Nasional MENIMBANG PERKARA TAMBANG

Deindustrialisasi Merajalela, Ancaman Ketergantungan pada Sektor Ekstraktif Makin Nyata

NU Online  ·  Rabu, 18 Juni 2025 | 09:00 WIB

Deindustrialisasi Merajalela, Ancaman Ketergantungan pada Sektor Ekstraktif Makin Nyata

Deindustrialisasi di Indonesia mengarah pada sektor ekstraktif. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Di tengah melemahnya sektor industri manufaktur dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), arah pembangunan ekonomi nasional justru makin bergantung pada sektor ekstraktif. Alih-alih memperkuat basis industri pengolahan dan inovasi, pemerintah dinilai terlalu bertumpu pada kekayaan alam yang tak terbarukan.


Direktur Kebijakan Publik Center of Economics and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar, menyebut Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi dini. Hal ini ditandai dengan menurunnya kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan stagnannya penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut.


“Saat ini kontribusi sektor industri manufaktur hanya berkisar 18–19 persen terhadap PDB, berdasarkan data BPS. Serapan tenaga kerja juga cenderung menurun dalam jangka panjang,” ungkapnya kepada NU Online, Selasa (17/6/2025).


Menurutnya, deindustrialisasi ini makin mengkhawatirkan karena justru diiringi dengan meningkatnya sektor informal yang nilai tambah ekonominya rendah.


Sementara itu, arus investasi asing justru lebih banyak masuk ke sektor ekstraktif, properti, dan jasa, bukan pada sektor industri berbasis ekspor. “Beberapa data ini cukup mengkhawatirkan karena menunjukkan Indonesia mengalami deindustrialisasi dini,” ujarnya.


Lebih lanjut, ia menilai ketergantungan pada sektor ekstraktif belum memberi dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Di sektor tambang, misalnya, lapangan kerja cenderung bersifat sementara dan terbatas, serta hanya berlangsung sekitar 10–20 tahun di satu wilayah.


“Dari segi ketenagakerjaan sangat problematik. Tapi di banyak negara, sektor ekstraktif bisa menjadi turning point jika ada strategi industri yang kuat. Sayangnya, di Indonesia hal itu belum terjadi,” tegasnya.


Idealnya, kata dia, selama 50 tahun terakhir Indonesia bisa memanfaatkan kontribusi dari sektor pertambangan, kemudian melakukan upaya penguatan industri, termasuk mendorong energi terbarukan.


"Sebetulnya kita punya potensi keluar dari kutukan gejala sumber daya alam (SDA). Tetapi melihat hari ini, strategi dari pembangunan industri belum sangat kuat sehingga ujungnya minim inovasi, roadmap yang tidak clear, tabrakan antar kementerian," kata dia.


Ia juga mengkritik regulasi yang makin melonggarkan penguasaan sumber daya alam oleh korporasi besar, terutama setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. Alih-alih memperkuat pengawasan lingkungan dan pelibatan masyarakat lokal, izin tambang kini justru makin mudah diperoleh.


"Regulasinya cenderung memperlemah kewenangan dari pemerintah daerah. Dari regulasi itu justru memudahkan penguasaan SDA oleh korporasi besar," kata dia.


Revisi UU Ciptaker yang berkaitan dengan minerba itu, kata Wahyu, mengabaikan prinsip just transition, meskipun terlihat di beberapa fase tidak jelas soal perlindungan atas komunitas yang terdampak, masyarakat adat, termasuk juga pekerja dari industri tambang itu sendiri.


"Jadi, pemerintah perlu menyusun strategi ekonomi yang berkeadilan, plus implementasi di lapangan itu juga diperbaiki. Jangan sampai di regulasinya enggak begitu eksplisit, malah di bawahnya jadi makin berantakan, termasuk pelibatan militer di proyek-proyek strategis nasional berkaitan dengan batu bara dan pertambangan," jelasnya.


Sementara itu, pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama menyebut, jika tidak ada perubahan struktural ekonomi yang terjadi, maka industri ekstraktif akan tetap jadi andalan.


Sejauh ini, komoditas ekspor masih berbasis SDA ekstraktif. Bisa dilihat implikasinya pada ekonomi domestik: jika harga-harga komoditas turun, maka penerimaan pajak akan turun, kemudian akan berimbas juga pada pergerakan nilai tukar rupiah. Pada akhirnya, mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.


