Cerpen

Cerpen: Kau Sama di Hadapan-Nya

NU Online  ·  Ahad, 29 Juni 2025 | 22:00 WIB

Cerpen: Ikhwan Khanafi
"Mbak, ayo bangun. Ini sudah jam setengah empat, nanti takutnya Mbak tertinggal jamaahan,” Aisyah membangunkanku dari lelapnya mimpi.


"Masyaallah, sudah hampir subuh ya? Rasa-rasanya belum lama aku tertidur. Makasih ya, Dik," aku menyahut.


"Iya, Mbak. Ini aku alhamdulillah bangun lebih awal jadi bisa bangunin Mbak Zah. Tadi tidur jam berapa, Mbak? Soalnya pas aku tidur jam setengah sebelas, Mbak masih sibuk banget kayaknya. Jangan terlalu dipaksakan nggih, Mbak, takutnya malah Mbak malah sakit."

 

"Mbak Zah tidur jam dua belas, Dik. Maklumlah, tugas-tugas sebagai guru itu lumayan padat. Makasih loh perhatiannya. Doanya ya, semoga aku bisa mengabdikan ilmu di sana dengan sebaik-baiknya."


Seperti itulah rutinitas yang kami satu pondok alami. Bangun pada sepertiga malam terakhir merupakan kewajiban dari para masyayikh di sini. Saat sebagian besar manusia akan semakin terbuai dengan indahnya mimpi, kami diajari untuk mengetuk pintu langit dengan cara salat tahajud dan hajat.


"Di waktu sepertigamalam terakhir ini Allah turun ke langit dunia. Maka jangan lewatkan kesempatan yang baik ini untuk meminta pada Gusti Allah. Anak-anakku, Dalam momen-momen ketenangan seperti ini, kita merasa didengar dan diampuni oleh Tuhan, yang membawa rasa lega dan kedamaian dalam hati kita. Merayu Tuhan dengan shalat tahajud membantu kita merenungkan diri, memperbaiki diri, dan menemukan jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati," begitu nasihat Pak Kiai.


Setiba di masjid pesantren, aku melihat seakan-akan para bidadari turun ke muka bumi. Ratusan wanita bermukena asyik bermunajat kepada Ilahi Rabbi. Sesekali terdengar isak tangis dan helaan napas panjang dari mereka. Suasana seperti inilah yang menjadi magnet dari sebuah pesantren salaf yang enggan kutinggalkan.

 

Selesai dari hajat sebelum subuh, kami pun mengisi waktu dengan aktivitas penyejuk hati lainnya. Ada yang membaca dan menghafalkan Al-Qur'an, ada yang lanjut dengan doa untuk kebaikan dunia dan akhirat.

 

Waktu subuh pun tiba. Ibu Nyai yang jadi imam pagi itu melantunkan Surat Ad-Dhuha dan  Al-Insirah dengan merdu.

 

Di rakaat pertama saat membaca Surat Ad-Dhuha, ketika sampai di ayat keempat dan lima, hatiku gerimis. Aku teringat saat membaca tafsir dari ayat ini, tentang janji sekaligus hiburan Allah kepada Nabi dan umatnya, bahwa kehidupan di akhirat itu pasti lebih baik dibandingkan keindahan dunia. Namun, mengapa aku masih selalu mencari keindahan hidup di dunia saja, malah sering melalaikan kehidupanku yang kekal kelak?


Setelah subuh, kami masih berkumpul di tempat itu untuk mengaji. Ngaji tafsir dan adab menjadi sarapan pagi sebelum beraktivitas. Penjelasan yang runtut serta tutur kata yang lembut dari Bu Nyai menjadikan pagi kami menjadi semakin syahdu.


Waktu pun berlalu dengan cepatnya. Tak terasa aku kini sudah harus bergegas ke sekolah untuk  mengabdikan ilmuku untuk anak-anak remaja di MAN yang ada di Sleman. Jalan yang macet, udara segar yang sudah tercampur dengan polusi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan pagi hariku. Namun itu bukan menjadi soal, karena aku yakin di sana ada gelas kosong yang menunggu untuk diisi dengan ilmu serta adab.


