Oleh : KH Husein Muhammad
Kiai Haji Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (1937-2014) adalah satu di antara sosok ulama (alim) terkemuka Indonesia zaman ini yang memberikan apresiasi tinggi dan respon positif terhadap gagasan fiqh kontekstual.
<>Bahkan boleh jadi beliau adalah pelopor, di samping Gus Dur, untuk hal ini. Kiai Sahal seperti sangat gelisah jika fiqh harus mengalami kondisi stagnan atau tidak mampu mengatasi suatu masalah social, kebangsaan dan kemanusiaan. Sebab ini akan berarti bahwa agama menjadi tidak berfungsi solutif atas problematika hidup dan kehidupan manusia. Dengan kapasitas ilmunya yang sangat luas dan mendalam beliau mengajak orang lain untuk bergerak ke arah penyelesaian dan pemecahan masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya, dan bukan hanya semata-mata menjawab masalah sebagaimana yang tertuang dalam khazanah-khazanah yang dipercaya (muātabarah), tanpa mempertimbangkan relevansi dan efektifitasnya untuk ruang dan waktu kni dan di sini. Sejumlah tulisannya tentang fiqh seperti dalam bukunya yang terkenal āNuansa Fiqh Sosialā, memperlihatkan dengan jelas bagaimana beliau mampu mengetengahkan kajian fiqh dengan pendekatan kontekstual. Saya kira agak sulit bagi kita menemukan sosok ulama pesantren atau Kiai yang mempunyai pikiran demikian maju dan boleh jadi bisa disebut progresif.
Ā
Lebih dari sekedar mampu menjawab dengan āibaratā (teks) fiqh dalam Kitab Kuning, Kiai Sahal adalah seorang pemikir fiqh (ushuli), yakni ahli dalam metodologi fiqh. Ini berkat keahliannya tentang kaedah-kaedah fiqh dan ushul fiqh (teori-teori fiqh/hukum syariāah). Bahkan sudah sejak lama Kiai Sahal telah menulis kaedah-kaedah fiqh dalam bahasa Arab yang sangat bagus, layaknya orang Arab. Beberapa di antaranya : āAl-Qawaāid al Fiqhiyyah al-Hajiniyyahā dan āThariqah al-Hushul āala Ghayah al-Wushulā. Kumpulan pemikirannya yang dituangkan dalam sejumlah buku yang ditulisnya, terutama āNuansa Fiqh Sosialā jelas memberikan kesan yang mendalam betapa kentalnya kaedah fiqh di belakang pemikiran beliau. Sering, setiap jawaban yang disampaikan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan masyarakat, diselipkan dasar-dasar fiqhnya. Ia menguasai dengan fasih kitab-kitab kuning klasik.
Gagasan-Gagasan Fiqh Kiai Sahal
Hal yang paling menarik dari pemikiran Kiai Sahal adalah pandangannya tentang fiqh sebagai kumpulan pikiran ulama yang sejatinya dibuat untuk menciptakan moralitas kemanusiaan. Kiai Sahal menyebutnya āFiqh sebagai Etika Sosial, bukan sebagai hukum negaraā. Inilah pikiran brilian Kiai Sahal yang membuatnya pantas memperoleh penghargaan akademis bergengsi : Doktor, dari UIN Jakarta, meski beliau tak memintanya. Usai orasi doktoralnya, Gus Dur segera memberikan apresiasi kepada pamannya itu. Gus Dur menghendaki paradigm ini diikuti para ulama lain. Sangatlah disayangkan jika kemudianĀ tidak banyak orang yang bisa memahami gagasan dan pemikiran-pemikiran yang ditawarkan Rois āAm Syuriyah PBNU ini.Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā
Gagasan Kiai Sahal tentang Fiqh sebagai Etika Sosial merupakan puncak dari serangkaian permenungannya yang mendalam atas terma āFiqh Sosialā. Melalui tesis ini Kiai Sahal ingin mengembalikan makna awal dari kata itu. Imam Abu Hanifah (w. 150 H), pendiri mazhab fiqh awal, mendefinisikan fiqh sebagai āMaārifah al-Nafs Ma Laha wa Ma āAlaihaā. Pengetahuan diri tentang apa yang baik dan apa yang buruk, atauĀ tentang apa yang memberi manfaat bagi manusia dan apa yang merugikannya. Sementara Imam Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H) mendefinisikannya sebagai : āpengetahuan tentang berbagai petunjuk Tuhan yang mengantarkan manusia mengenal Tuhan, Ke-Esaan dan Sifat-sifat-Nya, para Nabi, tentangĀ hak dan kewajiban manusia, tentang etika dan apa saja yang diperlukan oleh manusia sebagai hamba-Nya, dan lain-lainā.Ā Ā Kedua definisi fiqh ini memperlihatkan betapa luasnya kandungan fiqh. Akan tetap dalam perjalanan sejarahnya ia kemudian mengalami reduksi sebagai āal-Ilm bi al-Ahkam al-Syarāiyyah al-āamaliyyah al-Muktasab min adillatiha al-tafshiliyyahā (pengetahuan tentang hukum-hukum agama yang praktis yang diproses secara intelektual dari petunjuk-petunjuk umum teks agama yang terkait). Sesudah abad ke IV H, yang kemudian dikenal sebagai āashr al-Inhithathā (periode terpuruk), pengertian fiqh semakin menyempit menjadi hanya sebagai āproduk pikiran manusia ahli hukum (mujtahid), terutama mazhab empat, tentang hukum halal dan haram. Inilah yang kemudian dipahami secara mainstream dalam masyarakat muslim. Kiai Sahal mengkritik tajam pemahaman umum ini. Pengertian fiqh seperti ini telah mengantarkan fiqh sebagai kumpulan hukum yang kaku dan stagnan. Serba hitam-putih. Proses pembakuan dan pengajiannya yang massif dan berabad, serta larangan berijtihad, pada gilirannya, telah membawa produk hukum para mujtahid tersebut seakan-akan sebagai hukum Tuhan itu sendiri dengan seluruh sakralitasnya. Kritik-kritik atasnya menjadi tabu dan kadang dianggap sebagai menentang hukum Tuhan. Terhadap cara pandang seperti ini, Kiai Sahal mengatakan : āSuatu pandangan yang bukan saja tidak proporsional bagi fiqh itu sendiri, bahkan menurunkan derajat Allah dan sunnah Rasul sebagai sumber hukum yang sepenuhnya universalā (Fiqh Sosial, hlm. Xxix).
Berangkat dari kritik terhadap cara pandangan mainstream atas fiqh di atas, Kiai Sahal beberapa kali mengingatkan sebuah kata penting dari definisi di atas. Yakni :āal-Muktasabā. Kata ini berarti diusahakan atau diproses secara intelektual cerdas dan kritis. Dan ini, dalam pandangan Ketua Umum MUI sejak tahun 2000 ini meniscayakanĀ pengamatan atas realitas social yang senantiasa berkembang dan berubah. Pembacaan terhadap realitas social akan mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa pengembangan fiqh merupakan sesuatu yang niscaya. Fiqh dengan begitu tidak boleh menjadi produk pemikiran yang kehilangan watak elastisitasnya dan kontekstualitasnya. Ia harus menjadi cara masyarakat menemukan solusi atas problematika hidup dan kehidupan yang terus berubah. Dan Kiai Sahal mengajak kita untuk memahami bahwa mazhab-mazhab fiqh Islam sesungguhnya tidak lain hanyalah refleksi atas perkembangan kehidupan social masyarakat di dunia Islam (anna al-madzahib al-Islamiyyah Laisat Siwa Ināikas li Tathawwur al-Hayah al-Ijtimaāiyyah fi al-āalam al-Islamyā).
