Meniti Jalan Terang di Tengah Reruntuhan Reformasi dan Gelombang Skeptisisme
NU Online · Selasa, 3 Juni 2025 | 10:25 WIB
Acep Jamaludin
Kolomnis
Di tengah gelombang perubahan zaman yang cepat dan penuh turbulensi dari krisis demokrasi liberal, bangkitnya populisme global, disrupsi digital, dan kemunculan subkultur baru, semangat reformasi justru kian memudar.
Posisi organisasi mahasiswa semacam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berdiri di sebuah simpang jalan sejarah. Di hadapannya terbentang dua pilihan: tetap menjadi organisasi kader biasa atau menjelma menjadi organisasi penghasil pemimpin zaman pemimpin populis yang berkarakter, progresif, teknokratis, dan berakar pada nilai-nilai Aswaja.
Tulisan ini akan menelusuri lima lapisan tantangan utama generasi muda hari ini dari kegagalan demokrasi liberal hingga transformasi digital dan bagaimana PMII dapat membangun sistem kaderisasi yang menjawab zaman serta mencetak pemimpin masa depan.
Baca Juga
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Demokrasi Liberal dan Populisme Konservatif: Menanggapi Retaknya Representasi dan Kegagalan Reformasi
Demokrasi liberal yang diagungkan sebagai sistem yang ideal kini mengalami kehancuran dari dalam. Seperti dikatakan oleh Chantal Mouffe, demokrasi liberal menderita krisis karena ia memisahkan demokrasi dari “dimensi agonistik” yakni ruang pertarungan ide dan konflik kepentingan yang sah.
Ketika konflik ditekan demi konsensus elitis, maka populisme baik yang kanan maupun kiri muncul sebagai bentuk koreksi. Namun, populisme konservatif yang naik hari ini justru memanipulasi emosi dan identitas demi kekuasaan, bukan perubahan. Ini tanda nyata dari gagalnya reformasi membentuk generasi hebat dalam kemajuan sebuah peradaban.
PMII tidak boleh larut dalam populisme konservatif yang anti-intelektual dan anti-minoritas. Justru sebaliknya: PMII harus membentuk populisme progresif, yang dalam bahasa Ernesto Laclau, menyatukan tuntutan-tuntutan rakyat dalam rantai artikulasi politik yang baru.
Inilah bentuk politik yang tidak elitis, tetapi juga tidak menyerah pada retorika kosong. Inilah populisme yang bertumpu pada nilai-nilai keadilan sosial dan kesetaraan.
Krisis representasi ini tidak hanya hadir dalam bentuk populisme elite, tapi juga dalam bentuk gerakan akar rumput yang tidak percaya lagi pada institusi.
Gerakan Hitam-Hitam, Anarko Digital, dan Krisis Representasi Baru
Di berbagai kota besar dunia seperti Hong Kong, Santiago, Paris, hingga Jakarta dan Bandung muncul generasi baru gerakan: berpakaian hitam, tanpa struktur, anti-partai, dan sangat digital.
Mereka disebut “gerakan tanpa kepala”, seperti dijelaskan Manuel Castells dalam bukunya Networks of Outrage and Hope, kekuatan kolektif lahir dari jaringan, bukan hierarki. Gerakan ini lahir dari frustrasi: terhadap lembaga, representasi formal, dan politik tua.
PMII harus membaca ini sebagai sinyal, bukan ancaman. Ketika generasi muda menolak struktur, kita harus memperbarui struktur kita. Ketika mereka bicara dalam meme dan ironi, kita harus mampu bicara dengan narasi digital yang cerdas dan tajam. Bukan menghardik, tetapi merangkul dan mentransformasikan.
Jika gerakan massa mengekspresikan frustrasi lewat jalanan, generasi digital menyalurkannya lewat layar. Maka, medan perjuangan berpindah: dari jalan ke timeline.
Media Sosial: Medan Baru Perang Wacana
Di era disrupsi, politik tidak hanya terjadi di jalan atau parlemen, tetapi di timeline dan algoritma. Jodi Dean, dalam konsep communicative capitalism, menyebut bagaimana media sosial menciptakan ilusi partisipasi, padahal seringkali hanya memperkuat logika kapitalisme. PMII tidak boleh jatuh dalam jebakan ini: ramai, tetapi kosong.
Kaderisasi harus memasukkan literasi politik digital sebagai kurikulum inti: bagaimana membangun narasi, membedah algoritma, dan memanfaatkan media sosial sebagai alat perjuangan, bukan sekadar eksistensi.
Namun, perjuangan digital pun menghadapi tantangan baru: terpecah dalam ribuan suara, tanpa koordinasi dan strategi kolektif.
Fragmentasi Gerakan dan Konsolidasi Progresif
Teori Gramsci tentang hegemoni relevan di sini: kekuatan tidak hanya berada di tangan negara, tetapi juga dalam dominasi ide dan budaya. Gerakan progresif gagal bukan karena tidak benar, tapi karena tidak hegemonik. Ia tercerai-berai, terjebak dalam isu masing-masing.