Aku masih teringat saat pertama kali mengajar di sekolah. Saat itu aku sempat terhenyak dengan pemandangan yang tak biasa. Dari ratusan pelajar berbaju putih itu, ada beberapa anak yang menggunakan alat bantu untuk bermobilitas. Setelah kucermati, ternyata mereka adalah anak-anak dengan kebutuhan khusus tunanetra. Aku terharu. Rupa-rupanya aku harus memberikan sedikit ilmu kepada mereka yang sejatinya telah menjadi contoh dari semestinya ilmu itu digunakan oleh manusia.

 

"Mas-Mbak, perkenalkan nama saya Bu Zahrana, bisa dipanggil Bu Zah. Ibu mengajar pelajaran tahfidz. Nanti metode ngajinya santai namun serius ya, karena ini Al-Qur'an yang tidak boleh kita permainkan," ucapu di depan para siswa Kelas XII.

 

"Baik, Ibu," jawab mereka kompak.


"Kalau Ibu boleh tahu, di kelas ini yang anak difabel ada berapa ya?"

 

Ada tiga, Bu. Hasan, Fahmi, dan Fika."

 

"Mas-Mbak yang difabel, kalau boleh tahu metode belajar kalian seperti apa ya? Soalnya jujur ini adalah pengalaman pertama Ibu ngajar anak istimewa seperti kalian."


"Kalau saya belajar dengan menggunakan huruf braille Bu. Nanti saya didektekan apa yang ada di papan tulis sama teman atau Bapak-Ibu Guru yang mengajar. Kalau belajar Tahfiz, saya menggunakan Al-Qur’an berhuruf braille, Bu."


"Bohong ding Bu. Si Hasan mah nggak pernah nulis Bu, dia nusuk-nusuk kertas hehehe. Tapi benar kok Bu, si Hasan itu anak yang jarang nulis, beda sama si Fika dan Si Fahmi,” ungkap Fauzi.


"Zi, jangan ngasih info yang menjadi rahasia umum to. Tenang saja, kalau sama Bu Zahrana nanti Hasan yang seperti kelas sepuluh itu akan kamu lihat lagi."


"Wooooo... Dasar kamu San, tahu aja kalau Ibu Gurunya cantik, hahaha."

 

Hari pertama yang sangat mengesankan. Sepertinya aku akan sangat akrab dengan mereka. Aku salut dengan keakraban mereka. Hasan, sebagai difabel pun tak merasa canggung dengan teman-temannya yang nondifabel. Murid-murid yang awas pun juga keren, mereka mau menjadi sahabat untuk kawan-kawannya yang difabel. Beberapa kali kulihat Hasan diajak untuk bermain bola, bahkan tak jarang mereka mengajak Hasan untuk lari-lari di tempat yang sudah Hasan kuasai.


Namun sayang, keakraban itu hanya terjadi di sebagian kelas saja. Di beberapa kelas, difabel netra masih dianggap seorang yang tidak bisa berdaya, banyak yang mengabaikan, bahkan terkadang ada yang melakukan perundungan yang tak seharusnya mereka dapatkan.


"Mas David, kok kamu duduk sendiri? Kalau kamu duduk sendiri nanti siapa yang bacain, Nak?”

 

"Nanti saya minta catatan ke teman-teman yang tulisannya lengkap, Bu.”


"Mas-Mas yang ada di kelas ini, kenapa Mas David tidak dibersamai? Kashian loh kalau sepanjang hari di sekolah interaksi dengan kalian kurang."


"Sudahlah, Bu. Dia kan tidak bisa main game, nanti saya juga takut kalau tertular penyakit seperti dia. Anak seperti David itu biar tugasnya azan dan ngaji saja Bu. Dia sudah suci tak perlu dicemari oleh hal-hal yang tidak jelas seperti ini."


