KH Masyhuri Na'im: Perbedaan itu Layak Terjadi
NU Online · Kamis, 28 Desember 2006 | 11:07 WIB
Jakarta, NU Online
Perbedaan yang terjadi dalam penentuan awal Dzulhijjah 1427 H antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi tidak perlu dirisaukan. Perbedaan itu wajar terjadi karena secara geografis kedua negara tersebut berbeda.
Hal tersebut ditegaskan kembali oleh Rais Syuriah KH Muhammad Masyhuri Na’im menanggapi pertanyaan seputar munculnya pengumuman dari beberapa masjid besar di Jakarta yang akan melakukan shalat sunat Idul Adha pada hari Sabtu (30/12) depan. Dikatakannya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengimbau masyarakat di Indonesia untuk mengikuti ketetapan (itsbat) pemerintah Indonesia.
<>Seperti diberitakan NU Online (22/12), pemerintah Kerajaan Arab Saudi akhirnya menetapkan awal Dzulhijjah pada hari Kamis, 21 Desember 2006, dan secara otomatis Shalat Idul Adha akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 30 Desember 2006. Sementara pemerintah Indonesia, dalam hal ini Departemen Agama, berdasarkan sidang itsbat bersama ormas-ormas Islam di Indonesia menetapkan Idul Adha pada Hari Ahad, 31 Desember 2006.
“Di sini kita harus mengukuti itsbat pemerintah Indonesia, kecuali jika dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah itu pemerintah tidak berdasar pada rukyatul hilal atau istiqmal. Patokannya ya dimana seseorang itu berada lah! Karena perbedaan tempat itu menentukan sudut pandang hilal dan matahari,” kata Kiai Mashuri Na’im.
Umat Islam di Indonesia tidak harus mengikuti ketetapan-ketetapan yang diberlakukan di Timur Tengah. Dalam penentuan bulan Dzulhijjah, hanya para jamaah haji yang diharuskan mengikuti ketetapan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
”Bisa dikiaskan dengan masalah zakat pertanian, misalnya, tidak bisa komoditi yang dikeluarkan zakatnya di Indonesia harus sama dengan di Arab. Apa iya atas dasar Islam diturunkah di Makkah lantas kita harus semua ikut sana? nggak harus tekstual begitu lah!” kata Kiai Masyhuri Na’im.
Ketinggian Negatif
Sementara itu berdasarkan data dari Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU), pada tanggal 29 Dzulqa’dah (20 Desember lalu) ijtima’ atau bulan baru di makkah terjadi sekitar 0 jam 41 menit sebelum terbenam matahari (ijtima’ qabla ghurub). Namun ketinggian hilal pada saat ghurub masih berada di bawah ufuk pada ketinggian sekitar -2051,7'
Dijelaskan, hilal di Makkah dengan demikian memang sudah merupakan hilal Dzulhijjah karena sudah melampaui ijtima’, namun dengan ketinggian yang negatif ini secara obyektif hilal tidak mungkin dapat terlihat. Besar kemungkinan jika dilihat hanya pada posisi hilal semata, baik di Indonesia maupun di Arab Saudi akan mengawali bulan Dzulhijjah pada hari yang bersamaan, yakni pada hari Jum’at tangal 22 Desember 2006 dan wukuf akan diberlangsungkan pada hari Sabtu, 30 Desember 2006.
”Namun kalau pemerintah Saudi tetap memutuskan begitu ya terserah sana. Kita memang boleh berbeda pendapat atau mengikuti pendapat yang kita yakini tapi tidak boleh frontal menolak. Juga jangan sampai ada rasa curiga,” kata Kiai Masyhuri Na’im. (nam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Refleksi Akhir Safar, Songsong Datangnya Maulid
2
Gaji dan Tunjangan yang Terlalu Besar Jadi Sorotan, Ketua DPR: Tolong Awasi Kinerja Kami
3
KPK Tetapkan Wamenaker Immanuel Ebenezer dan 10 Orang Lain sebagai Tersangka Dugaan Pemerasan Sertifikat K3
4
LF PBNU Rilis Data Hilal Jelang Rabiul Awal 1447 H
5
Prabowo Minta Proses Hukum Berjalan Sepenuhnya untuk Wamenaker yang Kena OTT KPK
6
Pemerintah Berencana Tambah Utang Rp781,9 Triliun, tapi Abaikan Efisiensi Anggaran
Terkini
Lihat Semua