Opini

Regulasi Khutbah Meredam Konflik Pilkada

NU Online  ·  Ahad, 25 Februari 2018 | 06:02 WIB

Oleh Ahmad Halim

Saat ini, 171 daerah (17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten) yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak tahun 2018 telah memasuki tahapan kampanye yang berlangsung sejak 15 Februari hingga 23 Juni 2018.

Pada tahapan kampanye ini tentu pasangan calon kepala daerah (pasalon), partai politik pendukung, tim sukses, juru kampanye akan menyebarkan janji-janji politik guna meraup suara maksimal saat pencoblosan. Kemenangan menjadi target satu-satunya para kontestan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Demi sebuah kemenangan tak jarang calon kepala daerah menyerang calon kepala daerah lainnya dengan negative campaign (kampanye negatif) baik melalui twitter, facebook, istagram, atau brosur dan pamflet yang sengaja disebarkan. Ini sah-sah saja dalam ranah, sebab berbasis data dan fakta yang bisa diverifikasi. Dalam akademik disebut attacking campaign.

Regulasi Lemah
Namun, jika kampanye negatif atau attacking campaign tidak mengurangi elektabilitas sang lawan, black campaign (kampanye hitam) juga siap untuk dijalankan. Seperti di Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 (Pilkada) lalu yakni kasus penghadangan yang dilakukan sejumlah orang atas nama agama. Mereka menolak Pasangan Calon Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Calon Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat.

Pada saat itu Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat sedang melakukan kampanye di Kembangan Utara, Jakarta Barat. Tiba-tiba ada sejumlah orang yang dipimpin oleh NS. Mereka pun berusaha untuk menghadang karena wilayahnya tidak mau “dikotori” oleh sang penista agama.

Meski NS telah ditangkap oleh Subdit Keamanan Negara (Kamneg) Ditreskrimum Polda Metro Jaya dengan dugaan melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Pasal 187 Ayat 4 yang mengatakan “Setiap orang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)”.

Namun faktanya NS bebas dari kurungan penjara. Penghadangan atas nama agama pun masih terus terjadi di sejumlah wilayah dan semakin bervariasi bentuknya. Di sini penulis artikel ini ingin mengatakan bahwa tidak ada efek jera dalam Undang-Undang Pilkada untuk para pelaku pencoreng demokrasi.

Begitu pula dengan 776 spanduk yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta yang bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Mayoritas, spanduk-spanduk tersebut terpampang di masjid-masjid seperti sudah ada yang koordinir dan tersistem dengan rapi.

Pengawas pemilu pun kesulitan dalam menindak spanduk-spanduk tersebut dikarenakan kurang pahamnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) perihal tugasnya dalam menertibkan spanduk-spanduk tersebut. Padahal, sudah diberikan pemahaman berkali-kali dalam sosialisasi bersama stakeholder (Penyelenggara Pemilu, Pemerintah, Kepolisian,  dan TNI).

Langkah Antisipasi
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia sudah menyusun Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada serentak tahun 2018. Ada tiga aspek yang disoroti Pengawas Pemilu, salah satunya adalah kontestasi. Hal ini dikarenakan maraknya politik identitas, penggunaan isu SARA, dan politisasi birokrasi.

Untuk mencegah terjadinya pelanggran, pengawas pemilu mewacanakan untuk memberi materi khutbah kepada seluruh agama yang diakui di Indonesia (agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu) yang berwawasan pencegahan, sosialisasi, pengawasan terkait pilkada serentak. Cara itu dilakukan sebagai sarana agar pilkada tidak dipenuhi politik uang dan politisasi SARA.

Memang sampai tulisan ini dibuat, masih terjadi kontroversi perihal wacana tersebut. Golkar contohnya yang tidak setuju dengan wacana Bawaslu. Golkar justru meminta yang seharusnya diatur adalah tentang model kampanye atau menggunakan instrumen masjid, tempat ibadah, dan acara ibadah untuk kepentingan politik atau kepentingan pemilu.

Kalangan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun sepakat untuk menolak langkah Bawaslu dalam mengantisipasi politik SARA. Menurut DPR, pengaturan soal khutbah merupakan hal yang sangat sensitif sehingga tidak perlu terlalu ditekniskan karena akan membuat situasi semakin panas.

Lalu, ada juga yang pro menyambut baik gagasan Bawaslu, yaitu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Sulton Fatoni. Menurutnya, selama materi khutbah itu untuk kepentingan kampanye memang sepatutnya ada rambu-rambu dan etikanya. Dan hal tersebut sudah semestinya dilakukan.

Pengaturan khutbah adalah langkah yang tepat dan cerdas agar politisasi SARA tidak digunakan dalam pilkada serentak di 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten yang akan memilih kepala daerah. Pasalnya, partai politik di Indonesia ”terbelah” secara horizontal dalam politik aliran yang basisnya kaum sekuler/nasionalis versus kaum religius/agamis.

Jika hal ini dibiarkan, partai politik pasti akan terus menggunakan politisasi SARA guna memenangan calon yang diusung. Oleh karena itu, kita jangan berpikir negatif perihal wacana pengaturan materi khutbah. Ini dilakukan Bawaslu, tidak lain dan tidak bukan untuk mencegah terjadinya keributan atau bahkan hingga pertumpahan darah karena politisasi SARA yang dimainkan partai politik di pilkada serentak tahun 2018.

Penutup
Kita butuh kedewasaan dalam hal menanggapi, berpikir, dan bertindak dari para pemilih karena pada akhirnya karakter partai politik hanya dapat terbentuk ketika menghadapi isu-isu yang berpotensi memecah keutuhan bangsa.

Jangan sampai perpecahan politik memunculkan konflik berdarah. Dan hal itu benar-benar terjadi di sejumlah negara demokrasi di Eropa dan Amerika Serikat terkait agama, ras, kelompok kaya dan kaum pekerja, kaum bangsawan dan rakyat jelata.

Pilkada yang disulut api SARA harus kita padamkan bersama. Menurut Kepala Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Yudi Latif, Pancasila semestinya menjadi titik temu, titik tumpu, dan titik tuju segenap massa dan para calon pemimpin. Pancasila harus menjadi tindakan politik harian kita.

Namun dikarenakan dari lima sila Pancasila, seluruhnya tidak kita amalkan secara simultan. Bawaslu sebagai pengawas pemilu wajib mengatur hal tersebut dalam rangka menjalankan tugas yakni pencegahan.

Oleh karena itu, kita harus sepakat bahwa pilkada serentak 2018 semestinya tidak bermain dengan isu SARA, tapi mengedepankan politik rasional. Politik yang ditegakkan pada upaya luhur mengamalkan Pacasila dengan penuh penghayatan. Atau istilah Bung Karno, pada percepatan terbumikannya politik yang berdaulat, ekonomi berdikari, dan kebudayaan yang berkepribadian.

Bersama rakyat awasi Pemilu. Bersama Bawaslu tegakkan keadilan Pemilu.


Penulis adalah kader PMII DKI Jakarta. Kini ia adalah Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kota Administrasi Jakarta Utara.