Hatiku serasa tertimpa beton mendengarkan ucapan dari salah satu anak didikku. Di titik inilah aku yakin sebagus apa pun nilai akademik jika tidak imbang dengan akhlak, jatuhnya akan seperti ini. Walaupun begitu, aku juga menyayangkan sikap apatis dari David, mengapa dia tidak mau berusaha untuk mendekati teman-temannya.


"Astaghfirullah. Kamu tidak boleh seperti itu nggih, Mas. Menjadi difabel itu bukan sebuah penyakit, itu hanyalah takdir mubram dari Allah, Nak."


"Kalian juga perlu ingat Nak, difabel itu menjadi sarana muhasabah bagi kita yang mengaku sempurna ini. Sejauh mana kita bisa memaksimalkan anggota tubuh yang masih kita punyai ini. Ingat Nak, derajat manusia di sisi Allah hanya ternilai dari ketakwaan kita terhadap-Nya."


"Mas David, yang sabar ya Nak. Kalau Ibu boleh memberikan saran, kamu harus bisa membuka diri sedikit demi sedikit, Nak. Ibu yakin, hal ini terjadi karena kurangnya komunikasi di antara kalian saja, nyatanya Mas Hasan itu bisa berbaur dengan teman-temannya yang nondifabel, Mas," hiburku pada siswa pendiam ini.


Itulah sekilas pengalamanku membersamai mereka. Kini aku sudah merasa nyaman mengajar di sana. Walaupun sampai sejauh ini anak-anak seperti David itu masih selalu saja kutemui di beberapa kelas. Aku yang minim pengalaman dalam membersamai difabel pun sekarang lebih percaya diri untuk berinteraksi dengan mereka.

 

Kuingat ketika aku mencoba mengetes kepekaan mereka. Kusentuh tangan Hasan, tak membutuhkan waktu lama, ia tahu kalau yang menyentuh tangannya barusan adalah aku.


"Gimana, Bu Zah? Baru sampai to?" 


"Kok kamu tahu kalau ini Ibu, Mas?"


"Saya sudah lumayan hafal dengan sapaan Ibu yang seperti ini, Bu. Coba Ibu ganti caranya, pasti saya nggak paham."

 

Benar saja, saat itu masjid begitu bising dengan permainan hadrah, kulihat Hasan berjalan dari perpus ke arah lapangan. Kusapa dia dengan cara yang berbeda. Alhasil dia mengira aku adalah salah satu teman kelasnya.


"Ealah ternyata Bu Zah to. Maaf, Bu, saya kira si Dewi. Hehehe."


"Berarti kamu itu paham sama suara atau apanya, Mas? Kok nggak kenal kalau ini Ibu?"

 

"Biasanya suara sih Bu, tapi karena ini bising jadi saya kurang bisa fokus. Kalau difabel netra memang seperti ini, Bu. Susah konsentrasi di tempat yang bising. Jadi tempat yang sudah saya hafal, suara yang sudah saya kenal terkadang bisa lupa," Hasan menjawab.


"Maaf ya, Mas Hasan. Nggak apa-apa Mas, yang penting kamu tetap semangat. Yakinlah di balik kekurangan yang Allah titipkan kepada Mas Hasan di situ juga banyak kelebihan yang Allah berikan. Ibu itu salut pada dirimu yang seperti tidak memiliki beban, kamu yang selalu tersenyum, bisa bercengkrama dengan mereka yang terkadang juga membuli kamu, tapi kamu tetap percaya diri."


"Kalau sama saya santai saja, Bu. Saya begini bukan karena tidak punya beban Bu, melainkan ini adalah rasa penerimaan saya kepada Allah. Untuk mencapai di tahap ini juga tidak mudah, Bu. Sudah ribuan kali saya mengeluh, namun itu ternyata justru membuat keadaan yang saya alami bertambah buruk,” jawab Hasan yang membuatku merinding.