Kiai Sahal mengatakan : āTeks Al-Qurāan maupun hadits sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai masalahnyaā. (hlm. Xxv). Dengat kalimat ini Kiai Sahal seakan ingin mengatakan : āLakukan Ijtihadā, āLakukan Tajdidā, atau paling tidak āLakukan pendekatan Fiqh Manhajiā (istinbath fiqh dengan pendekatan metodologis). Ā
Pernyataan Kiai Sahal tersebut mengingatkan kita pada pernyataan teolog besar, dan penulis buku terkenal ; āal-Milal wa al-Nihalā (Agama-agama dan Sekte-sekte, Al-Syihristani (w. 548 h)Ā :
Ā
Ų§ŁŁŁŁŲµŁŁŲµŁ Ų„ŁŲ°ŁŲ§ ŁŁŲ§ŁŁŲŖŁ Ł
ŁŲŖŁŁŁŲ§ŁŁŁŁŲ©Ł ŁŁŲ§ŁŁŁŁŁŁŲ§Ų¦ŁŲ¹Ł ŲŗŁŁŁŲ±Ł Ł
ŁŲŖŁŁŁŲ§ŁŁŁŁŲ©Ł ŁŁŁ
ŁŲ§ ŁŁŲ§ ŁŁŲŖŁŁŁŲ§ŁŁŲ§ ŁŁŲ§ ŁŁŲ¶ŁŲØŁŲ·ŁŁŁ Ł
ŁŲ§ ŁŁŲŖŁŁŁŲ§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁŁ
Ł ŁŁŲ·ŁŲ¹Ų§Ł Ų§ŁŁŁŁ Ų§ŁŁŁŲ§Ų¬ŁŲŖŁŁŁŲ§ŲÆŁ ŁŁŲ§ŁŁŁŁŁŁŲ§Ų³Ł ŁŁŲ§Ų¬ŁŲØŁ Ų§ŁŁŲ§ŁŲ¹ŁŲŖŁŲØŁŲ§Ų± ŲŁŲŖŁŁŁ ŁŁŁŁŁŁŁ ŲØŁŲµŁŲÆŁŲÆŁ ŁŁŁŁŁ ŲŁŲ§ŲÆŁŲ«ŁŲ©Ł Ų„ŁŲ¬ŁŲŖŁŁŁŲ§ŲÆŁ
āKejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan masyarakat adalah hal-hal yang tidak dapat dihitung. Adalah pasti bahwa tidak setiap kejadian selalu ada teks (nash). Jika teks-teks adalah terbatas sementara peristiwa kehidupan tidak terbatas, dan yang terbatas tidak mungkin menampung yang tak terbatas, maka upaya-upaya kreatif intelektual (ijtihad) dan analogi adalah niscaya adanya, sehingga setiap peristiwa ada keputusan hukum yang jelasā.
Ini semua mengarahkan kita untuk melakukan ijtihad dan pembaruan (tajdid) yang terus menerus. Kiai Sahal mengutip judul kitab Imam al-Suyuthi : āAl-Radd āala Man Akhlada Ila al-Ardh wa Jahila bi Anna al-Ijtihad fi Kulli āAshr Fardhā (Kritik terhadap orang-orang yang menghendaki kemapanan dan tak mengerti bahwa Ijtihad adalah keniscayaan pada setiap periode sejarah manusia).Ā Ā Ā
Fiqh sebagai Etika Sosial, bukan sebagai hukum negara
Desakan Kiai Sahal tentang keniscayaan proses āpembaruanā atau āpengembanganā (dalam bahasa yang dinilainya lebih tepat) fiqh sehingga melahirkan produk yang relevan dengan zaman yang berubah (rasionable dan applicable), mengantarkannya pada gagasan untuk mengambil basis-basis fundamental kebijakan public/politik. Ia adalah āKemaslahatan social/publikā.Ā Kemaslahatan social/publik yang dimaksudkan dalam hal ini tidak terbatas pada kerangka hukum ādar al-mafasid wa jalb al-mashalihā (menghindarkan kerusakan dan membawa kebaikan) belaka, melainkan pada perwujudan kehidupan social yang menghargai hak-hak dasar manusia. Kiai Sahal berkali-kali mengemukakan, baik dalam buku Nuansa Fiqh Sosial ini maupun tulisannya yang lain, tentang perlunya fiqh dan kebijakan public-politik mendasarkan diri atasāMaqashid al-Syariāahā yang dielaborasi secara ringkas dalam ālima hak-hak