Nasional

Pakar: Kedermawanan Rakyat Indonesia Warisan Sosial-Religius yang Perlu Dijaga

NU Online  ·  Senin, 4 Agustus 2025 | 19:00 WIB

Pakar: Kedermawanan Rakyat Indonesia Warisan Sosial-Religius yang Perlu Dijaga

Co-Chair Dewan Pakar Filantropis Indonesia Prof Amelia Fauzia dalam acara Budaya dan Ekosistem Filantropi FIFEST 2025 yang digelar di Jakarta, Senin (4/8/2025) (Foto: tangkapan layar kanal Youtube Bappenas RI)

Jakarta, NU Online 

Filantropi di Indonesia bukan sekadar urusan bantuan sosial atau donasi sesaat. Bagi Prof Amelia Fauzia, Co-Chair Dewan Pakar Filantropis Indonesia, kedermawanan publik di Tanah Air adalah bagian dari warisan sosial dan religius yang tumbuh berabad-abad dalam kebudayaan kita.


Hal ini disampaikan Prof Amelia saat menjadi pembicara dalam pemaparan Budaya dan Ekosistem Filantropi FIFEST 2025 yang digelar di Jakarta, Senin (4/8/2025) dikutip melalui kanal YouTube Bappenas RI.


Dalam forum tersebut, ia mengajak publik untuk tidak memandang filantropi hanya sebagai praktik modern yang eksklusif dan transaksional, melainkan sebagai bagian dari budaya gotong royong yang memiliki akar panjang dalam sejarah Islam dan tradisi Nusantara.


"Kalau kita bicara sejarah filantropi Indonesia, maka kita harus mengakui bahwa masyarakat kita sudah mengenal tradisi memberi jauh sebelum istilah ‘filantropi’ digunakan. Dalam Islam, zakat, infak, dan sedekah adalah sistem sosial yang kokoh dan terus dijalankan," tegasnya.


Menurutnya, kedermawanan publik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari fondasi spiritual. Bukan hanya karena kewajiban agama, tetapi karena adanya dorongan moral dan rasa solidaritas yang kuat dalam masyarakat.


"Filantropi kita bukan hanya soal uang. Ada yang menyumbang waktu, tenaga, keahlian. Ini yang disebut 'everyday giving' atau public generosity. Dan ini lahir dari kesadaran sosial, bukan paksaan," jelasnya.


Ia juga menyoroti pentingnya memperkuat ekosistem budaya filantropi yang tidak semata bergantung pada negara atau lembaga besar. Ia mengingatkan bahwa sejarah telah menunjukkan bagaimana pesantren, organisasi keagamaan, hingga komunitas lokal memainkan peran vital dalam mengelola dan menyalurkan bantuan secara adil dan berkelanjutan.


Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu juga mengkritisi kecenderungan sebagian program filantropi yang terlalu tersentralisasi dan mengadopsi model luar tanpa mengindahkan konteks lokal.


"Kita jangan lepas dari akar sejarah kita. Indonesia punya kekayaan model pemberdayaan masyarakat yang berbasis spiritualitas dan etika kolektif. Jangan sampai praktik filantropi kita terjebak dalam logika proyek dan kehilangan semangat sosialnya," ungkapnya.


Ia menegaskan bahwa filantropi bukan pengganti negara, tetapi harus menjadi mitra strategis dalam mengisi celah-celah pembangunan sosial. Kolaborasi antara masyarakat sipil, negara, dan lembaga keagamaan menurutnya harus tetap menjaga nilai partisipatif dan keadilan sosial.


Amelia mengingatkan pentingnya membangun kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga filantropi. Transparansi, akuntabilitas, dan pelibatan masyarakat dalam proses menjadi kunci keberlanjutan. Menurutnya, jika masyarakat tahu ke mana dan untuk apa sumbangan mereka digunakan, maka partisipasi akan tumbuh secara alamiah.


"Ini soal trust dan kejujuran," kata Direktur Sosicial Trust rund (STF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


Oleh karena itu, ia mengajak para pelaku filantropi untuk tidak menjadikan kegiatan amal sebagai tren sesaat atau bagian dari strategi branding semata, melainkan sebagai tanggung jawab.


"Kita sedang bicara tentang masa depan anak-anak kita, saudara kita, dan negeri kita. Mari jaga semangat ini dengan keikhlasan dan integritas," tutupnya.


Sementara itu, Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Leonardo A A Teguh Sambodo menambahkan bahwa kolaborasi yang melibatkan sektor filantropi akan menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs).


"Seiring dengan upaya yang telah dilakukan pemerintah, saat ini kita sudah mencapai 61,4% dari target-target SDGs. Namun, kita harus melibatkan lebih banyak pihak untuk mempercepat pencapaian, khususnya dalam sektor yang masih tertinggal seperti pilar sosial, hukum, dan tata kelola," ujar Leonardo.


Dia juga mengungkapkan bahwa, meskipun kolaborasi antara pemerintah dan sektor filantropi sudah terbentuk, tantangan terbesar adalah bagaimana memformalkan dan meningkatkan transparansi di semua level.


"Kami mengajak sektor filantropi untuk bekerja bersama dan memperkuat kolaborasi melalui platform yang lebih inklusif dan transparan, agar SDGs dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien," imbuh Leonardo.