Opini

NU Ber-Tamaddun

NU Online  ·  Senin, 29 Januari 2018 | 00:40 WIB

Dalam setiap perhelatan forum musyawarah tertinggi yaitu Muktamar NU, Rais Akbar Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) memberikan khotbah iftitah atau pembuka. Dalam khotbah ini, biasanya KH Hasyim Asy’ari melontarkan gagasan dan sikap organisasi sesuai problem agama, sosial, budaya, bangsa, dan negara yang terjadi kala itu. Di titik ini, NU selalu berupaya merespon kemodernan (tamaddun) dengan prinsip maslahah untuk umat dan bangsa Indonesia.

Semasa hayatnya, praktis Kiai Hasyim hidup dalam kondisi Indonesia yang masih dalam kungkungan penjajahan. Sebab itu, dengan segala ilmu, daya dan upaya yang dimilikinya, kakek Gus Dur tersebut tidak pernah meninggalkan rakyat yang sedang terkoloni. Pesantren yang didirikannya berhasil menjadi wadah pergerakan nasional dan penanaman cinta tanah air bagi para santri.

Begitu juga ketika berhasil mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama bersama para kiai-kiai dari penjuru Nusantara, Kiai Hasyim senantiasa meletakkan gerak langkah organisasi untuk membebaskan bangsa Indonesia dari ketidakperikemanusiaan penjajah. Kepiawaiannya meletakkan konsep beragama dan bernegara mampu mendorong semangat juang rakyat Indonesia.

Di antara sikap dan gagasan Kiai Hasyim selalu ia lontarkan ketika NU menggelar Muktamar dan musyawarah-musyawarah lain. Seperti pada perhelatan Muktamar ke-14 NU tahun 1939 di Magelang, Jawa Tengah. Ia begitu mengungkapkan rasa syukurnya ketika suara adzan dan lonceng gereja bersahut-sahutan di kota tersebut. Hal ini menunjukkan benih-benih persatuan dan keharmonisan rakyat meski berbeda keyakinan. Kiai Hasyim Asy’ari mengatakan:

“Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata betapa besarnya rasa syukur kepada Allah SWT atas terselenggaranya Muktamar NU ke-14 di kota yang suara adzan masjid-masjidnya bersahut-sahutan dengan lonceng gereja. Benar-benar dirasakan bahwa muktamar ini merupakan suatu rahmat penuh berkah dan menjadi pancaran syiar Islam yang cemerlang.” (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013)

Namun, poin penting atas keberagamaan agama tersebut, Kiai Hasyim memberikan semacam warning kepada peserta muktamar (muktamirin) khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya akan intrik penjajah Hindia Belanda untuk memarjinalkan Islam dan memberi angin segar kepada para misionaris. Dengan salah satu cara itulah bangsa Indonesia yang dari awal sudah majemuk bisa diadu domba atas nama keyakinan agama.

Kiai Hasyim mengungkapkan, Muktamar ke-14 ini bertepatan ramainya golongan Kristen di Indonesia yang dipimpin oleh Schapper dan Kraemer menuntut kepada penjajah Hindia Belanda agar pasal 177 dari Indische Staatsregeling (Kitab undang-undang ketat pemerintahan Hindia Belanda) dicabut.

Pasal tersebut menetapkan suatu ketentuan bagi para pendeta dan pastor yang akan melakukan propaganda Kristen di luar daerah harus meminta izin kepada pemerintah. Adapun pasal 178 dari kitab undang-undang tersebut menetapkan bahwa para guru yang bukan agama Kristen harus mendapat izin pemerintah daerah.

Ide yang dilontarkan Schapper dan Kraemer tersebut menurut Kiai Hasyim tidak memenuhi asas yuridis atau hukum. Karena semua pemeluk agama mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Tetapi, prosedur hukum tersebut coba ditentang oleh Schapper dan Kreamer agar golongan penjajah bebas dalam melancarkan misinya ke berbagai pelosok daerah.

Kiai Hasyim dan para kiai lain berupaya kuat agar propaganda penjajah melalui upaya misionaris ini bisa ditangkal karena Schapper dan Kreamer menuntut pencabutan pasal 177 yang artinya misionaris kolonial bisa lebih leluasa dan merdeka menancapkan keyakinannya ke wilayah yang lebih luas di desa-desa.