"Ibu, dalam kondisi saya yang seperti ini, tak banyak ciptaan-Nya yang bisa saya nikmati, Bu. Bukannya saya nggak bersyukur, tapi memang realita hidup yang terjadi itu tak mudah. Stigma selalu menjadi hantu dalam perjalanan kehidupan saya, mungkin seumur hidup. Sejujurnya, saya benci dengan mereka yang selalu memberikan kalimat toxic posivity. Apakah dalam keadaan yang seperti ini, Hasan tak boleh mengeluh?"


Aku tak mampu membendung butiran kristal yang menetes dari mataku. Ternyata di balik keceriaan yang terpancar selama ini, Hasan menyimpan rasa sakit rapat-rapat. Ternyata dari relung terdalam, ia masih menganggap kekurangannya adalah sebuah musibah. Selesai mendengarkannya bercerita, kubacakan puisi yang sudah kusiapkan semenjak mengenal siswa luar biasa ini.


Tak Perlu Sempurna

orang mengatakan kau tak sempurna
namun kini kubertanya:
di dunia fana ini adakah makhluk yang sempurna?
jika ada siapa?
di mana?
jika tak ada, mengapa kau harus merana?

Sayang,
sangatlah tepat bahwa Tuhan telah menciptakan manusia makhluk paling sempurna
namun itu tak berarti manusia nihil dari kelemahan
karena sejatinya kelemahan itu adalah kesempurnaan
kini kau bertanya
mengapa aku harus terlahir ke dunia?
jika hadirku hanya akan menjadikan beban semata?
mengapa aku harus ada?
jika kehadiranku membuat keluarga terhina?

Sayang,
izinkan kumenjawab
hadirnya dirimu adalah anugerah
anugerah dari Sang Maha Indah
dengan adanya dirimu Ia akan menunjukan Ke-Besaran-Nya
bahwa manusia yang dianggap tak sempurna itu juga masih bisa berdaya guna untuk sesama

Sayang,
fisikmu mungkin tak sama
namun aku yakin
hatimu pasti sama dengan manusia lainnya
pahala dan dosa pun tetap bisa kau terima

Sayang,
pesanku padamu
berhentilah menganggap kau adalah manusia tak berguna
jangan pernah menyalahkan siapa pun juwa
karena untuk menjadikan kau berharga
kau tak perlu sempurna
kini kau harus yakin
dunia tanpa warna adalah hakikat terbaik dari Sang Maha Cahaya


Puluhan menit aku berkendara, akhirnya kumasuki kembali tempat yang dominan hijau ini. Sesampai di masjid, aku sudah ditunggu oleh beberapa anak yang mengikuti ekstra tahfiz pagi. Mereka yang berusaha untuk menjaga Al-Qur'an. Di antara para pejuang suci itu, terdapat Hasan, Fika, dan Nuzula. Mereka menjadi bukti betapa Al-Qur'an itu bisa dihafal dan dipelajari semua orang, tak terkecuali bagi difabel.

 

Aku selalu percaya, biarpun mereka tak sempurna di mata manusia, kita harus memperlakukan mereka dengan sewajarnya. Kita tidak boleh menganggap mereka sampah, namun juga tidak berhak memberikan lebel malaikat kepada anak-anak difabel. Mereka juga manusia yang tentunya memiliki beban taklif sesuai dengan keadaan mereka. Yang kita harus yakini, selama ketakwaan kepada Allah baik, sejatinya mereka itulah yang mendapatkan derajat tinggi di sisi-Nya.


Karangmalang, 15 Juni 2025

Ikhwan Khanafi, mahasiswa difabel netra Sastra Indonesia UNY. Pengemar ngaji filsafat dan kajian NU ini beberapa bukunya sudah termuat di dalam antologi cerpen. Alumni MAN 2 Sleman ini juga menulis dua buah buku kumpulan cerpen dengan judul 'Berkilau dalam Temaram' dan 'Menuai Hikmah', yang diterbitkan oleh Komunitas Yuk Menulis (KYM). Penulis bisa dijumpai di: Instagram: ikhwan.khanafi, Facebook: Ikhwan Khanafi.