RUU KUHAP Dinilai Berpotensi Langgar HAM, Koalisi Masyarakat Sipil Luncurkan Draf Tandingan
Selasa, 8 Juli 2025 | 22:00 WIB

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil usai menggelar konferensi pers dan meluncurkan draf tandingan RUU KUHAP di Jl H Agus Salim, Gambir, Jakarta Pusat, pada Selasa (8/7/2025). (Foto: NU Online/Fathur)
Jakarta, NU Online
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP meluncurkan draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tandingan. Peluncuran ini menjadi respons kritis terhadap draf RUU versi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah yang dinilai bermasalah secara substansi dan berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Koalisi menilai bahwa RUU KUHAP versi DPR dan pemerintah tidak menjawab kebutuhan reformasi hukum. Sebaliknya, draf tersebut justru membuka ruang penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum dan mengancam kebebasan sipil warga negara.
Peneliti senior dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari menjadi salah satu penyusun utama draf tandingan. Ia menyebut bahwa RUU KUHAP yang tengah dibahas di Senayan, gagal menjamin perlindungan terhadap hak-hak sipil.
“Kita menyusun draf ini karena draf resmi dari DPR maupun pemerintah sama-sama bermasalah. Mereka tidak memperbaiki mekanisme upaya paksa, malah melegalkan praktik penyalahgunaan kekuasaan,” tegas Tita dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil di Jalan H Agus Salim, Gambir, Jakarta, Selasa (8/7/2025).
Menurutnya, draf resmi memberi pengecualian terhadap izin pengadilan dalam proses penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan.
"RUU resmi memang menyebutkan perlu izin pengadilan, tapi diberi celah ‘kondisi mendesak’ yang ditentukan sendiri oleh penyidik. Ini manipulatif dan membahayakan," katanya.
Tita menjelaskan bahwa dalam draf tandingan, seluruh tindakan aparat yang bersifat memaksa harus diawasi secara yudisial (judicial scrutiny), termasuk penyitaan data digital dan telepon genggam warga.
"Handphone warga bisa digeledah, galeri dibuka, password diminta tanpa dasar jelas. Kami ingin pastikan setiap tindakan aparat ada landasan, ada izin, ada pertanggungjawaban," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa draf tandingan ini bukan semata simbolik, melainkan produk konkret yang akan disebarluaskan kepada masyarakat sipil, kalangan akademik, dan para pembuat kebijakan.
“Kami ingin masyarakat sadar: ini barang penting. Ini menyangkut hak kita kalau suatu hari ditangkap, digeledah, atau disidik. Kita perlu tahu batas-batasnya, dan RUU ini tidak menjawab itu,” terangnya.
Peluncuran draf tandingan juga menjadi bentuk kritik terhadap proses penyusunan RUU resmi yang dinilai tidak transparan dan tidak partisipatif.
Hal ini ditegaskan Fransisca Fitri dari YAPPIKA-ActionAid yang menyebut proses legislasi RUU KUHAP sebagai bentuk manipulasi partisipasi publik.
"Ini bukan meaningful participation, tapi meaningful manipulation. Prosesnya cepat, tertutup, dan tidak melibatkan publik secara utuh. Sama seperti pola UU KPK dan Omnibus Law," kritiknya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Gina Sabrina menyoroti absennya jaminan hak atas bantuan hukum sejak tahap penyelidikan.
Ia juga mengkritik masuknya praktik upaya paksa seperti penyamaran dan pembelian terselubung di tahap awal penyelidikan tanpa mekanisme pengawasan.
"Apa dasar hukum penyamaran dilakukan di tahap penyelidikan? Bagaimana pengawasannya? Tidak jelas. Ini berbahaya," ujar Gina.
Dari perspektif kelompok rentan, Nena Hutahaean dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menilai bahwa RUU KUHAP masih abelistik dan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.
"Definisi saksi masih ‘melihat, mendengar, merasakan’. Bagaimana dengan tunanetra atau tunarungu? Keterangan mereka tidak akan dianggap. Pasal-pasal disabilitas ini hanya tempelan," tegasnya.
Matheus Nathanael dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menambahkan bahwa draf resmi RUU KUHAP gagal mengatur secara tegas pembagian tanggung jawab pembuktian dalam proses hukum.
"Kalau seseorang ditahan sewenang-wenang, dia harus membuktikan penahanannya salah. Padahal beban itu seharusnya ada pada aparat. Ini hukum publik, bukan perdata," tegasnya.
Senada dengan itu, Hans Giovanny dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memperingatkan bahwa draf yang beredar justru berpotensi memperkuat praktik penyiksaan oleh aparat.
“Tahun ini saja ada 36 kasus penyiksaan oleh polisi. Tapi dalam RUU ini, tidak ada mekanisme koreksi yang kuat. Ini alarm bahaya bagi hak asasi manusia," ujarnya.
Koalisi menyatakan bahwa draf tandingan ini akan terus disempurnakan dan digunakan sebagai alat advokasi untuk mendorong proses legislasi yang lebih terbuka, akuntabel, dan berpihak pada perlindungan hak warga negara.