dasar manusiaā (al-Ushul al-Khamsah). Yakni āhifzh al-dinā (perlindungan atas keyakinan), āhifzh al-nafsā (perlindungan atas hak hidup), āhifzh al-āaqlā (perlindungan atas akal, hak berpikir dan berekspresi), āhifzh al-naslā (perlindungan atas hak reproduksi) dan āhifz al-maalā (perlindungan atas hak milik). Inilah prinsip-prinsip dasar kemanusiaan universal yang sudah lama dicanangkan oleh Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam al-Mustashfa min āIlm al-Ushul, dan dikembangkan lebih luas oleh Abu Ishaq Al-Syathibi (w. 790 H), mujtahid dari Granada, dalam āal-Muwafaqat fi Ushul al-Syariāahā. Dr. Abd Allah Darraz, cendekiawan dan filsuf Muslim kontemporer dari Mesir, menyatakan bahwa lima prinsip kemanusiaan tersebut merupakan dasar bagi kesejahteraan bangsa yang diyakini semua agama. Tanpanya kesejahteraan dunia tidak akan terwjud dan keselamatan di akhirat tidak akan diperoleh. Ā
Dalam kerangka gagasan di atas pula, Kiai Sahal merasa perlu untuk menggugat terma āillatā (causa/alasan logis) dalam teoriĀ āQiyasā (analogi). āIllat adalah titik siklus hukum. (Al-Hukm Yadur maāa āIllatihi Wujudan wa āAdaman). āIllatā dalam teori Imam al-Syafiāi dirumuskan sebagai : āWashf Zhahir Mundhabithā (indikator yang jelas dan terukur). Definisi ini berpotensi bahkan acap menghasilkan kesimpulan legal formal dan procedural belaka, tetapi tidak adil. Kiai Sahal mencontohkan āQashr Shalatā (shalat yang diringkas). Ia dibolehkan. Illatnya adalah āsafarā (bepergian) jauh (sekitar 85 km). Jika ini (safar) yang dijadikan ratio legisnya, maka akan bisa melahirkan ketidakadilan. Orang kaya yang bepergian naik pesawat udara dari Jakarta ke Surabaya boleh meringkas jumlah rakaāat shalat Zhuhur menjadi dua rakaāat saja, dan dia juga boleh berbuka puasa. Sementara, orang miskin yang bepergian naik sepeda ontel dari Menteng ke Ciputat, berjarak tempuh sekitar 30 km yang melelahkan, tidak boleh qashar dan tidak boleh berbuka puasa.āMasyaqqahā (kepayahan, lelah) tidak bisa dijadikan alasan hukum, karena sangat relative dan tidak bisa diukur. Masyaqqah, menurut teori ini hanyalah hikmah/manfaat yang diperoleh saja. Kiai Sahal mungkin gelisah dengan cara pandang legal formal dan procedural seperti ini, meski sungguh-sungguh memahaminya. Beliau berharap agar factor kemaslahatan menjadi pertimbangan pemikiran para pengkaji fiqh. Kiai Sahal mengatakan : āDari uraian di atas, kita melihat suatu kebutuhan akan pergeseran paradigm fiqh; yaitu pergeseran dari fiqh yang formalistic menjadi fiqh yang etik. Secara metodologis hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hikmah ke dalam illat hukumā.(Fiqh Social, hlm. Xiix).
