Pustaka

Fathul Mu’in: Kitab Fiqih yang Merakyat dan Unik

NU Online  ·  Rabu, 14 Mei 2025 | 19:00 WIB

Fathul Mu’in: Kitab Fiqih yang Merakyat dan Unik

Cover kitab Fathul Mu'in.

Dalam menuntut ilmu, menguasai dasar-dasar terlebih dahulu adalah keharusan. Seorang pelajar pemula (mubtadi’) yang buru-buru mempelajari materi tingkat lanjut tanpa kesiapan hanya akan membuang waktu sia-sia. 

 

Di pesantren, para santri biasanya memulai dengan mengkaji kitab-kitab dasar, lalu berlanjut ke kitab yang lebih kompleks, hingga mencapai pembelajaran mendalam di tingkat akhir. Dalam ilmu fiqih, kurikulum umumnya dimulai dari Taqrib, dilanjutkan dengan Safinatun Najah, Riyadhul Badi’ah, Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, hingga Mahalli (syarah Minhajut Thalibin). Tulisan ini akan mengulas sekilas tentang Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin al-Malibari.

 

Fathul Mu’in adalah salah satu kitab fiqih klasik yang menjadi rujukan utama dalam kurikulum ilmu fiqih di banyak pesantren di Nusantara. Kitab ini biasanya dipelajari pada tingkat menengah oleh santri yang telah mengkhatamkan Taqrib karya Syekh Abu Syuja’ atau syarahnya, Fathul Qarib karya Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi, pada tingkat dasar.

 

Syekh Zainuddin, penulis kitab ini, memiliki nama lengkap Abu Bakar Zainuddin Ahmad bin Muhammad al-Ghazali bin Zainuddin bin ‘Ali bin Ahmad al-Malibari asy-Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 938 H. Untuk membedakan dengan kakeknya yang juga bernama Zainuddin, sang kakek dikenal sebagai Zainuddin al-Makhdum al-Kabir, sedangkan beliau disebut Zainuddin al-Makhdum ash-Shaghir.

 

Menurut pendapat yang kuat, sebagaimana dicatat oleh sejarawan Malabar, Syekh Muhammad Ali an-Nalikuti dalam Tuhfatul Akhyar fi Tarikh ‘Ulama Malibar, Syekh Zainuddin wafat pada tahun 1028 H. Jenazahnya dimakamkan di samping masjid jami’ yang didirikan ayahnya, Syekh Muhammad al-Ghazali, di Kungipalli, Chombala, India, berdampingan dengan makam istrinya.


Sumber Penulisan Kitab Fathul Mu’in

Dalam mukadimah kitabnya ini, Syekh Zainuddin mengatakan bahwa kitab Fathul Mu’in ini beliau tulis berdasarkan beberapa rujukan kitab, sebagai berikut:

  1. Beberapa kitab karya guru beliau, yakni Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (guru besar beliau yang dikehendakinya setiap menyebut istilah ‘Syaikhuna’ dalam kitab ini)
  2. Kitab karya Wajihuddin Abdur Rahman bin Ziyad Az-Zubaidi
  3. Kitab karya Syaikul Islam Zakaria Al-Anshari
  4. Kitab karya Imam Al-Amjad Ahmad Al-Muzjid Az-Zubaidi


Menurut pengakuan beliau, dalam pemilihan pendapat dari ulama madzhab yang berbeda, beliau biasanya mendahulukan pendapat Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, kemudian baru pendapat ulama-ulama tahqiq muta’akhirin madzhab Syafi’i yang lain. (hlm. 49-50)


Sistematika Penulisan

Secara metodologi, kitab Fathul Mu’in ini sama dengan kitab-kitab fan fiqih lainnya. Namun, dalam segi sistematika penyusunannya, kitab ini sedikit berbeda dengan kitab lain yang menjadi keunikan tersendiri baginya. 


Hal ini terlihat mencolok di awal-awal bab. Tidak seperti kitab fikih lain yang diawali dengan pembahasan Thaharah (bersuci), kitab Fathul Mu’in ini dimulai dengan pembahasan Shalat. Walaupun kelihatannya sedikit aneh dan rancu, namun sebenarnya penyusunan yang diawali dengan pembahasan shalat ini malah akan lebih mudah untuk dipahami. Sebab, dengan mengawali pembahasan shalat, secara otomatis juga akan membahas Thaharah, karena shalat tidak akan sah kecuali dengan thaharah.


