Opini

Darwish, Iran, dan Puisi yang Tak Mati

NU Online  ·  Sabtu, 28 Juni 2025 | 16:00 WIB

Darwish, Iran, dan Puisi yang Tak Mati

Lukisan wajah penyair Mahmoud Darwish pada sebuah dinding (Foto: scroll.in)

"If the olive trees knew the hands that planted them, their oil would become tears." — Mahmoud Darwish

 

Ketika dunia berubah menjadi peta konflik, dan berita harian dijejali deretan kematian, puisi seringkali menjadi suara yang paling jernih dalam menyuarakan nurani. Ia tak membelah dunia ke dalam kutub ideologi, tetapi menyimpan luka manusia yang paling dasar: kehilangan rumah, tanah, dan hak hidup. 

 

Di tengah menguatnya ketegangan antara Iran dan Israel, dengan Palestina sebagai ladang luka yang tak kunjung sembuh, kita kembali diingatkan bahwa puisi tidak pernah mati, bahkan ketika dunia membiarkan manusia saling mematikan.


Salah satu suara puisi yang terus hidup adalah Mahmoud Darwish (1941–2008), penyair Palestina yang menjadikan bahasa sebagai rumah terakhir bagi bangsanya. Bagi Darwish, puisi bukan sekadar estetika, tetapi saksi sejarah yang menolak bungkam. 


Ketika kita membaca puisinya saat ini—puluhan tahun setelah ia menulisnya—kita mendengar gema perlawanan yang tetap relevan dengan penderitaan yang terjadi hari ini di Jalur Gaza, Tepi Barat, atau bahkan di bayang-bayang konflik besar seperti Iran dan Israel.


"Identity Card," puisi Darwish yang paling terkenal, ditulis dengan nada getir dan sindiran: "Aku orang Arab. Nomorku lima puluh ribu. Anak-anakku delapan, dan bulan kesembilan akan lahir setelah musim panas. Apakah itu membuatmu marah?" 


Dalam kalimat-kalimat sederhana itu, tersimpan ledakan kritik terhadap sistem pendudukan, ketimpangan, dan penghilangan identitas. Sebuah puisi yang tak menuntut belas kasihan, tetapi memaksa kita untuk menyaksikan martabat yang diinjak-injak.


Puisi ini tidak berhenti di halaman. Ia melintasi batas-batas negara dan menjelma menjadi solidaritas universal. Ketika Iran dan Israel kembali menyulut ketegangan, dan dunia seakan kembali berada di tepi jurang, kita butuh Darwish lebih dari sebelumnya. Bukan karena Darwish membela negara, tetapi karena puisinya membela kemanusiaan.


Puisi di Tengah Perang: Suara atau Senjata?
Pertanyaan klasik yang muncul: apa arti puisi di tengah perang? Bukankah ia terlalu lembut untuk menggugat kekerasan? Namun sejarah membuktikan, puisi seringkali lebih tajam dari peluru, lebih abadi dari pernyataan diplomatik. Penyair bukan hanya penutur kata, tetapi penjaga makna. Dalam konflik Timur Tengah yang kompleks, para penyair dari Suriah, Iran, Palestina, Lebanon, dan Yaman menulis bukan untuk estetika, tetapi untuk bertahan.


Puisi di Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari sejarah penindasan. Di Iran, penyair seperti Forugh Farrokhzad menulis tentang kebebasan perempuan di tengah represi. Di Suriah, Adonis menjadi suara kritis terhadap agama dan kekuasaan. Sementara di Palestina, Darwish, Fadwa Tuqan, dan Samih al-Qasim menulis dengan darah di balik tinta. Mereka tidak hanya merekam realitas, tetapi juga membentuknya.


Ketika konflik Iran–Israel memanas dan ancaman perang global menghantui, puisi kembali memainkan perannya: bukan sebagai pelarian, tetapi pengingat. Bahwa di balik ledakan bom, ada wajah ibu yang menunggu anaknya. Di balik rudal, ada anak-anak yang kehilangan bahasa ibunya. Dan dalam kegelapan propaganda, puisi menyala sebagai satu-satunya yang tak bisa dibungkam.


Menulis untuk Menghidupkan
Mahmoud Darwish menulis bukan untuk kematian, tapi untuk hidup. Puisinya menolak menjadi elegi, tapi menjelma nyanyian perlawanan. Ia menulis agar Palestina tetap ada, meski tanahnya dihapus dari peta. "Kami mencintai hidup jika kami menemukannya," tulisnya dalam puisi lain. Sebuah ironi yang lembut, namun dalam.


Darwish memahami bahwa puisi tidak bisa mengubah politik secara langsung. Namun puisi bisa mengubah cara kita memandang penderitaan. Ia membuat luka menjadi bisa dibaca. Dalam situasi perang, puisi menjadi jembatan antara yang menderita dan yang tak tahu harus berbuat apa. Di sinilah pentingnya puisi dalam dunia modern: ia memelihara empati.


Di Indonesia, kita hidup jauh dari dentuman bom, tapi bukan berarti kita harus tuli terhadapnya. Membaca Darwish, menyimak puisi-puisi penyair Iran dan Palestina, bukan sekadar kegiatan sastra, tetapi langkah spiritual untuk menjadi lebih manusiawi. Di dunia yang penuh kebencian dan polarisasi, puisi mengajarkan kita untuk merawat kasih sayang, bahkan kepada yang tak kita kenal.


Ketika Bahasa Menjadi Tanah
Puisi Darwish menjelma tanah baru bagi rakyat Palestina. Ia tak bisa lagi berjalan di desa kelahirannya, tapi puisinya bisa. Ia tak bisa berbicara di PBB, tapi puisinya diperdengarkan di forum-forum dunia. Bahasa menjadi cara untuk tetap tinggal, meski secara fisik diusir. Ini yang membuat puisi tak mati: karena ia bukan bergantung pada senjata, tapi pada kebenaran yang tak bisa dipadamkan.


Dalam konteks ini, Iran dan Israel bukan hanya dua negara yang berseteru, tetapi simbol dari dua kutub yang selalu hadir dalam sejarah: penindasan dan perlawanan. Puisi berada di pihak perlawanan, bukan karena ia ingin memihak, tapi karena ia ingin menyelamatkan martabat manusia. Dan selama masih ada satu orang yang membaca puisi dengan hati yang terbuka, maka dunia belum sepenuhnya gelap.


Menutup dengan Cahaya
Di tengah perang yang tak berkesudahan, Darwish menulis, dan kita membaca. Di tengah reruntuhan, penyair Palestina tetap membisikkan harapan. Dan di dunia yang letih karena konflik, puisi memberi kita secercah cahaya.


Puisi tidak mati. Ia hanya berubah bentuk: dari halaman ke suara, dari suara ke kesadaran. Ketika dunia kehilangan arah, puisi menjadi kompas. Dan Darwish, penyair yang telah berpulang, tetap hidup dalam setiap bait yang kita baca. 


Abdul Wachid B.S, penyair, Guru Besar Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia, Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Purwokerto