Opini

Imlek dan Spirit Kemanusiaan Gus Dur

NU Online  ·  Jumat, 16 Februari 2018 | 07:31 WIB

Oleh Rif'atuz Zuhro

Perayaan Tahun Baru Imlek bagi etnis Tionghoa tidak bisa dilepaskan dari sosok mantan Presiden RI keempat KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur.

Berkat tangan (kebijakan) baiknya, ia menyetarakan etnis Tionghoa seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk mengakui agama Konghucu sebagai agama resmi yang diakui di Indonesia.

Dengan membuat Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur telah menghapus keputusan Presiden Soeharto tahun 1967 yang melakukan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa pada saat itu tidak boleh merepresentasikan kegiatan keagamaan di halayak umum, namun hanya diperbolehkan dalam sekup kecil saja (individu dan keluarga).

Oleh karena itu, ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden Gus Dur menetapkan Tahun Baru Imlek adalah hari libur yang fluktuatif. Libur boleh, tidak libur juga boleh.

Selain itu, untuk meyakinkan bahwa tidak salah menjadi Tionghoa dan tidak ada salahnya menjadi Tionghoa, Gus Dur pernah mengaku bahwa ia merupakan keturunan Tionghoa.

Berdasarkan cerita Gus Dur, yang pernah dilansir Kompas, ia menyebut bahwa ia merupakan keturunan dari Putri Cempa yang menikah dengan raja di Indonesia dan memiliki putra yang bernama Tan Eng Hwan. Tan Eng Hwan inilah yang kemudian dikenal sebagai Raden Patah.

Namun dengan santainya, Gus Dur menghela dengan humornya yang mengatakan bahwa Tionghoanya sudah tercampur dengan Arab dan India.

Tidaklah heran bila etnis Tionghoa, umat Konghucu merasa dekat dengan Gus Dur hingga Gus Dur disemati gelar, Bapak Tionghoa Indonesia pada tahun 2004 di Kelenteng Tay Kek Sie. Gus Dur hadir dalam penobatan itu dengan pakaian lengkap menggunakan baju cheongsam, bisa dibayangkan bahagianya mereka?

Bahkan, ketika penulis mengikuti pertemuan lintas agama di Pesantren Tebuireng beberapa bulan silam, umat Konghucu sangat menghargai Gus Dur dan mengatakan, "Apabila Gus Dur tidak diterima di surganya Islam, maka Gus Dur akan diterima di surganya Konghucu," ungkap salah satu tokoh umat Konghucu dengan disambut meriahnya tepuk tangan pada forum tersebut.

Dalam kajian-kajian yang diampu oleh Ketua Lesbumi NU Agus Sunyoto, juga sering menyinggung bahwa etnis Tionghoa telah ribuan tahun menghuni Nusantara, bahkan sebelum banyak orang asli Nusantara memeluk ajaran Islam, lebih dulu etnis Tionghoa memeluk Islam di daerah daratan pantai utara Jawa. Jadi, Tionghoa juga pribumi sebab faktanya, ras-ras di Nusantara adalah perkawinan ras-ras yang beragam.

Dari sini kita bisa belajar, berbenah bahwa Gus Dur telah memulai dan mengajarkan kita tentang memanusiakan manusia tanpa melihat suku, agama, ras, budaya, saat ini tinggal bagaimana kita melanjutkan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh Gus Dur.

Maka tidak heran, saat perayaan tahun baru Imlek, tidak sedikit orang yang akan mengingat Gus Dur, tidak sedikit orang yang berbicara tentang Gus Dur. Sebaliknya, ketika mengingat Gus Dur tidak sedikit yang akan menyertakan simbol-simbol Tionghoa untuk mengingat Gus Dur. Seperti perayaan Haul Gus Dur tidak jarang juga menggelar tari Barongsai, dan berpakaian serba merah menyala.

Barangkali inilah semangat menyatu karena perbedaan, sebab semua manusia adalah saudara, saudara dalam kemanusiaan (ukhuwah basyariyah), begitu kira-kira.

Jadi tidak benar, bila hanya karena segelintir pihak yang mengendapkan isu basi lalu menaikkan lagi soal politik identitas (membawa agama, ras, budaya) pihak-pihak lainnya menjadi kecil, ringan dan sendirian.

Anak-anak ideologis Gus Dur juga akan terus menggemakan ajaran-ajaran kebaikan untuk kemanusiaan. Masih banyak anak bangsa yang waras untuk melihat kerakusan yang mengorbankan kemanusiaan dan menumbalkan keagamaan.

Imlek saat ini, penting bagi kita semua untuk merawat apa yang telah diajarkan sang guru bangsa, menjaga kedewasaan dalam hidup beragama, berbangsa, dan bernegara. Justru kematangan beragama dibuktikan dengan kita bisa turut berbahagia ketika mereka juga bahagia. Selamat tahun baru imlek 2569. Wallahu a'lam bisshowab.
 
Penulis adalah Mahasiswi asal Jombang, Jawa Timur.