Puisi

Kisah Penjual Terompet

NU Online  ·  Selasa, 6 Januari 2015 | 16:03 WIB

Malam berbaring
saat lampu jalan berdiri
mengawasi terompet
yang belum juga terbeli.<>

Matanya yang cekung seakan menampung
lalu-lalang pejalan kaki di sekitar
dan mulutnya gemetar meniupkan
terompet tahun baru: semoga bunyi
yang dikeluarkannya tak nestapa
seperti kesedihan hidupnya itu.

Segelintir angin berkeriap mengiringi
nada-nada yang dipersembahkannya
tanpa basa-basi kepada calon pembeli.

Bulan dan bintang terdiam
seakan waktu berhenti
sebelum jam 12 malam.

Dengan sebuah keyakinan: Tuhan
bersama orang papa
yang tak kehabisan harapan
di pengujung tahun.


Selamat Tahun Baru, Tuhan

Tahun baru, seperti peci beludru
yang bertengger di puncak kepalaku.
Namun, sadarkah Kau, kalau aku haru
pada ruyak ubun-ubunku?

Aku mengingatmu pada sebuah
sujud yang kesepian dan basah
yang dikibarkan kalender dan jam weker
kepada bunyi terompet, kembang api
dan tumpah hujan di pepohonan.
Akhir dan awal dirayakan
secara bersamaan: "Selamat tahun baru, Tuhan!"

Namun, bagiMu itu bukan perayaan yang
mengharukan. Sebab esok terentang
kematian bagi kenangan, dan Kau
menggumam dalam lampau igau;

"Kepada siapa tugas menghidupkan
jenazah kenangan yang teronggok:
di jalanan, taman, selokan, bahkan
tempat peribadatan itu harus diemban?"

"Hm, hanya penyair yang cocok,"
gumamku kemudian.

Jakarta, 2014

Astrajingga, lahir di Cirebon 1989, penggiat di Malam Puisi Jakarta dan Malam Puisi Depok, tinggal di Jakarta Timur.

Terkait

Puisi Lainnya

Lihat Semua