PMII sebagai organisasi yang punya akar keislaman dan jaringan struktural bisa menjadi blok historis (dalam bahasa Gramsci), yakni simpul gerakan lintas isu yang menyatukan buruh, perempuan, mahasiswa, petani, dan kaum marjinal lainnya. Tapi ini hanya bisa dilakukan jika kader PMII dibentuk tidak hanya loyal, tapi berpikir strategis, mampu menjahit narasi dan jaringan lintas kelas.
Kita tidak butuh hanya loyalis; kita butuh penggerak. Mereka yang tak hanya patuh, tetapi mampu membaca peta, mengidentifikasi aktor, dan menyusun strategi jangka panjang. Kader yang tahu kapan harus bicara, kapan membangun koalisi, dan kapan mendesain gerakan yang tahan lama. Loyalitas penting, tapi hanya bermanfaat jika ditopang oleh kecerdasan strategi.
PMII juga perlu menyadari bahwa perubahan besar membutuhkan sinergi dengan elemen lain di luar dirinya. Karena itu, pendekatan kaderisasi perlu diarahkan untuk mencetak kader yang tidak hanya nyaman dalam lingkaran internal, tapi juga mampu menjadi jembatan antar-kelompok, lintas agama, kelas sosial, dan kepentingan gerakan.
Kader PMII harus menjadi simpul perekat: menjahit koalisi progresif untuk perubahan yang lebih luas. Jika tantangannya begitu kompleks, maka jawabannya harus sistemik: dimulai dari akar terdalam gerakan, yakni kaderisasi.
Sistem Kaderisasi Abad ke-21: Menjawab Dunia yang Berubah
PMII tidak bisa menjawab tantangan global dengan kurikulum kaderisasi yang stagnan. Dibutuhkan pembaruan sistemik yang menyatukan empat orientasi utama kaderisasi:
• Ideologis dan filsafati. Menghidupkan kembali semangat emansipasi intelektual seperti dikembangkan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed: mendidik bukan untuk menjadi pengikut, tapi pelopor perubahan.
• Teknokratis dan strategis. Kader harus paham kebijakan, data, anggaran, dan sistem administrasi publik. Dalam dunia yang teknokratik, idealisme saja tidak cukup kita butuh kemampuan teknis untuk memimpin dan memengaruhi kebijakan.
• Digital dan kultural. Membentuk cyber activist Aswaja yang bisa membuat TikTok edukatif, thread advokasi, podcast keislaman kritis, hingga desain kampanye sosial. Ini bukan soal gaya, ini soal medan perjuangan baru.
• Populis dan progresif. Melatih kader agar menjadi pemimpin rakyat bukan hanya di kampus, tapi juga di desa, kota, dan parlemen. Populisme progresif PMII harus dibentuk dari bawah: membela wong cilik dengan bahasa mereka, bukan jargon elite.
PMII dan Misi Strategis Kaderisasi: Mencetak Pemimpin Zaman
Dengan desain kaderisasi seperti itu, PMII bisa dan harus mencetak pemimpin yang:
• Populis, karena ia hadir bersama rakyat, dan dipercaya rakyat.
• Berkarakter, karena ia ditempa nilai-nilai Aswaja: tawassuth, tawazun, tasamuh.
• Teknokratis, karena ia paham birokrasi dan kebijakan publik.
• Progresif, karena ia siap melawan ketidakadilan struktural.
• Berakar Aswaja, karena ia menjaga etika dan keadaban dalam setiap langkah perjuangan. Sebagaimana dikatakan Gus Dur: “Politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, tapi soal memperjuangkan nilai dan keberpihakan.”
Dari Kaderisasi PMII ke Perubahan Sejarah dan Pembentukan Generasi Hebat
Sejarah bangsa tidak pernah ditulis oleh mereka yang diam, tetapi oleh mereka yang berani membayangkan masa depan dan menjadikannya mungkin. PMII hari ini bukan sekadar bertahan, ia ditantang untuk menulis bab berikutnya dalam sejarah kepemimpinan Indonesia.
Sistem kaderisasi PMII hari ini adalah fondasi Indonesia masa depan. Maka, ia harus kuat, strategis, ideologis, dan penuh cinta kepada rakyat.
Acep Jamaludin, Ketua Kaderisasi Nasional Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Terpopuler
1
Niat Puasa Arafah untuk Kamis, 5 Juni 2025, Raih Keutamaan Dihapus Dosa
2
Laksanakan Puasa Tarwiyah Lusa, Berikut Dalil, Niat, dan Faedahnya
3
Menggabungkan Qadha Ramadhan dengan Puasa Tarwiyah dan Arafah, Bolehkah?
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Ketentuan, Doa, dan Amalan Sunnah Saat Wukuf di Arafah
Terkini
Lihat Semua