"Jadi, jika kita semakin bergantung pada SDA ekstraktif, ekonomi kita akan sangat bergantung pada harga komoditas global yang menciptakan ketidakpastian pada ekonomi domestik," ujarnya.


Agar Indonesia tidak terjebak dalam industri ekstraktif, kata dia, hilirisasi yang sedang didorong pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada sumber daya tak terbarukan seperti pertambangan.


"Hilirisasi yang secara konsep ini sudah bagus, hanya saja jangan fokus pada SDA yang tidak dapat diperbaharui (pertambangan). Harusnya lebih menekankan pada komoditas yang dapat diperbaharui, yang dampak bergandanya lebih tinggi," ujarnya.


Kedua adalah perlunya lompatan di bidang teknologi untuk industri berteknologi tinggi agar bisa berdaya saing, bukan hanya sebagai pengguna tapi juga sebagai pemasok. "Ketiga yang tak kalah penting adalah kualitas SDM yang perlu terus ditingkatkan," tandasnya.


Senada dengan itu, Peneliti Senior PUSHEP Akmaluddin Rachim mengatakan UU Cipta Kerja tidak memberikan dampak signifikan yang positif pada kegiatan usaha di sektor ekstraktif dan peningkatan ekonomi nasional. UU Cipta Kerja justru sebaliknya, semakin mengeksploitasi alam, merusak lingkungan.


Menurutnya, tujuan diterbitkannya UU Cipta Kerja seperti menarik investasi sebanyak-banyak tidak terwujud. Justru ada banyak investor yang kabur dari Indonesia. Terbaru ada LG Energy Solution (Korea Selatan), Eramet (Prancis) & BASF (Jerman), di sektor Migas, ada Chevron, ConocoPhillips, dan Shell.  "Jadi sesungguhnya UU Cipta Kerja tidak membuahkan hasil yang signifikan untuk menarik investasi," kata Akmal.


Berdasarkan data Trading Economics, produksi Industri di Indonesia turun 6,85 persen pada kuartal pertama tahun 2025 dibandingkan dengan kuartal yang sama pada tahun sebelumnya. Produksi Industri di Indonesia rata-rata sebesar 3,12 persen dari tahun 2011 hingga 2025, mencapai level tertinggi sepanjang masa sebesar 22,19 persen pada kuartal kedua 2021 dan level terendah sebesar -19,74 persen pada kuartal kedua 2020.


Perekonomian Indonesia hingga saat ini masih sangat bergantung pada konsumsi domestik dan sektor ekstraktif—aktivitas yang bila dilakukan secara masif bisa merusak lingkungan.


Sebagai informasi, ekonomi ekstraktif merupakan jenis pembangunan ekonomi dengan jalan mengeruk sumber daya alam, seperti tambang, lahan, kayu, laut.


Laporan Indonesia Corruption Watch 2024 berjudul Siapa yang akan diuntungkan? Bisnis Ekstraktif dan Energi Terbarukkan di balik Prabowo-Gibran memperlihatkan adanya potensi bisnis energi terbarukan didominasi oleh para pebisnis ekstraktif. Para pebisnis ekstraktif telah memulai mengembangkan unit usaha bisnis pada energi terbarukan. Hubungan dengan penguasa yang telah terpilih kemudian berpotensi memberi manfaat terhadap upaya mereka mengembangkan lini bisnisnya.


Hukum dan kebijakan mengenai industri energi terbarukan berpotensi diarahkan untuk memfasilitasi para pebisnis tersebut. Pada akhirnya, itu dapat menghambat upaya transisi energi yang berkeadilan.


Presiden Prabowo Subianto dalam Astacita menegaskan melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi agar bisa melecut pertumbuhan perekonomian negara di atas 8 persen.


Hal tersebut dilakukan guna mencapai visi Indonesia Emas 2045, sekaligus memacu Indonesia tidak terjebak dalam pendapatan menengah atau middle income trap, dengan menargetkan masyarakat bisa memiliki penghasilan hingga 30.000 dolar AS per tahun.


Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, dalam pernyataannya mengatakan Astacita Presiden Prabowo menempatkan hilirisasi sebagai salah satu prioritas strategis untuk mendorong ekonomi berkelanjutan. 


Upaya ini diarahkan untuk meningkatkan kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi hijau, dan ekonomi biru. Selain itu, pengembangan industri kreatif, penciptaan lapangan kerja berkualitas, serta penguatan kewirausahaan menjadi bagian integral dari strategi ini.