Fatwa Haram Tak Cukup, Negara Harus Bantu Atasi Akar Ekonomi di Balik Sound Horeg
NU Online · Jumat, 1 Agustus 2025 | 18:00 WIB
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Mahbub Maafi Ramdlan menanggapi polemik seputar penggunaan sound system bervolume tinggi alias "sound horeg" yang belakangan kembali ramai diperdebatkan di tengah masyarakat.
Menurutnya, permasalahan ini tidak bisa hanya disederhanakan pada persoalan hukum halal atau haram semata, melainkan berkaitan erat dengan realitas ekonomi masyarakat bawah yang kompleks.
"Fatwa keharamannya itu penting, tapi tidak cukup. Karena faktanya, yang terjadi di lapangan bukan sekadar soal suara bising, tapi soal perut, soal penghidupan," tegasnya dalam Forum Kramat: Sound Horeg: Hiburan Rakyat, Gangguan Umat? di Lobi PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (1/8/2025).
Kiai Mahbub mengilustrasikan, bagaimana fenomena seperti sound horeg muncul sebagai bagian dari strategi bertahan hidup di tengah krisis ekonomi. Ia bahkan menyamakan kondisi ini dengan seseorang yang bertanya soal hukum memakan kodok, padahal pekerjaannya sehari-hari adalah pencari kodok untuk menyambung hidup.
"Ketika saya ditanya soal hukum makan kodok oleh pencari kodok, saya bilang haram. Tapi dia bilang: saya hidup dari sini, anak saya bisa makan dari sini. Kalau begitu, solusinya apa? Nah, itu yang harus kita pikirkan bersama," ujarnya.
Dalam konteks ini, Kiai Mahbub menekankan bahwa tanggung jawab ulama tidak hanya berhenti pada penetapan hukum (fatwa), melainkan juga mendorong hadirnya solusi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
"Fatwa haram itu tidak boleh berhenti di teks. Harus ada peran aktif untuk mendorong negara turun tangan. Bukan cuma membuat aturan larangan, tapi juga hadir dalam menyelesaikan akar persoalannya yaitu kemiskinan dan pengangguran," kata dia.
Ia menyebut, banyak pelaku sound horeg sejatinya adalah warga miskin yang menjadikan profesi itu sebagai sumber penghidupan. Mereka membangun usaha kecil-kecilan, mempekerjakan tetangga, bahkan menyekolahkan anak dari pendapatan tersebut.
"Ini bukan sekadar soal gangguan suara. Ini soal dapur mereka. Jangan sampai kita hanya larang tanpa menawarkan alternatif. Itu tidak adil," ujarnya.
Kiai Mahbub juga menyoroti fakta bahwa kelompok pelaku sound horeg kini bahkan telah berorganisasi dan menyatakan diri mengganti nama menjadi “Sound Karnaval” sebagai upaya menghindari stigma.
Menurutnya, perubahan nama tidak menyelesaikan masalah, karena yang perlu dibenahi adalah sistem ekonomi yang melatarbelakanginya.
"Kalau sekadar ganti nama dari sound horeg ke sound festival, masalahnya tetap di sana: desakan ekonomi. Negara dan masyarakat harus hadir dalam membangun alternatif pekerjaan yang layak," ungkapnya.
Lebih lanjut, ia mengajak semua pihak, khususnya para ulama, untuk tidak berhenti pada perdebatan hukum semata. Diperlukan upaya kolaboratif antara ulama, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk menciptakan jalan keluar yang lebih manusiawi dan berkeadilan.
"Ini bukan sekadar soal suara keras. Tapi tentang orang-orang kecil yang sedang mencari cara untuk bertahan hidup. Kalau kita hanya melarang tanpa memberikan solusi, kita sedang menciptakan keputusasaan baru," pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menyiapkan Bekal Akhirat Sebelum Datang Kematian
2
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
3
Khutbah Jumat: Tetap Tenang dan Berpikir jernih di Tengah Arus Teknologi Informasi
4
Resmi Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Pengurus PP ISNU Masa Khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Perhatian Islam Terhadap Kesehatan Badan
6
Tuntutan Tak Diakomodasi, Sopir Truk Pasang Bendera One Piece di Momen Agustusan Nanti
Terkini
Lihat Semua