Cerpen

Subuh Terakhir di Tembok Theodosian

Ahad, 22 Juni 2025 | 15:00 WIB

Subuh Terakhir di Tembok Theodosian

Ilustrasi: Peperangan di Konstantinopel (Tangkapan layar video Trailer 1453 di akun FA TV)

Cerpen: Farid Mustofa
Tembok Theodosian adalah garis pelindung terakhir kota Konstantinopel dari arah daratan, dibangun pada awal abad ke-5 oleh Kaisar Theodosius II untuk menghadang serangan-serangan dari wilayah barat. Memanjang sejauh kurang lebih 5,5 kilometer dari Laut Marmara di selatan hingga Golden Horn di utara, tembok ini terdiri dari tiga lapis perlindungan: parit besar di bagian luar, tembok rendah sebagai benteng pertama, dan tembok utama yang menjulang hingga dua belas meter, dengan ketebalan yang mampu menahan serangan selama berabad-abad. Inilah tembok yang membuat Konstantinopel dipercaya tak tertembus, bahkan ketika kekaisaran di dalamnya perlahan melemah. Kini, sebagian besar tembok ini masih berdiri di distrik Fatih, Istanbul—diapit jalan raya dan pemukiman modern, menyimpan bisu dentuman meriam dan teriakan zaman yang telah lewat. 


Pada tahun 1453, di tembok inilah garis akhir itu digores. Sultan Mehmed II menempatkan meriam-meriamnya menghadap langsung ke gerbang utama tembok ini—Gerbang St. Romanus, yang kini dikenal sebagai Topkapi Gate—dan dari titik inilah sejarah pecah. 

 

Cerita ini sepenggal kisah di atas tembok itu, pada hari ketika serangan terakhir mengguncang, setelah pengepungan 50 hari, dan tentara Ottoman memasuki kota, menutup tirai Kekaisaran Byzantium yang telah berdiri lebih dari seribu tahun.

*


Subuh turun tanpa suara. Kabut masih menggantung di dataran Lykos, membentuk bayang putih tipis yang menari pelan di atas tanah. Aku berdiri di atas tembok, bersama serombongan tentara dan warga kota yang sejak malam belum tidur. Di bawah, di balik tembok luar yang mulai retak, tanah yang dulu lapang kini berubah menjadi lautan kemah—kemah musuh.

 

Bayang api tampak di kejauhan. Di balik keremangan fajar, aku melihat siluet raksasa—itu dia: meriam Orban. Satu silinder logam sebesar sumur, lebih panjang dari kereta kuda. Diam, tapi mengancam. Para serdadu Ottoman mengelilinginya bagai semut di sekitar batu besar. Mereka sibuk menyiapkan sesuatu—tangga, peluru besi bulat, bubuk mesiu.

 

Seseorang di sampingku berkata lirih, "Hari ini mereka akan menembak lagi… Aku yakin tembok ini tak bisa lama."


Aku menoleh, seorang rahib tua memeluk salibnya erat, matanya basah menatap ke arah Hagia Sophia di kejauhan. Lonceng gereja belum berbunyi. Tapi ayam jantan dari balik kota sudah menyambut cahaya pertama yang menerobos kabut.

 

Dari bawah, terdengar teriakan perintah. Tentara Mehmed mulai bergerak. Kuda berderap, lonceng tambur dipukul. Peluru meriam—bulat, gelap, dan tak bernyawa—diangkat oleh lebih dari sepuluh orang. Aku melihatnya dimasukkan ke moncong besar itu, lalu api kecil dinyalakan di sisi bawah. Semua orang di tembok diam.


Dan tiba-tiba… 

 

Duar!

 

Langit menggema, dinding bergetar, merpati beterbangan panik dari menara. Aku menahan napas. Retakan baru muncul di dinding luar—debu mengepul, batu beterbangan.

 

Seorang anak muda di sampingku jatuh terduduk, bukan karena luka, tapi karena ngeri. "Kita sedang melihat akhir zaman," bisiknya.
Aku tidak menjawab. Aku hanya berdiri, menggenggam tepi tembok, memandang dataran luas itu—tempat ratusan ribu pasukan Ottoman siap memecah ribuan tahun sejarah hanya dalam hitungan hari.