Dalam pembahasan shalat, kitab ini lebih enak untuk ditelaah, karena dalam penyebutannya tidak diklasifikasikan sesuai dengan fardhu dan sunahnya, melainkan sesuai dengan letak kaifiyyah (tata cara) itu. Metode seperti ini juga diterapkan dalam pembahasan mengenai Haji & Umrah.


Isi Kitab Fathul Mu’in

Terkait isi dari kitab Fathul Mu'in ini sebenarnya tidak jauh brbeda dengan kitab-kitab fikih lain, yaitu membicarakan semua permasalahan fiqhiyyah, mulai dari Ibadah, Mu'amalah, Munakahah dan juga Jinayah dengan klasifikasi di setiap babnya. 

 

Berbeda dengan kitab lain, beberapa pembahasan penting sering kali tidak disebutkan atau kurang sempurna dalam kitab ini. Sayyid Abu Bakar Syatha dalam Hasyiyah I'anatut Thalibin kerap mengkritik hal ini, seperti pada pembahasan ijtihad (I'anah I/45), istihadhah (I'anah I/90), istikhlāf (I'anah II/111), ju'ālah (I'anah III/146), hingga penyebutan yang tidak lengkap. Bahkan, ada topik seperti jual beli buah-buahan (Bai'uts Tsimar) yang tercantum dalam judul, tetapi tidak dibahas isinya.

 

Beberapa topik di atas sengaja tidak dibahas mendalam atau bahkan diabaikan karena suatu alasan. Menurut Sayyid Abu Bakar Syatha dalam Hasyiyah I’anatut Thalibin, hal ini karena topik-topik tersebut dianggap kurang relevan, jarang terjadi, atau tidak banyak dipersoalkan masyarakat pada masa itu.

 

Hal ini tergambar jelas dari jawaban Syekh Zainuddin al-Malibari ketika ditanya mengapa pembahasan haid, termasuk istihadhah, sangat minim. Beliau menjawab, “Laki-laki tidak haid, dan perempuan jarang bertanya.” Pernyataan ini mencerminkan bahwa Fathul Mu’in disusun dengan memprioritaskan kebutuhan praktis masyarakat zamannya, bukan hanya sebagai kajian teoritis.

 

Keunikan lain dari kitab ini adalah adanya “terminal pembahasan,” yakni sisipan poin-poin penting yang ditebalkan dalam teks, serupa dengan terminal transportasi yang menjadi titik awal, pemberhentian, atau penanda krusial. Syekh Zainuddin menyebut terminal ini dengan istilah furu’ (cabang masalah), tanbih (pengingat), faidah (manfaat penting), tatimmah (penyempurna pembahasan), khatimah (penutup pembahasan), dan qa’idah muhimmah (kaidah penting). Dalam kitab ini, tercatat setidaknya 140 furu’, 44 tanbih, 30 faidah, 33 tatimmah, 14 muhimmah, 5 khatimah, dan 3 qa’idah.


Kelebihan Kitab Fathul Mu’in

Kitab ini unggul karena memuat khilaf (perbedaan pendapat) antar ulama, merujuk pada kitab-kitab muktabar ulama tahqiq muta’akhirin mazhab Syafi’i, serta melakukan tarjih (pemilihan pendapat) secara eksplisit maupun implisit. Dalam beberapa kasus, penulis sengaja memberikan isyarat atau redaksi samar, mengasah kecerdasan pembaca untuk memahami lebih dalam.

Selain itu, keunggulan lain kitab ini terletak pada gaya penulisan yang tidak terpaku pada struktur sistematis yang kaku atau konsep teoritis semata. Sebaliknya, Syekh Zainuddin memilih pendekatan aplikatif, dengan sering menyertakan contoh kasus nyata dalam setiap pembahasan. Pendekatan ini memudahkan pembaca memahami dan menerapkan hukum fiqih dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a'lam.


Identitas Kitab

  • Judul: Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmatid Din
  • Penulis: Syekh Zainuddin Ahmad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Malibari (w. 1028 H)
  • Pentaqiq (Editor): ‘Abdur Razaq An-Najm
  • Penerbit: Darul Faiha’
  • Tempat Terbit: Beirut
  • Tahun Terbit: Cetakan Pertama: 1443 H/2022 M.
  • Tebal: 928 halaman


Peresensi: Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman, Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.