Bukan sebagai Hukum Negara
Lebih jauh dari itu, Kiai Sahal tidak hanya mengatakan : āFiqh sebagai Etika Sosialā akan tetapi menambahkannya dengan kata-kata : ābukan sebagai hukum Negaraā. Ini menjadi kata-kata yangĀ paling mencengangkan dari āalim ini. Pandangan ini sangat potensial akan dikecam habis-habisan oleh banyak masyarakat muslim di negeri ini, yang dalam sepuluh tahun belakangan getol memproduksi kebijakan-kebijakan publik atau perda-perda bernuansa syariāah. Pandangan itu tentu karena Kiai Sahal sangat faham dan ingin menjagaĀ eksistensi Negara Indonesia sebagai Negara-bangsa yang plural dari banyak dimensinya, terutama agama/keyakinan. Pikiran-pikiran untuk menegarakan hukum Islam (fiqh) atau formalisasi hukum Islam (fiqh) akan mengganggu Konstitusi NKRI dan prinsip-prinsip demokrasi substansial yang mendasarkan diri pada hak-hak asasi manusia universal. Dan NU, organisasi yang dipimpinnya, telah menjadi bagian dari komunitas yang ikut mendirikan Negara ini sealigus menyetujui Dasar Negara; Pancasila dan Konstitusi;Ā UUD 1945. Dalam Muktamarnya di Situbondo, tahun 1984, NU menegaskan kembali komitmennya atas dua fondasi Negara bangsa tersebut. Para Ulama NU meyakini bahwa penerimaan atas Pancasila merupakan perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan. Pancasila juga diyakini sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam. Demikian ini merupakan tinjauan dari sisi relasi Agama dan Negara dalam pandangan organisasi massa terbesar di Indonesia tersebut.
Sementara dari tinjauan fiqh sendiri, Kiai Sahal sudah menyatakan bahwa produk-produk fiqh sangat plural. Umat Islam berhak untuk memilih, dan pilihan itu sah serta harus dihargai. Sikap Kiai Sahal ini mengingatkan kita pada pandangan Imam Malik bin Anas (w. 800 M/179 H), pendiri mazhab fiqh. Beliau adalah orang pertama yang berhasil menghimpun hadits-hadit Nabi Muhammad dalam bukunya "Al-Muwathta". Khalifah Abbasiyah, Abu Ja'far al-Manshur, dan kemudian Harun al-Rasyid beberapa kali meminta Imam Malik agar mengizinkan karyanya tersebut dijadikan undang-undang bagi masyarakat muslim di seluruh wilayah kekuasaannya. Imam Malik dengan tegas menolak. Katanya : āMasyarakat di banyak tempat sudah punya pandangan masing-masing. Mereka memercayai hadits yang disampaikan guru-guru mereka dan menjalani kehidupan berdasarkan ajaran tersebut. Biarkan mereka memilih jalan hidup mereka sendiri".Ā Ā Imam Malik terkenal sebagai ulama yang sangat menghargai tradisi local.
Inklusifitas Kiyah Sahal : Menolak Mutabar Ghair Muātabar
Pikiran menarik Kiai Sahal yang lain adalah keterbukaannya terhadap pikiran-pikiran orang lain. Ia tak hendak membatasi sumber-sumber pengetahuan di satu sisi, dan tidak hendak memutlakkan kesalahan pikiran orang lain hanya karena tidak menyetujui pandangannya untuk suatu kasus dan tidak memutlakkan kebenaran suatu aliran pemikiran yang diikutinya, di sisi yang lain. Kebenaran bisa ada di mana-mana. Keberagaman pandangan Imam mazhabĀ atas suatu masalah harus dihargai, dihormati. Para Imam sendiri saling memberikan penghormatan dan tidak mengklaim pendapatnya sebagai paling benar. Perbedaan adalah rahmat. Kiai Sahal kemudian menyebut kaedah : āAl-Ijtihad La Yunqadh bi al-Ijthadā. Hasil ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad orang yang lain. Katanya : āHasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu, tetapi sesuai dengan ruang dan waktu yang berbedaā.
