Opini

Membumikan Intelektual NU: Jalan ISNU Menuju Indonesia Emas 2045

NU Online  ·  Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:23 WIB

Membumikan Intelektual NU: Jalan ISNU Menuju Indonesia Emas 2045

Ilustrasi sarjana (Foto: Freepik)

Akhir bulan lalu, tepatnya 30–31 Juli 2025 menjadi penanda penting bagi Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU). Ratusan sarjana NU dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarta untuk Musyawarah Nasional (Munas) dan Pelantikan Pengurus Pusat masa khidmah 2025–2030. 


Dalam Munas ini, hadir para tokoh negara, seperti menteri, pejabat tinggi, akademisi, dan profesional yang berasal dari keluarga besar NU. Mereka bukan sekadar simbol pencapaian individu, tapi cermin bahwa sarjana NU mampu hadir dan relevan di ruang-ruang strategis pembangunan nasional dan global.


Kehadiran para tokoh negara dari kalangan NU mencerminkan bahwa para sarjana NU mampu hadir dan relevan di ruang-ruang strategis pembangunan. Ini adalah sinyal bahwa kontribusi intelektual NU tidak lagi terbatas pada lingkaran internal, melainkan telah merambah ke sektor-sektor kunci.


Dengan demikian, acara ini bukan sekadar seremoni, melainkan momentum strategis untuk merumuskan peran ISNU dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 dan memperkuat eksistensi bangsa di kancah global.


Peran ISNU dalam Menjawab Tantangan Bangsa
Menuju 2045, Indonesia menghadapi tantangan multidimensional, bukan hanya teknis, tetapi juga ideologis, ekologis, dan spiritual. Di sinilah kontribusi ISNU harus tegas dan nyata. ISNU tidak boleh hanya menjadi forum diskusi elite, melainkan harus menjadi wadah yang menghasilkan kontribusi berbasis pengetahuan (knowledge-based contribution) untuk memecahkan masalah bangsa dari hulu ke hilir.


ISNU harus berperan aktif dalam: inovasi kebijakan publik yaitu memberikan masukan strategis kepada pemerintah. Kedua, rekayasa sosial dan advokasi, yaitu mengawal perubahan sosial yang positif, termasuk di bidang pendidikan dan lingkungan. Ketiga, penguatan moderasi beragama, yaitu mengimplementasikan konsep wasathiyyah Islam dan rahmatan lil ‘alamin dalam kebijakan, kurikulum, dan narasi publik untuk melawan intoleransi, ekstremisme, dan polarisasi identitas.


Sejalan dengan pemikiran David Held (1995), ISNU harus menjadi komunitas epistemik yang memproduksi gagasan dan memengaruhi tata kelola global. Kiprah tokoh-tokoh NU seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Ma’ruf Amin membuktikan bahwa sarjana NU memiliki daya saing dan integritas.


Tantangan Internal dan Proyeksi ISNU ke Depan
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab ISNU adalah: quo vadis ISNU?" (ISNU mau ke mana?). Di tengah transformasi global, ISNU tidak bisa hanya hadir dalam seminar atau pernyataan resmi. Ia harus hadir dalam ruang-ruang nyata yang menyentuh umat.


Tantangan terbesar ISNU adalah menghindari jebakan "menara gading"—organisasi cendekia yang terasing dari basis Nahdliyin. Untuk itu, diperlukan: desain organisasi yang inklusif, program kerja yang terukur dan konkret, dan kolaborasi lintas sektor.


Sebagai think tank bagi PBNU dan pemerintah, ISNU harus mampu memberikan saran-saran kebijakan yang menjadi referensi dalam perumusan kebijakan nasional. Isu-isu seperti krisis lingkungan juga harus direspons dengan mempromosikan Islam ramah lingkungan.


Ketua Umum ISNU, Kamaruddin Amin, dalam sambutannya menegaskan bahwa tantangan menuju Indonesia maju sangat besar, terutama terkait partisipasi pendidikan tinggi yang masih rendah. Dengan kekayaan SDM unggul—lebih dari 2.000 guru besar dan puluhan ribu doktor—ISNU memiliki modal besar untuk menjadi mitra pemerintah dalam transformasi menuju Indonesia Emas 2045.


Akhirnya, ISNU harus menjadi garda terdepan dalam menciptakan generasi sarjana yang berilmu, beradab, dan berpihak pada kemaslahatan umat dan bangsa. Dari Jakarta, ISNU harus menerangi desa-desa; dari Munas, ISNU harus melahirkan karya; dan dari setiap sarjana Nahdliyyin, harus lahir harapan baru untuk bangsa yang berdaulat dan dunia yang lebih adil dan lestari.


Ahmad Tholabi Kharlie, Guru Besar UIN Jakarta dan Dewan Ahli PP ISNU