Upaya misionaris ini ditentang Kiai Hasyim sebab masih melekat dan satu paket dengan misi penjajahan itu sendiri. Namun, mengenai perbedaan keyakinan dan agama di tanah air, Kiai Hasyim tidak mempersoalkan karena Indonesia terlahir dalam kemajemukan agama, suku, bangsa, etnis, dan ras.

Penguatan syariat dalam NU

Kiai Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar dan KH Mahfudz Siddiq sebagai Presiden Tanfidziyah Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) dalam perhelatan Muktamar ke-14 tersebut mengajak para muktamirin untuk bermawas diri atas keadaan umat Islam Indonesia. Kiai Mahfudz Siddiq memaparkan, dalam diri umat Islam di Indonesia ada gejala ismun bila musamma, namanya umat Islam, tetapi berapa banyak yang mengamalkan syariat Islam?

Dari kondisi tersebut, NU menginginkan umat Islam menjalankan syariat atas kehendak umat Islam sendiri, bukan atas kehendak siapa-siapa. Kehendak ini harus menjadi cita-cita agar muncul keikhlasan berislam. Di sinilah arti penting dari NU dilahirkan dengan tujuan menegakkan syariat. Bukan menegakkan syariat dalam arti mendirikan negara Islam, tetapi nilai-nilai Islam ditegakkan dalam perilaku sehingga terwujud akhlaqul karimah.

Syariat yang penuh dengan keikhlasan menurut Kiai Mahfudz Siddiq bisa memunculkan kesadaran akan kecintaan terhadap tanah air. Apalagi Indonesia kala itu masih dalam kondisi terjajah. Sebab itu, memperkuat syariat seiring dan sejurus dengan upaya mempertebal nasionalisme. Di titik ini, hubbul wathon minal iman yang dikonsep oleh Kiai Hasyim Asy’ari menemukan relevansinya dalam upaya membebaskan diri dari penjajah dan mengusir mereka dari tanah air tercinta.

Tamaddun NU

Di forum Muktamar ke-14, NU juga membahas persoalan kemodernan (tamaddun). NU berupaya tetap merespon perkembangan zaman dengan positif dan optimisme. Terhadap komodernan, NU mengambil sikap hati-hati. Jika kemodernan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Islam, NU menolak dengan tegas dan berusaha tidak menempuh kemodernan semacam itu.

Akan tetapi, terhadap kemodernan yang dapat digunakan untuk menjembatani tercapainya maksud dan tujuan NU, kemodernan tersebut dapat diterima. Contoh kecil microphone (pengeras suara) yang saat itu menimbulkan persoalan khilafiyah, dapat digunakan sebagai jembatan dakwah mengajak orang banyak kepada Islam dan sebagainya.

Kiai Mahfudz Siddiq dalam Muktamar ke-14 tersebut memahami betul bahwa para ulama sudah mengerti benar akan perkembangan zaman dan kehendaknya. Bukan berarti ulama NU mengikuti perkembangan kehendak zaman secara mentah-mentah dan apa adanya, melainkan para ulama telah mengadakan imbangan jalan selaras dengan syariat Islam yang memang cocok di segala zaman.

Respon NU untuk menyikapi perkembangan zaman itulah lahir prinsip al-muhafadzah alal qadhimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah (melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Yang dimaksud syariat Islam cocok untuk segala zaman adalah prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin, yakni nilai-nilai universalitas Islam.

Dakwah Islam yang merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek, ramah bukan marah, dan prinsip keterbukaan (inklusif) pemikiran dalam menyikapi keberagaman sebagai modal membangun bangsa dan negara yang damai, baldatun thoyyibatun warabbun ghofur.

Di situlah arti penting dari kebangkitan para ulama yang terwadahi dalam organisasi seperti NU. Jika dulu para kiai dan ulama hanya bertindak sebagai bapaknya para santri, setelah bergerak secara terorganisir dalam NU, posisi dan peran ulama jauh lebih besar, yakni menjadi bapaknya umat.

Untuk para generasi muda NU, kebangkitan ulama ini dapat dijadikan prinsip agar sikap, gerak, dan langkah sesuai dengan cita-cita para ulama dalam mewujudkan agama yang baik dan beradab, serta bangsa dan negara yang damai. Bahkan, dari cita-cita ini, NU menjelma bukan hanya menjadi organisasi yang hanya mempunyai peran luar biasa di tingkat lokal, tetapi juga turut mengambil sikap aktif dalam mewujudkan perdamaian global. Wallahu a’lam bisshowab...

(Fathoni Ahmad)