Nasional

Dalam Kultur Demokrasi, Pendanaan Negara pada Media untuk Layani Rakyat

NU Online  ·  Jumat, 18 Juli 2025 | 22:00 WIB

Dalam Kultur Demokrasi, Pendanaan Negara pada Media untuk Layani Rakyat

Forum Kramat dengan tema Merayakan Ulang Tahun NU Online ke-22: Nasib Jurnalisme di Tengah Derasnya Teknologi Digital di Lobi Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, pada Jumat (18/7/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Mohammad Syafi' Alielha (Savic Ali) menegaskan bahwa pendanaan negara terhadap media bukanlah kesalahan, selama dilakukan dengan kesadaran bahwa pers memiliki peran penting sebagai pilar demokrasi dan pengawal jalannya pemerintahan.


Hal itu disampaikan dalam Forum Kramat dengan tema Merayakan Ulang Tahun NU Online ke-22: Nasib Jurnalisme di Tengah Derasnya Teknologi Digital di Lobi Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, pada Jumat (18/7/2025).


Pemimpin Redaksi (Pemred) NU Online Kedua (2010-2015) itu melihat, perlu berbagi peran dalam menjalankan negara demokrasi, seperti pada trias politika yang membagi kekuasaan pemerintahan mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga mempersempit ruang penyalahgunaan kekuasaan.


"Kenapa ada anggota DPR? Dia otonom walaupun dia digaji oleh negara, anggarannya dianggarkan oleh Kementerian Keuangan, tapi dia nggak harus ini (sejalan) dengan pemerintah, karena bukan duitnya pemerintah, duitnya sekarang kan bukan duitnya Pak Prabowo, dulu bukan duitnya Pak Jokowi. Ya, duit pajak sebagian besar warga," katanya.


"Artinya, bahwa negara mengongkosi DPR untuk mengontrol pemerintah eksekutif. Jadi, kalau negara mengalokasikan kepada pers yang dianggap salah satu pilar demokrasi, mengawasi jalannya kekuasaan itu sah, legitimate," tambahnya.


Savic mencontohkan praktik masa lalu saat Gubernur Ali Sadikin pada 1970-an memberikan dukungan dana kepada LBH yang kelak menjadi YLBHI tanpa ikut campur dalam agenda kritis lembaga tersebut. Menurutnya, ini menjadi keputusan penting bahwa pendanaan negara bukan berarti kontrol politik.


"Justru kalau kita sadar, demokrasi banyak hal yang harusnya dibiayai oleh negara, dan karena dibiayai oleh negara bukan berarti dia harus satu jalan, yes man (menurut) terhadap pemerintah. Sekarang orang bilang, kalau disupport oleh negara berarti harus yes man? Ya, bilang saja sama anggota DPR, DPR-nya kenapa nggak dibubarin aja," tegasnya.


Di samping itu, Pemred NU Online Ivan Aulia Ahsan menyoroti kebiasaan pemerintahan yang menganggap iklan atau kerja sama dengan media sebagai cara membeli pemberitaan positif. Ia menegaskan bahwa perilaku itu sebagai warisan sistem kolonial, yaitu negara melayani pejabat, bukan rakyat.


"Ekosistem kemediaan, hubungan antara state (negara) dengan media yang tidak sehat di Indonesia. Ini problem paradigmatik menurut saya. Seharusnya yang dikatakan oleh Mas Savic tadi, negara sadar, pemerintah sadar, bahwa kita ngasih ke media, ngasih insentif atau iklan atau apapun ke media itu untuk kepentingan negara sendiri," katanya.