Pakar: KUHAP Harus Akui Peradilan Adat, Bukan Justru Meminggirkannya
NU Online · Rabu, 6 Agustus 2025 | 20:00 WIB
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Rena Yulia, menilai bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) perlu mengakui secara tegas keberadaan peradilan adat, bukan justru mengesampingkannya dalam sistem hukum nasional.
Hal ini ia sampaikan dalam diskusi publik bertajuk RKUHAP: Situasi dan Tantangan bagi Perempuan, Anak, Disabilitas, Masyarakat Adat dan Kelompok Pengaturan Khusus yang digelar secara daring pada Rabu (6/8/2025).
Menurut Rena, pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) sebagaimana termuat dalam KUHP 2023 sudah merupakan langkah positif. Namun, pengakuan itu belum cukup jika tidak dibarengi dengan pengaturan mekanisme penegakan hukum adat, termasuk peradilan adat yang selama ini menyelesaikan perkara pidana berbasis adat.
"KUHP sudah mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar tindak pidana. Tapi bagaimana pelaksanaan dan penegakannya? KUHAP justru belum mengatur itu,” ujar Rena.
Rena menegaskan bahwa di berbagai wilayah Indonesia, peradilan adat masih berlangsung dan memiliki struktur yang lengkap, mulai dari lembaga hingga sanksi adat. Oleh karena itu, pengakuan hukum adat semestinya juga berarti pengakuan terhadap mekanisme peradilan adat.
"Aneh jika hukum adat diakui, tapi peradilan adat justru tidak diakui. Negara seolah ingin mengambil alih hukum adat dan menyelesaikannya lewat hukum nasional. Saya tidak setuju," tegasnya.
Ia juga menyoroti bahwa sanksi adat yang bersifat ritual dan kosmis, seperti “bersih kampung” di komunitas Baduy, tidak bisa disamakan atau digantikan dengan ganti rugi uang. Menurutnya, sanksi adat bertujuan memulihkan keseimbangan sosial dan spiritual, bukan sekadar menghukum pelaku.
Rena juga menolak ide pengaturan jenis-jenis pelanggaran adat ke dalam peraturan daerah (perda). Baginya, hal itu justru menyalahi prinsip dasar hukum adat yang bersifat tidak tertulis dan kontekstual.
"Kalau pelanggaran adat ditulis dalam perda, maka itu menjadikan hukum adat sebagai tindak pidana ringan. Padahal tindak pidana adat punya filosofi sendiri dan tidak bisa dipukul rata," katanya.
Lebih lanjut, ia menyoroti kebingungan konseptual jika perda harus mengatur tindak pidana adat untuk setiap komunitas. Misalnya, satu daerah bisa memiliki beberapa suku adat dengan sistem hukum yang berbeda, sehingga pendekatan uniform dalam perda menjadi tidak relevan.
Rena mengusulkan agar RKUHAP memasukkan pasal-pasal khusus yang secara eksplisit mengatur. Pertama, Kewenangan peradilan adat dalam memeriksa tindak pidana adat.
Kedua, perbedaan perlakuan bagi pelaku yang merupakan warga adat dan bukan warga adat. Ketiga, larangan mengganti sanksi adat dengan bentuk pidana lain seperti denda uang. Keempat, Jaminan bahwa putusan peradilan adat tidak bisa diajukan banding ke pengadilan negeri.
Ia mengingatkan, jika RKUHAP tidak mengatur mekanisme peradilan adat, maka akan muncul kekosongan hukum yang merugikan masyarakat adat dan menjauhkan prinsip keadilan restoratif yang mereka jalankan selama ini.
"Pengakuan terhadap hukum adat harus sejalan dengan pengakuan peradilannya. Kalau tidak, ini bukan harmonisasi, tapi penggantian hukum adat oleh hukum nasional," jelasnya.
Dalam forum yang sama, Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Siti Aminah Tardi, menyoroti pentingnya prinsip equality before the law atau kesetaraan di hadapan hukum sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem peradilan pidana.
"Itu penting banget karena menjamin hak kita untuk setara menghadapi kekuasaan atau alat-alat kuasa yang dibenarkan oleh hukum dan digunakan oleh negara," kata Aminah.
Menurutnya, prinsip kesetaraan ini meliputi hak atas informasi, hak untuk menyajikan dan memeriksa bukti, hingga hak atas kuasa hukum dan bantuan hukum. Dalam praktiknya, hal-hal mendasar seperti akses terhadap berita acara pemeriksaan pun masih sulit diperoleh secara adil oleh kuasa hukum tersangka atau terdakwa.
"Pengalaman saya, berita acara baru bisa diperoleh ketika sidang dimulai, itu pun harus berargumen. Ini artinya tidak ada kesetaraan informasi antara pihak pembela dan jaksa," ujar Aminah.
Ia juga mengkritik pendekatan KUHAP yang masih menitikberatkan pemberian bantuan hukum berdasarkan ancaman pidana, bukan berdasarkan kebutuhan keadilan (interest of justice), termasuk bagi kelompok rentan dan masyarakat adat.
Aminah juga menekankan pentingnya memperluas definisi korban dalam KUHAP. Mengacu pada UN Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1985), ia mengingatkan bahwa korban tidak selalu individu, melainkan bisa berbentuk kolektif, termasuk masyarakat adat.
"Selama ini pengertian korban di KUHAP masih terbatas pada individu. Padahal masyarakat hukum adat itu kolektif. Mereka juga bisa menjadi korban," kata Aminah.
Ia menambahkan bahwa hak keluarga korban dan tanggungan korban juga perlu masuk dalam cakupan perlindungan hukum, sebagaimana diatur dalam UU TPKS. Hal ini menjadi penting agar perlindungan hukum tidak bersifat sempit dan formalistik.
Terpopuler
1
Jadwal Puasa Sunnah Sepanjang Agustus 2025, Senin-Kamis dan Ayyamul Bidh
2
Upah Guru Ngaji menurut Tafsir Ayat, Hadits, dan Pandangan Ulama
3
Pakar Linguistik: One Piece Dianggap Representasi Keberanian, Kebebasan, dan Kebersamaan
4
IPK Tinggi, Mutu Runtuh: Darurat Inflasi Nilai Akademik
5
PBNU Minta PPATK Tak Ambil Kebijakan Serampangan soal Pemblokiran Rekening Menganggur
6
2 Alasan LPBINU Bandung Sosialisasikan Literasi Bencana untuk Penyandang Disabilitas
Terkini
Lihat Semua