DPRD Bentuk Pansus, Akademisi Ungkap Mekanisme Hukum Pemakzulan Bupati Pati
NU Online · Rabu, 13 Agustus 2025 | 18:30 WIB

Suasana sehari sebelum rakyat Pati turun ke jalan menuntut Bupati Sudewo turun dari jabatannya. (Foto: NU Online/Solkan)
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pati, Jawa Tengah, sepakat membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengkaji kemungkinan pemakzulan Bupati Pati, Sudewo. Langkah ini diambil setelah gelombang demonstrasi warga memicu ketegangan politik di daerah tersebut pada Rabu (13/8/2025).
Dukungan pembentukan pansus datang dari hampir seluruh fraksi, termasuk Fraksi Gerindra yang merupakan partai asal Bupati Sudewo. Anggota Fraksi Gerindra, Yeti, bahkan secara tegas menyatakan persetujuannya terhadap penggunaan hak angket. Ketua DPRD Pati, Ali Badrudi, mengetuk palu sebagai tanda pengesahan usulan pembentukan pansus.
“Rapat paripurna ini membahas kebijakan Bupati Pati. Perkembangannya akan diarahkan pada pembentukan pansus untuk mengusut kebijakan tersebut,” kata Ali di ruang paripurna, Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025).
Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Erfandi menegaskan bahwa proses pemakzulan atau pemberhentian kepala daerah memiliki mekanisme hukum yang jelas dan tidak bisa dilakukan secara serampangan.
“Dalam konteks hukum tata negara, ada mekanisme yang harus dilakukan jika Bupati Pati benar-benar terbukti melanggar undang-undang,” jelas Erfandi.
Erfandi, yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan Fakultas Hukum Unusia, memaparkan bahwa mekanisme pemakzulan (impeachment) bupati dimulai dari rapat paripurna DPRD. Jika paripurna menyimpulkan adanya pelanggaran, maka usulan tersebut dikirim ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk diverifikasi. Apabila Mendagri menyatakan ada pelanggaran, proses dilanjutkan ke Presiden untuk diterbitkan Surat Keputusan Pemberhentian.
“Aspek hukum menjadi kewenangan Mendagri untuk memverifikasi. Tapi keputusan awal tetap di tangan DPRD, apakah mereka memiliki kemauan politik untuk membawa persoalan ini ke paripurna atau tidak,” tegasnya.
Ia menambahkan, bila bupati mengundurkan diri secara sukarela, cukup dengan mengirimkan surat pengunduran diri kepada Presiden melalui Mendagri, disertai alasan yang jelas.
"Surat pengunduran diri tersebut diverifikasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk dilanjutkan ke Presiden, selanjutnya akan dikeluarkan Surat Keputusan Pemberhentian Bupati Pati oleh Presiden," katanya.
Ia juga menanggapi sikap Sudewo yang sempat menantang warga. Menurutnya, hal itu bisa masuk delik pidana, tergantung konteksnya.
“Kalau menantang dengan maksud menghasut warga Pati, maka Bupati bisa dikenai delik penghasutan sebagaimana diatur dalam Pasal 160 KUHP,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa demonstrasi dan protes publik di Pati merupakan bentuk ekspresi politik yang dilindungi konstitusi, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
“Saya kira sikap warga Pati harus dilihat secara bijak dan proporsional. Kebijakan menaikkan PBB ini bersentuhan langsung dengan masyarakat, terutama mereka yang sedang kesulitan ekonomi,” ujarnya.
Erfandi mengapresiasi langkah Bupati Sudewo yang membatalkan kenaikan PBB. Namun, ia mengingatkan agar kebijakan tersebut terus dikawal agar tidak diberlakukan kembali di masa mendatang.
“Pesan saya, jangan main-main dengan kebutuhan yang bersentuhan langsung dengan rakyat,” terangnya.
Terpopuler
1
5 Poin Maklumat PCNU Pati Jelang Aksi 13 Agustus 2025 Esok
2
Harlah Ke-81 Gus Mus, Ketua PBNU: Sosok Guru Bangsa yang Meneladankan
3
Innalillahi, A'wan Syuriyah PWNU Jabar KH Awan Sanusi Wafat
4
Jumlah Santri Menurun: Alarm Pudarnya Pesona Pesantren?
5
RMINU Jakarta Komitmen Bentuk Kader Antitawuran dengan Penguatan Karakter
6
Nusron Wahid Klarifikasi soal Isu Kepemilikan Tanah, Petani Desak Pemerintah Laksanakan Reforma Agraria
Terkini
Lihat Semua