Malik Ibnu Zaman
Kontributor
Aku berada di persimpangan dilema, antara ya dan tidak. Kepalaku terasa berdengung memikirkan hal tersebut. Di satu sisi aku mencintainya, di sisi lain aku juga percaya dengan mitos itu. Kalau aku tetap melanjutkan, aku takut terjadi apa-apa. Jika aku mengikhlaskannya, aku tak rela.
Lima tahun aku menjalin hubungan dengan Zahra. Berawal dari sering bertemu di tempat kerja, berlanjut hingga saling mencinta. Namanya hubungan pasti ada naik turun. Tetapi tidak pernah terjadi pertengkaran yang berarti. Dua minggu yang lalu, ia memintaku untuk menemui orang tuanya.
"Hubungan kita sudah lama loh, lima tahun," ucapnya di taman kota.
Baca Juga
Ayah dan Keteladanannya
"Jadi?" tanyaku.
"Kapan kamu mau menikahiku? Orang tuaku sudah menunggu. Mereka bilang ingin menyaksikan anak bungsunya menikah," jawabnya.
"Baik, malam ini juga aku akan menemui orang tuamu," jawabku penuh yakin.
Baca Juga
Sayonara Jakarta
Malam itu juga aku menemui orang tuanya di Jatinegara. Mereka langsung menentukan tanggalnya. "Tujuh hari setelah Lebaran langsung menikah," kata ayah Zahra. Aku hanya mengangguk pelan. Keesokan harinya aku pulang naik bus ke kampung untuk menyampaikan hal tersebut kepada orang tuaku, mengingat lebaran tinggal dua bulan lagi.
Orang tuaku tidak keberatan aku menikah dengan Zahra. Mereka sudah saling mengenal. Namun mereka, terutama ibu keberatan dengan tanggal pernikahan tersebut.
"Tanggal pernikahan itu kesepakatan dengan dua pihak, jangan main asal-asalan. Sebagai orang Jawa menentukan tanggal pernikahan itu ada hitung-hitungannya,” ucap ibu.
Baca Juga
Cerpen: Kau Sama di Hadapan-Nya
"Terus bagaimana, Bu?" tanyaku.
"Ibu maunya di bulan Agustus. Dalam tahun Jawa, di bulan tersebut sudah berganti tahun. Sebagai orang Jawa, kamu jangan hilang Jawanya. Tahun ini itu tahun Wawu, tidak baik untuk melaksanakan pernikahan."
"Iya, Bu."
Baca Juga
Selembar Uang
"Satu lagi. Masa kamu lupa kalau keluarga besar kita tidak memakai bulan Syawal untuk hajatan. Itu sudah menjadi peraturan tidak tertulis. Kalau itu sampai dilanggar akan ada hal buruk yang menimpa keluarga besar kita."
"Iya,Bu, aku akan bilang ke Zahra."
Aku segera menuju kamar, lalu menelepon Zahra, dan menyampaikan apa yang dikatakan ibuku. Mendengar hal itu, tangisnya pecah. Kata bapaknya kalau aku tidak di tanggal tujuh hari setelah lebaran, Zahra akan dijodohkan dengan sepupunya. Aku hanya bisa menghela nafas.
Baca Juga
Cerpen: Tirakat yang Gagal
"Bagaimana kalau setelah bulan Syawal, Mas?"
"Nanti aku akan bilang lagi ke ibu. Semoga saja ibu menyetujui," jawabku untuk menenangkannya.
Sebagai orang Jawa, tentu saja aku percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibu. Toh banyak bukti yang menguatkan untuk mempercayai itu. Selain itu perhitungan Jawa bukan atas dasar asal-asalan, melainkan menggunakan apa yang disebut dengan ilmu titen, yaitu didasarkan oleh pengalaman-pengalaman empiris masyarakat.
Baca Juga
Banteng Negara
Tahun Wawu merupakan salah satu tahun dalam kalender Jawa. Nama Wawu termasuk dalam siklus delapan tahunan yang dikenal sebagai windu. Satu windu terdiri dari delapan tahun, masing-masing dengan nama berbeda, yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir.
