Nasional

27 Tahun Berlalu, Ketua PBNU Nilai Sebagian Besar Agenda Reformasi Gagal Terwujud

NU Online  ·  Rabu, 21 Mei 2025 | 18:30 WIB

27 Tahun Berlalu, Ketua PBNU Nilai Sebagian Besar Agenda Reformasi Gagal Terwujud

Ketua PBNU Alissa Wahid. (Foto: NU Online/Indirapasha)

Jakarta, NU Online

Setelah 27 tahun berlalu, pasca-lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998 yang menandai dimulainya era Reformasi, agenda-agenda yang pernah digaungkan mahasiswa dan masyarakat sipil dinilai kian menjauh dari cita-cita awal.


Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Qotrunnada Wahid menyebut bahwa dari tujuh agenda utama reformasi, enam di antaranya atau sebagian besar telah gagal terwujud.


Menurutnya, hanya amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) yang tersisa dari agenda Reformasi, sedangkan agenda lainnya justru mengalami kemunduran.


“Dari tujuh agenda Reformasi, enam sudah gagal. Sudah dicoret semuanya. Tinggal amandemen UUD yang belum,” kata Alissa kepada NU Online, Ahad (18/5/2025).


Direktur Jaringan Gusdurian itu menyoroti lemahnya gerakan pemberantasan korupsi serta kembalinya militer dan kepolisian ke ruang-ruang sipil.


“Gerakan antikorupsi sudah mandul, kemudian pemisahan TNI-Polri. Sekarang Polri (dan) TNI masuk kembali ke ruang sipil,” papar Alissa.


Alissa juga menyinggung proses pembahasan sejarah nasional yang menurutnya cenderung menyingkirkan suara masyarakat. Sejumlah sejarawan mengaku kecewa lantaran tidak dilibatkan dalam proses tersebut.


“Soal pembahasan sejarah nasional ini, concern kami adalah karena kami tidak dilibatkan. Para ahli sejarah menyampaikan kepada saya bahwa mereka kecewa karena tidak dilibatkan dan ada insinuasi bahwa akan ada reframing terhadap masa Reformasi. Jadi itu pertanyaan untuk kami, masyarakat sipil,” jelasnya.


Dalam hal penegakan hak asasi manusia (HAM), Alissa membandingkan antar-rezim. Ia menyebut masa Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai periode paling progresif dalam penanganan pelanggaran HAM dan penguatan demokrasi.


Pada zaman Gus Dur, pilar-pilar demokrasi dibangun, meliputi Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Gus Dur juga meminta maaf kepada Timor Leste dan korban 1965.


“Mekanisme HAM hampir semuanya diselesaikan pada zaman Gus Dur. Pilar-pilar demokrasi pada zaman Gus Dur, Komisi Yudusial, Mahkamah Konstitusi, semuanya pada masa Gus Dur. Jadi pada masa itu lumayan kuat untuk menegakkan HAM. Apalagi Gus Dur minta maaf, di Timor Leste minta maaf, kepada korban ‘65 minta maaf. Beliau sudah lama mendampingi korban-korban kekerasan pada masa Orde Baru, jadi mudah untuk dilakukan beliau,” jabar Alissa.


Sementara di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), Alissa mengakui adanya inisiasi penyelesaian non-yudisial. Meski begitu, ia menilai proses tersebut belum cukup kuat untuk menjawab luka masa lalu.


“Pada masa Presiden Jokowi ada upaya untuk melakukan penyelesaian non-yudisial untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Ketika yang yudisial masih susah, paling tidak ada upaya untuk membangun ruang bersama,” jelas Alissa.


“Makanya justru sekarang ini kita yang harus jaga atau kawal. Jangan sampai sejarah itu kemudian justru berubah,” pungkasnya.