Sound Horeg dalam Tinjauan Kesehatan dan Thibbun Nabawi

Rasa gembira berlebihan yang berubah menjadi euforia dapat mengubah sesuatu yang semula merugikan orang lain dianggap sebagai sebuah kesenangan.

Di tengah maraknya hiburan alternatif berbasis suara dan energi, fenomena sound horeg muncul dan menarik perhatian luas karena efeknya yang diklaim dapat memberikan relaksasi sekaligus kesenangan bagi penikmatnya. Namun, di balik popularitas tersebut, praktik ini menuai beragam respons kritis, terutama terkait potensi risiko terhadap kesehatan, keamanan, serta dampaknya terhadap aspek spiritual, baik bagi peserta maupun masyarakat yang terdampak secara tidak langsung.


Dalam konteks Islam, penting untuk menelusuri aspek resiko hiburan ini melalui lensa Thibbun Nabawi, yaitu upaya kesehatan yang bersumber dari praktik dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut disebabkan karena eratnya hubungan antara hiburan dengan kesehatan fisik maupun mental manusia.


Thibbun Nabawi tidak hanya berlandaskan pada kesehatan fisik, tetapi juga menekankan keseimbangan spiritual serta kepatuhan terhadap syariat. Oleh karena itu, setiap bentuk hiburan yang melibatkan unsur non-material, seperti getaran suara atau gelombang audio, perlu diuji kesesuaiannya dengan nilai-nilai Islam. 


Bagaimana potensi risiko dari Sound Horeg, termasuk kemungkinan dampaknya terhadap kesehatan dan psikologis? Apakah praktik ini sesuai atau bertentangan dengan prinsip-prinsip Thibbun Nabawi?


Thibbun Nabawi tidak merekomendasikan perkara hiburan yang dapat melalaikan seseorang dari mengingat Allah. Sebagai contoh, Al-Hafiz Adz Dzahabi menyitir firman Allah SAW dalam Surat Al-Jumu’ah ayat ke-11. Hal tersebut Beliau tulis dalam Kitab Ath-Thibbun Nabawi ketika menjelaskan contoh permainan yang dapat memalingkan seseorang dari Allah dan Rasul-Nya sebagai berikut (Al-Hafidz Adz-Dzahabi, Thibbun-Nabawi, [Beirut, Dar Ihyaul Ulum, 1990: halaman 317):


وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا


Artinya: "Apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah)." (Al-Jumu'ah: 11)


Proses mengingat Allah melibatkan kesadaran penuh dari aktivitas otak. Orang yang lupa dari mengingat Allah bisa disebabkan karena ada rangsangan lain yang menutupi otaknya dari kesadaran berzikir. Rangsangan tersebut bisa berupa suara yang masuk melalui telinga atau hal lain yang memengaruhi panca indera.


Sound Horeg berdampak pada organ telinga yang terpapar langsung dengan gelombang suara kuat. Padahal telinga memiliki keterkaitan dengan syaraf sehingga sangat terkait dengan kesadaran sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab At-Thibbun Nabawi: “Allah telah menghubungkan sebagian syaraf otak dengan telinga dan berkat ia maka ada indera pendengaran.” (Thibbun-Nabawi, halaman 301)


Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila gelombang suara dapat ditangkap oleh syaraf yang ada di pendengaran karena sifat kepekaan telinga. Syaraf-syaraf itu berujung di otot-otot daun telinga yang menjadi titik aktif biologis. 


Titik-titik aktif biologis yang terdapat di daun telinga itu dinamakan sebagai Biologically Active Spots (BAS). Pada daun telinga, terdapat ratusan BAS yang apabila dirangsang secara optimal mampu menyelaraskan dan mengoptimalkan hampir semua fungsi organ. Apabila diterapkan pada pengobatan, maka dapat menurunkan tekanan darah tinggi, meredakan sakit gigi, dan sakit tenggorokan (Azhar, Cara Hidup Sehat Islami, [Bandung, Tasdiqiya Publisher, 2015], halaman 334-335).


Suara yang dimaksud dapat merangsang BAS pada telinga sehingga berdampak positif adalah lantunan suara yang merdu seperti bunyi-bunyian yang alami atau musik instrumental yang suaranya nyaman didengar telinga. Di dalam dunia medis, hal ini dikenal dengan terapi musik positif untuk menenangkan jiwa. Hal ini sejalan dengan konsep Thibbun Nabawi tentang terapi dengan gelombang suara.


Sound Horeg sangat bertentangan dengan kaidah hiburan melalui suara yang direkomendasikan dalam Kitab Ath-Thibbun Nabawi. Dalam kitab tersebut, Al-Hafidz Adz-Dzahabi menyatakan bahwa suara yang dapat dijadikan sebagai media terapi dan relaksasi adalah suara yang dapat menjernihkan pikiran.


Menurut Ibnu Qutaibah, lagu dan lantunan yang merdu dapat menjernihkan pikiran, menyegarkan jiwa, menyucikan darah, memperbaiki dan membantu kondisi penderita penyakit berat, dan mengembangkan semua kualitas alami dalam diri seseorang. Mendengarkan lagu dianjurkan sebagai bagian dari pengobatan beberapa penyakit, terutama penyakit yang disebabkan oleh limpa.” (Thibbun-Nabawi, halaman 301)


Sebaliknya, suara yang bising dan keramaian justru dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit karena bergejolaknya hormon dalam darah. Dalam kitab Thibbun Nabawi karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, disebutkan bahwa bergejolaknya darah karena dipaksa dapat menimbulkan penyakit (Al-Jauziyah, 1994, At-Thibbun Nabawi, DIMAS Toha Putra Grup: halaman 54).