Berdasarkan apa yang aku lihat dari orang-orang sekitar, mereka yang tetap melaksanakan pernikahan di tahun Wawu, berakhir dengan duka cita. Misalnya apa yang dialami oleh sepupu jauhku, Ila. Ia tidak percaya dengan adanya larang menikah di tahun Wawu. Begitu juga dengan orang tuanya, juga tidak percaya. Pada akhirnya pernikahannya berakhir dengan perceraian.
Menurut Ila, pernikahannya kandas karena terjadi ketidakharmonisan. Alif yang sekarang menjadi mantan suaminya, selalu melarang ini itu. Selain itu ia juga pencemburu hebat. Semenetara Ila berkerja di tempat yang mengharuskan bertemu dengan banyak orang.
Baca Juga
Kucing-Kucing Kosan
"Bukan karena menikah di tahun wawu, karena sudah enggak cocok saja,” jawabnya ketika disinggung para kerabat mengenai rumah tangganya yang gagal dikarenakan menikah di tahun Wawu.
Berhubung keluarga Ila tidak percaya dengan larangan menikah di tahun Wawu. Maka adik Ila yang bernama Sisi juga menikah dengan Galih di tahun Wawu. Bedanya rumah tangga Sisi tidak berakhir seperti Ila. Namun, beberapa hari setelah menikah, bapak mertua Sisi meninggal dunia terkena serangan jantung.
Tetangga Sisi yang meyakini adanya tahun Wawu, tentu saja mengaitkan apa yang dialami oleh Sisi dikarenakan menikah di tahun Wawu. Sementara tetangga yang tidak percaya mengatakan bahwa semua sudah kehendak Tuhan.
Baca Juga
Ibu yang Menyesal
"Jodoh, rezeki, maut sudah ditentukan sejak ditiupkannya ruh. Jadi enggak ada kaitannya tahun Wawu dengan meninggalnya Pak Kemed," ucap Ustadz Nuin yang menjadi saksi pernikahan Sisi dan Galih, ketika orang-orang bertanya mengenai sikapnya.
Lain halnya dengan Ustadz Nuin. Ustadz Ano ketika ditanya mengenai hal tersebut, berpendapat bahwa kita harus menghormati sebuah tradisi yang ada di sebuah masyarakat. Jadi alangkah baiknya diikuti saja yang terpenting tidak melanggar syariat.
Lain halnya dengan apa yang dialami oleh Ila dan Sisi. Rini tetanggaku yang menikah di tahun Wawu beda lagi nasibnya. Rumah tangga Rini dan Aiq selalu panas. Acap kali terjadi pertengkaran tanpa sebab. Bahkan akhir-akhir ini Rini sering kesurupan. Kemudian Eby tetanggaku yang menikah dengan Azi di tahun Wawu, usahanya menjadi bangkrut.
Baca Juga
Di Bawah Langit Kelam
Sementara itu berkaitan dengan pantangan dari keluarga untuk menikah di bulan Syawal ada alasan di baliknya. Ibu mengatakan bahwa leluhur kami banyak yang meninggal di bulan Syawal. sehingga sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis, bahwa bulan tersebut adalah bulan duka cita bagi keluarga kami.
"Siapa yang pertama kali mengatakan kalau bulan Syawal di keluarga kita jadi tahun duka cita?" tanyaku kepada paman ketika aku masih duduk di bangku SMA.
"Mbah Asrori, kakek buyutmu. Ia mengatakan itu kepada adik-adiknya. Sebagai orang yang dituakan dan punya kelebihan, adik-adiknya tentu saja percaya. Alasan Mbah Asrori masuk akal. Memang banyak keluarga kita yang meninggal di bulan tersebut."