*

 

Ledakan itu masih menggemakan kepalaku, meski tanah sudah berhenti bergetar. Batu-batu beterbangan tadi kini diam, teronggok seperti tulang-tulang tua di bawah kabut. Aku tak tahu apa yang lebih berat: suara dentuman itu, atau sunyi yang mengikutinya.

 

Di belakangku, seseorang mengucap doa Yunani dengan suara kecil. Entah untuk Tuhan atau untuk kota ini. Di sampingnya, pemuda yang tadi terduduk masih menggenggam potongan tembok yang pecah. Jemarinya berdarah, tapi ia tidak sadar. Kami semua seperti itu—luka tanpa perasaan, takut tanpa suara.


Kota ini dulu keras kepala. Bahkan saat matahari menyengat, orang-orangnya tetap berdebat di pasar, di pelabuhan, di halaman gereja. Tapi kini semua orang hanya berbisik. Kami tahu kota ini sudah tua—batinnya sudah lama mengeriput, tapi temboknya masih berdiri. Dan sekarang... bahkan itu pun mulai runtuh.


Aku menoleh ke timur, ke balik kota. Di sana, menara Hagia Sophia menjulang seperti jari yang menunjuk langit—sunyi, agung, dan asing. Seolah sedang bertanya pada surga: “Berapa lama lagi?”

 

Kabar tentang pasukan Mehmed menyebar seperti bau mesiu. Ada yang bilang mereka ratusan ribu. Ada yang bilang mereka seperti ombak hitam tak berujung. Tapi semua sepakat: mereka datang bukan hanya untuk kota, tapi untuk apa yang kota ini wakili. Dan itu lebih menakutkan daripada meriam.


Aku memejamkan mata. Di bawah sana, barisan musuh mulai bergerak. Bunyi tambur, suara kuda, gemeretak roda meriam, denting alat tukang kayu membangun jembatan kecil. Semua terdengar seperti satu simfoni: nyanyian akhir zaman.


Tapi tembok ini... Tembok ini belum menyerah. Dan selama aku masih berdiri di atasnya, kota ini belum benar-benar jatuh.

 

Lalu datanglah fajar yang tak membawa terang. Tembok yang sejak subuh diguncang dan dihantam kini menganga di beberapa titik. Sorakan asing mulai terdengar mendekat, lebih dekat dari biasanya. Tangga-tangga kayu mulai menyentuh dinding, dan dari balik asap yang menggulung, aku melihat bayangan pertama mereka memanjat—seperti laba-laba di pagi yang patah.

 

Pasukan Konstantinopel bertahan sekuat tenaga. Di sisi-sisi tangga dan celah tembok, kami melempar batu, menumpahkan minyak mendidih, bahkan melemparkan kayu terbakar dari atas. Di antara kami ada tentara bayaran dari Genoa—Giovanni Giustiniani adalah nama yang disebut-sebut sebagai dinding kedua setelah tembok itu sendiri. Ia datang membawa ratusan prajurit berzirah baja, bertempur dengan pedang dan tombak dalam formasi yang rapi dan tabah. Aku melihatnya memimpin langsung di atas gerbang, mengayunkan pedang, berteriak dalam bahasa yang tidak semua dari kami mengerti, tapi semangatnya membakar.

 

Namun jumlah kami tak sebanding. Saat itu kabar menyebar cepat dari satu sisi ke sisi lain tembok: Giustiniani terluka. Ada yang mengatakan peluru menghantam dadanya, ada yang bilang hanya goresan di paha—tapi ia tak bisa berdiri lagi. Dan begitu ia ditandu turun dari atas benteng, semangat mulai merosot perlahan seperti air surut dari luka terbuka.

 

Beberapa prajurit mulai bimbang, dan garis pertahanan di titik-titik genting menipis. Anak panah melesat dari atas, tetapi mereka datang terlalu banyak. Beberapa jatuh, tapi lebih banyak lagi yang naik. Aku melihat salah satu dari mereka mengibarkan bendera bulan sabit di atas menara pengawas. Beberapa prajurit di sisiku mundur, beberapa lagi jatuh, tidak semua karena luka.


Pintu kecil dekat gerbang utama terdengar pecah. Lonceng-lonceng akhirnya dibunyikan, tapi bukan sebagai panggilan doa—melainkan isyarat bahwa tembok telah jebol.