Bergejolaknya darah yang dimaksud adalah meningkatnya hormon-hormon tertentu karena tubuh dipaksa menerima suatu rangsangan yang melebihi kadar normal. Rangsang suara disertai dengan luapan rasa gembira yang melebihi kewajaran dapat meningkatkan hormon endorfin.


Hal ini bersesuaian dengan fenomena Sound Horeg di mana salah satu contohnya adalah keberadaan suara bass yang sangat kuat di dalamnya. Menurut penelitian, suara bass yang berfrekuensi rendah tetapi volumenya besar dapat membahayakan telinga (Handojo, Tamasya Fisika, [Bandung, Penerbit ITB Bandung, 2015], halaman 96).


Selain itu, kencangnya suara bass memiliki resiko terhadap kesehatan pendengarnya bila volumenya berlebihan dengan cara merangsang pelepasan hormon endorfin.


Penelitian Burzynska dan timnya menunjukkan bahwa musik, terutama suara bass berfrekuensi rendah, dapat memengaruhi pelepasan endorfin dan persepsi stimulus lainnya. Studi menunjukkan bahwa musik dapat memodulasi pelepasan endorfin, dopamin, dan serotonin, yang berpotensi memengaruhi suasana hati, stres, dan persepsi nyeri (Burzynska dkk, Taste the Bass: Low Frequencies Increase the Perception of Body and Aromatic Intensity in Red Wine, [Journal of Scientific Research on All Aspects of Multisensory Processing, 2019, 1;32(4-5)]: halaman 429-454).


Endorfin merupakan hormon yang berfungsi untuk mengatur kegembiraan. Uniknya, endorfin memiliki pasangan hormon lain, yaitu serotonin. Keduanya merupakan pasangan sejati yang saling memahami dan melengkapi sehingga sangat serasi.


Ketika serotonin turun, kadar endorfin juga akan turun dan sebaliknya. Namun, hubungan di antara mereka tidak selalu stabil. Ketika yang satu kadarnya terlalu tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, justru muncul kondisi yang tidak seimbang. Gembira yang berlebihan akan meningkatkan kadar endorfin sampai pada batas yang maksimal sehingga kadar serotonin dalam tubuh justru akan menjadi rendah. Di sinilah relevansi dari kutipan Al-Hafiz Adz-Dzahabi yang menyatakan bahwa kegembiraan yang berlebihan justru dapat berbahaya bagi nyawa seseorang.


Al-Hafiz Adz-Dzahabi dalam Kitab Ath-Thibbun Nabawi menuliskan pembahasan khusus tentang rasa gembira: “Mengenai rasa gembira, cirinya adalah memperkuat energi batin. Jika berlebih-lebihan, ia bisa membunuh orang dengan membuat nyawanya melayang. Telah dikatakan mengenai lebih dari satu orang bahwa si Fulan dan si Fulan mati karena kegembiraan yang kelewat batas.” (Ath-Thibbun Nabawi, halaman 58-59)


Allah menciptakan endorfin dan serotonin dari bahan baku yang sama. Ketika endorfin terlalu banyak diproduksi, bahan baku serotonin akan terserap habis. Efeknya pada satu sisi akan merasakan kegembiraan, tetapi setelah kegembiraan itu mencapai tahap maksimal, maka hormon penyeimbangnya tidak lagi diproduksi. 


Apabila endorfin terlalu tinggi tetapi kekurangan serotonin, maka dapat muncul gejala depresi. Hasil penelitian Pilozzi dan timnya menunjukkan bahwa sudah sejak lama diketahui kadar endorfin yang tinggi ditemui pada pasien yang mengalami depresi (Pilozzi dkk,, Roles of β-Endorphin in Stress, Behavior, Neuroinflammation, and Brain Energy Metabolism, International Journal of Molecular Science, 2021, MDPI, 22[1]:338).


Oleh karena itu, orang yang banyak menikmati hiburan hingga terlalu gembira suatu saat bisa berubah menjadi pribadi yang gelisah, tidak tenang, dan mengalami kegersangan hati. Ketika sudah gelisah, seseorang itu bisa menjadi paranoid atau memiliki rasa takut yang berlebihan maupun depresi. Lama-lama hatinya tidak lagi sensitif. Ketika orang lain mendapatkan kesusahan, dia tidak lagi peduli karena sibuk dengan kegelisahannya sendiri.


Dengan kata lain, orang yang semula terlalu gembira dapat berubah menjadi seorang yang egois karena serotoninnya rendah. Orang tersebut menjadi pribadi yang hanya mau memikirkan dirinya sendiri. Dia baru mau memikirkan orang lain bila orang tersebut bisa menguntungkan dirinya. Rangkaian sikap buruk ini terjadi karena seseorang terjebak dalam kegembiraan yang berlarut-larut (euphoria) yang melenakan (Azhar, Cara Hidup Sehat Islami, 2015, Tasdiqiya Publisher, Bandung: halaman 334-335).


Berdasarkan kondisi di atas, egoisme bisa muncul di tengah keramaian hiburan Sound Horeg. Rasa gembira berlebihan yang berubah menjadi euforia dapat mengubah sesuatu yang semula merugikan orang lain dianggap sebagai sebuah kesenangan. Misalnya, bila ada genting rumah atau kaca rumah milik orang lain yang pecah akibat efek suara Sound Horeg, justru dianggap sebagai sebuah hal yang menyenangkan.


Selayaknya kaum muslimin memperhatikan resiko-resiko dari Sound Horeg terhadap kesehatan. Dengan demikian, dampak terhadap fisik maupun mental yang mungkin ditimbulkan oleh Sound Horeg dapat dihindarkan. Sebagai alternatif, masyarakat dapat menikmati hiburan positif lain yang lebih sehat serta menunjang kesadaran untuk tetap mengingat Allah. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti farmasi.


logo