato Prabowo Tak Singgung Ketidakadilan Sosial dan Kebrutalan Aparat
3
Khutbah Jumat: Maulid Nabi dan 4 Sifat Teladan Rasulullah bagi Para Pemimpin
4
DPR Jelaskan Alasan RUU Perampasan Aset Masih Perlu Dibahas, Kapan Disahkan?
5
Prof. Moh. Koesnoe, Cendekiawan NU Kaliber Dunia: Ahli Hukum Adat dan Pendidikan
6
Prabowo Sebut Polisi yang Langgar Hukum dalam Penanganan Demo Akan Ditindak
Terkini
Lihat Semua