Baca Juga
Cerita Pendek: Gambar Buatan
"Menurut paman masuk akal juga apa yang diungkapkan oleh Mbah Asrori. Logikanya, namanya pernikahan kan senang-senang, makan enak, pesta. Sementara itu di bulan Syawal banyak leluhur kita yang meninggal. Sudah sepantasnya di bulan tersebut mengingat kematian, bukan malah bersenang-senang," imbuhnya.
"Apa yang terjadi jika dilanggar?"
"Akan terjadi kematian beruntun."
Baca Juga
Di Ujung Pelarian
Aku masih ingat satu keluarga besar dibuat pusing, karena terjadi kematian beruntun. Penyebabnya, sepupu kakek bernama Wak Habi tetap kekeh dengan pendiriannya untuk menikahkan anak bungsunya di bulan Syawal. Alasannya, kalau tidak di bulan Syawal takut mempelai perempuan berubah pikiran.
Para sesepuh keluarga sudah berusaha untuk mengingatkan akan pantangan itu. Namun, Wak Habi kepala batu. Ia berdalih bahwa larangan itu tidak relevan dengan zaman. Mereka pun akhirnya pasrah, berharap tidak akan ada malapetaka yang jatuh.
Apa yang ditakutkan akhirnya terjadi juga, terjadi kematian beruntun. Mula-mula sepupu ibuku bernama Mico. Ia yang bekerja di pabrik di Cikarang, jatuh sakit, dan beberapa hari kemudian meninggal. Tujuh hari kemudian Emir sepupuku yang masih berumur 3 bulan meninggal karena kecengklak. Tujuh hari kemudian Nita yang merupakan cucu dari sepupu kakekku meninggal. Nita meninggal karena operasi usus buntunya gagal. Setelah itu sepupu Nita yang bernama Alini juga sakit mendadak, beberapa hari kemudian meninggal Tak sampai di situ, banyak anggota keluarga yang mendadak sakit.
Baca Juga
Si Kecil Peraih Mahkota
Maka Wak Habi-lah yang disalahkan atas kejadian itu. Ia menjadi bahan omongan. "Dasar kepala batu. Kalau sudah begini kan jadi repot,” ungkap sepupu kakek Wak Sopan. "Padahal Mbah Asrori dulu sudah mewanti-wanti untuk menaati aturan ini," celetuk sepupu kakekku Wak Muki.
Untuk menghindari kematian beruntun lebih lanjut salah satu sesepuh keluarga yang juga adik dari kakekku bernama Mbah Isom memutuskan akan mengadakan doa bersama di kuburan keluarga pada malam Jumat. Akhirnya setelah itu, kematian beruntun berhenti. Mereka yang sakit pun sembuh. Di balik musibah pasti ada hikmahnya. Gara-gara kejadian itu, generasi muda keluarga besar kami yang tidak tahu akan pantangan itu jadi tahu kalau terdapat pantangan di keluarga besar menikah di bulan Syawal.
Setelah menimbangkan matang-matang, berdasarkan apa yang aku ceritakan di atas, aku memutuskan untuk tidak menikah di tahun Wawu apalagi di bulan Syawal.
Baca Juga
Di Bawah Temaram Lampu
Segera aku kirimkan chat singkat kepada Zahra: "Aku tetap dengan apa yang dikatakan oleh ibuku untuk tidak menikah di bulan Syawal. Tidak juga setelah bulan Syawal, karena masih tahun Wawu. Keputusanku sudah bulat yaitu di bulan Agustus, ketika sudah bukan tahun Wawu lagi."
Malik Ibnu Zaman lahir di Tegal Jawa Tengah. Menulis cerpen, puisi, esai, dan resensi yang tersebar di beberapa media online. Buku pertamanya sebuah kumpulan cerpen berjudul Pengemis yang Kelima (2024).
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
2
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
3
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
4
Gus Yahya Dorong Kiai Muda dan Alumni Pesantren Aktif di Organisasi NU
5
Khutbah Jumat: Menolong Sesama di Tengah Bencana
6
MK Larang Wamen Rangkap Jabatan di BUMN, Perusahaan Swasta, dan Organisasi yang Dibiayai Negara
Terkini
Lihat Semua