Atas dasar itu, Kiai Sahal acap kali keluar dari batas cara pandang para ulama di dalam organisasinya sendiri Nahdlatul Ulama. Salah satunya adalah soal āal-Kutub al-Muātabarahā dan āGhair al-Muātabarahā. Ia menganggap pemilahan ini tidak senafas dengan semangat fiqh sebagai produk Ijtihad dan dengan begitu hal itu juga berarti ada pandangan yang mengunggulkan pendapat Imam dan merendahkan pendapat Imam lainnya. Saya kira pemilahan tersebut juga sama artinya dengan membatasi prinsip ilmu pengetahuan sendiri yang selalu terbuka, sekaligus juga membatasi anugerah Tuhan. Dia berkenan memberikan pengetahuan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan mereka yang dianugerahi ilmu pengetahuan adalah orang-orang yang memeroleh kebaikan yang berlimpah. (Q.S. al-Baqarah, [2]:269)
Kiai Sahal kemudian memberi contoh. Dalam pandangan mayoritas ulama kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah dan murid utamanya : Ibnu al Qayyim al-Jauziyiah, adalah ghair muātabarah (tidak bisa atau tidak boleh dirujuk), karena kedua ulama besar ini mengharamkan tawassul, praktik-praktik tarikat, kewalian, ziarah kubur dan lain-lain. Semua masalah ini adalah bagian dari tradisi dan amalan sehari-hari warga NU. Kiai Sahal mengatakan : āSaat itu saya sudah menentang pendapat ini. Waktu itu saya menggunakan kaedah atau pepatah Arab :āAmbillah yang jernih dan tinggalkan yang keruhā(khudz ma shafa watruk ma kadar). Para Kiai waktu itu tidak setuju pendapat saya dan mereka mengambil sikap saddan li al dzariāah (preventif). Dengan alasan supaya umat tidak terjerumus maka kitab-kitab itu dilarang saja. Karena saya kalah suara, saya tidak bisa berbuat lebih. Padahal yang namanya pendapat tentu bisa salah bisa benar, karena itu jangan menggunakan pendekatan like and dislike ini muātabar, itu tidakā.Ā Ini tentu saja merupakan kritik tajam Kiai Sahal yang lain.
Kiai Sahal lalu menyampaikan bahwa Ibnu Taimiyah mempunyai pandangan yang sangat penting sekaligus perlu memeroleh perhatian kita semua, dalam melihat problem kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini. Imam Ibnu Taimiyah, pembaru dan pemimpin golongan salafi menyampaikan pernyataan yang mencengangkan :
Ų„ŁŁŁŁ Ų§ŁŁŁŁ ŁŁŁŁŁŁ
Ł Ų§ŁŲÆŁŁŁŁŁŁŲ©Ł Ų§ŁŁŲ¹ŁŲ§ŲÆŁŁŁŲ©Ł ŁŁŲ„ŁŁŁ ŁŁŲ§ŁŁŲŖŁ ŁŁŲ§ŁŁŲ±ŁŲ©Ł ŁŁŁŁŲ§ ŁŁŁŁŁŁ
Ł Ų§ŁŲÆŁŁŁŁŁŁŲ©Ł Ų§ŁŲøŁŁŲ§ŁŁŁ
ŁŲ©Ł ŁŁŲ„ŁŁŁ ŁŁŲ§ŁŁŲŖŁ Ł
ŁŲ³ŁŁŁŁ
ŁŲ©Ł
āAllah sungguh akan menegakkan Negara yang adil meskipun (Negara) kafir, dan Allah akan menghancurkan Negara yang zalim, meskipun (Negara) muslimā. Ā
Kata bijak āKhudz Ma Shafa wa Utruk Ma Kadarā yang disampaikan Kiai Sahal di atas dapat berarti āambillah pendapat siapapun yang berguna, bermanfaat untuk ruang dan waktu kita, dan tinggalkan pendapat siapapun yang tidak bermanfaat untuk ruang dan waktu kita. Ini mengingatkan kita pada ucapan bijak yang popular dari Imam Ali bin Abi Thalib : āUnzhur Ma Qala wa La Tanzhur Man Qalaā. (Pikirkan apa yang dikatakan orang dan jangan lihat siapa yang mengatakannya). Kiai Sahal dengan begitu ingin mencari pikiran yang substantive dan relevan, bukan yang tekstual, formal, yang ketat dan kaku. Ia menekankan prinsip Keadilan sebagai dasar kebijakan. Pada sisi lain beliau juga ingin mengajak masyarakat untuk tidak fanatic terhadap mazhab tertentu.