 

Di kejauhan, asap membubung dari arah pasar. Api telah merambat ke rumah-rumah. Jeritan mulai terdengar dari dalam kota. Aku menoleh ke timur sekali lagi. Hagia Sophia masih berdiri, tapi langit di belakangnya merah. Burung-burung tak lagi melingkarinya.

 

Konstantinopel telah terbuka. Dan kami—yang tinggal di atas tembok ini—bisa mendengar kaki zaman memasuki tubuh kota, tanpa bisa lagi menghalanginya.
Aku berlari menuruni undakan batu, meninggalkan tembok yang sudah tak lagi bisa membela. Jalanan dipenuhi bayangan. Sebagian penduduk melarikan diri ke gereja-gereja, berharap tembok doa bisa menggantikan dinding batu yang telah runtuh. Di lorong sempit dekat pasar, kulihat seorang perempuan tua memeluk patung Yesus sambil menangis, duduk di depan pintu rumah yang sudah hangus separuhnya.

 

Pasukan Ottoman menyebar cepat. Mereka masuk melalui celah-celah tembok yang telah hancur, sebagian membawa panji, sebagian menjarah, sebagian mencari musuh yang belum mati. Kota ini bukan lagi kota. Ia jadi gema perintah, jerit, dan derap.


Aku berbelok menuju arah Hagia Sophia. Beberapa warga—para biarawan, para perempuan, anak-anak—telah berkerumun di halaman basilika. Mereka masuk perlahan, berharap basilika agung itu menjadi tabut Nuh terakhir. Ada yang berlutut, ada yang menyanyi pelan.

 

Tapi aku tidak ikut masuk. Aku berdiri di luar, memandang lengkung pintunya, dan tahu: tempat itu tidak akan lagi menjadi milik kami sepenuhnya.


Langit kini merah sepenuhnya. Dan dari arah barat kota, pasukan utama Sultan Mehmed mulai memasuki Konstantinopel. Ia menunggang kuda hitam, dikelilingi pengawalnya yang berderet rapi, melewati Topkapi Gate yang kini terbuka lebar dan penuh puing. Dari sana, ia menuruni jalur tua yang dikenal sebagai Mese—jalan raya utama kota kuno— (sekarang Grand Bazaar dan Beyazıt) yang kini penuh tubuh berserakan, asap dan reruntuhan. 

 

Mehmed tak berhenti. Ia tidak menoleh pada bangunan yang terbakar, tidak juga pada tentara-tentaranya yang bersorak di jalanan. Ia berkuda lurus menuju reruntuhan istana lama dekat Hagia Sophia—bekas kediaman para kaisar, yang sejak penjarahan tahun 1204 tak pernah benar-benar dibangun kembali. Ia hanya melewatinya, pelan, dan berhenti di halaman terbuka di sisi barat Hagia Sophia.

 

Dari sana, ia memandang basilika itu dengan hening. Dan yang kami dengar kemudian adalah perintahnya: "Jangan sentuh tempat ini." Tak seorang pun pasukan berani mendekat. Ia tahu apa itu Hagia Sophia, dan meski ia datang sebagai penakluk, ia ingin dikenang sebagai pengatur yang memilih menahan.

 

Di sekitarnya, ribuan mayat belum dikubur. Jeritan masih terdengar dari gang-gang sempit. Kaisar Konstantinus—mereka bilang—gugur di dekat gerbang, tubuhnya tak dikenali. Tapi kota ini telah patah. Dan aku, yang menyaksikan semua dari lorong kecil di bawah tangga Hagia Sophia, tahu bahwa hari itu dunia berganti wajah, dan langit tidak akan lagi menatap kami dengan cahaya yang sama.

 

Konstantinopel telah jatuh. Bukan hanya pada dinding dan batu, tapi pada ingatan dan takdir. Dan bagi kami yang menyaksikannya, dunia setelahnya bukan lagi kelanjutan dari yang kemarin, tapi sesuatu yang sama sekali lain.


Farid Mustofa, lahir di Purwodadi, Jateng. Selain pengajar di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM), ia menulis cerpen, esai, dan naskah reflektif yang tersebar di berbagai media. Beberapa karyanya mengangkat tema sejarah, spiritualitas, dan paradoks kehidupan sehari-hari. Kini ia tengah menyiapkan buku kumpulan cerpen serta buku filsafat seni, Filsafat Mistik dan Perennial untuk pembaca umum.