Nasional

34 Ribu Prajurit TNI Direkrut untuk Program Pangan Dinilai Buka Ruang Militerisasi Urusan Sipil

NU Online  ·  Kamis, 10 Juli 2025 | 18:00 WIB

34 Ribu Prajurit TNI Direkrut untuk Program Pangan Dinilai Buka Ruang Militerisasi Urusan Sipil

Gambar sebagai ilustrasi. Personel Lanud RSA Natuna merawat RSA Farm sebagai dukungan terhadap ketahanan pangan. Kegiatan ini dilaksanakan di lingkungan Lanud RSA, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Senin (7/7/2025). (Foto: web resmi TNI AU)

Jakarta, NU Online

Pelibatan besar-besaran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam program ketahanan pangan nasional kembali memicu sorotan tajam.


Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan) telah mengerahkan hingga 100 batalion dan merekrut lebih dari 34 ribu prajurit yang siap mendukung program pangan nasional. Namun, langkah ini dinilai menyimpang dari fungsi utama militer sebagai alat pertahanan negara.


Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mempertanyakan arah kebijakan ini, yang menurutnya mengaburkan fungsi utama TNI.


"Keterlibatan aktif TNI dalam program ketahanan pangan, termasuk perekrutan besar-besaran untuk itu, memunculkan pertanyaan serius apakah TNI kini sudah bergeser dari tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara?" kata Usman kepada NU Online, Kamis (10/7/2025).


Ia menilai bahwa pelibatan militer dalam urusan sipil seperti pertanian dan logistik pangan berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI yang telah ditinggalkan sejak era reformasi.


"TNI dibentuk, dididik, dan dilatih untuk berperang, menjaga kedaulatan, bukan untuk bertani atau beternak. Ini pembelokan fungsi yang sangat fatal," tegasnya.


Usman juga menyoroti bahwa ancaman pertahanan modern seperti serangan siber, drone, dan perang hibrida justru menuntut penguatan profesionalisme militer, bukan pelibatan dalam sektor-sektor non-pertahanan.


"Kalau ini dibiarkan, TNI akan kehilangan fokus strategisnya sebagai penjaga kedaulatan negara," katanya.


Usman menyebut bahwa kebijakan ini juga berpotensi melanggar mandat konstitusional. Dalam Undang-Undang TNI ditegaskan bahwa militer hanya boleh terlibat dalam tugas-tugas di luar pertahanan jika dalam kondisi darurat dan atas keputusan politik negara yang sah.


"Alih-alih memperkuat postur pertahanan, kebijakan ini justru membuka ruang militerisasi urusan sipil yang bukan menjadi ranah TNI," ujarnya.


Ia menegaskan pentingnya meninjau ulang program tersebut agar militer tetap berada dalam koridor konstitusional.


"TNI harus dikembalikan ke jati dirinya sebagai alat pertahanan negara yang profesional, bukan jadi pelaksana program kementerian sipil," pungkasnya.


Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Wakasad) Letjen Tandyo Budi Revita menyebut bahwa pelibatan TNI dalam ketahanan pangan telah dilakukan secara masif dan bertahap.


"Di tahap pertama ini kita ada 50 batalyon. Sudah tersebar di seluruh Indonesia. Kemudian tahap kedua akan ada 50 lagi," ujar Tandyo usai rapat bersama Komisi I DPR RI, Rabu (9/7/2025).


Tandyo juga menyampaikan bahwa dalam rekrutmen baru, sebanyak 7.520 Bintara dan 27.000 Tamtama telah dipersiapkan untuk mengisi Batalyon Teritorial Pembangunan, termasuk dalam urusan ketahanan pangan.


Sementara itu, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menjelaskan kontribusi teknis Kemhan dalam mendukung logistik pascapanen. Salah satunya dengan menyediakan tempat penampungan hasil panen.


“Kita bantu Menteri Pertanian dengan menyiapkan tempat penampungan beras berupa gudang sementara dari plastik yang cukup kuat, dengan kapasitas 70 ton,” kata Sjafrie.


Ia menyebut bahwa total unit yang disiapkan mencapai 25 ribu, tersebar di berbagai wilayah yang akan digunakan TNI untuk membantu menampung produksi panen petani.


“Termasuk juga pengering jagung kita siapkan dengan menggunakan fasilitas produksi dari Pindad,” imbuhnya.