Belajar dari cara pandang Kiai Sahal di atas saya ingin menyampaikan kata-kata bijak dari filsof Arab :Al-Kindi yang disampaikannya kepada Khalifah Muātashim Billah :
Ā
ŁŁŁŁŲØŁŲŗŁŁ ŁŁŁŁŲ§ Ų§ŁŁŁ ŁŁŲ§ ŁŁŲ³ŁŲŖŁŲŁŁŁŁ Ł
ŁŁŁ Ų§Ų³ŁŲŖŁŲŁŲ³ŁŲ§ŁŁ Ų§ŁŁŲŁŁŁŁ ŁŁŲ§ŁŁŲŖŁŁŁŲ§Ų”Ł Ų§ŁŁŲŁŁŁŁ Ł
ŁŁŁ Ų£ŁŁŁŁŁ Ų£ŁŲŖŁŁ , ŁŁŲ„ŁŁŁ Ų£ŁŲŖŁŁ Ł
ŁŁŁ Ų§ŁŁŲ§ŁŲ¬ŁŁŁŲ§Ų³Ł Ų§ŁŁŁŁŲ§ŲµŁŁŁŲ©Ł Ų¹ŁŁŁŁŲ§ ŁŁŲ§ŁŁŲ§ŁŁ
ŁŁ
Ł Ų§ŁŁŁ
ŁŲŖŁŲØŁŲ§ŁŁŁŁŲ©Ł ŁŁŁŁŲ§.
āSeyogyanya kita tidak merasa malu untuk menerima suatu kebenaran dan menjaganya, dari manapun berasal, meskipun dari bangsa-bangsa yang jauh danĀ yang berbeda dari kitaā. Ā
Kiai Sahal dan Isu-Isu Gender
Adalah sungguh menarik bahwa gagasan besar Kiai Sahal : Fiqh Sebagai Etika Sosial dengan seperangkat kerangka dasar pemikirannya, pada gilirannya membawa pada pandanganya yang simpatik mengenai isu-isu kesetaraan dan keadilan gender. Sementara masih banyak ulama dan Kiai yang mencurigai isu-isu ini, Kiai Sahal justeru memberikan apresiasinya, alih-alih mengecamnya. Ini misalnya dapat dibaca dalam kata pengantarnya untuk buku saya āFiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Genderā. Katanya : āIslam sesungguhnya secara ideal normative tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, apalagi mendiskriminasikan perempuanā. Selanjutnya beliau mengatakan : āMelalui buku Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, karya KH. Husein Muhammad ini, kita disadarkan betapa luasnya cakrawala lautan ilmu fiqh. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang tradisi kitab kuning cukup kuat, Kiai Husein Muhammad dalam buku ini mampu membaca dan memetakan berbagai ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan melalui berbagai ragam referensi secara terliti dan kritis. Bahasan tentang kepemimpinan shalat perempuan, khitan, batas aurat, memiliki pasangan dalam hidup (nikah), kepemimpinan politik perempuan, dan sebagainya yang ada dalam buku ini akan memperluas cakrawala pandang kita tentang betapa utamanya fiqh, yang demikian terbuka memberikan ruang dialog seluas-luasnya bagi berbagai pandangan dan pendapat. Melalui buku ini, Kiai Husein Muhammad telah memberikan sumbangan yang besar dalam upaya pencarian dan perwujudan makna esensial ajaran agama Islamā.
Faqih yang Arif
Tetapi sungguhpun Kiai Sahal tampak begitu progresif (untuk tidak disebut āliberalā), tetapi beliau berhati-hati dan berusaha sejauh yang bisa dilakukan untuk tidak keluar terlebih dahulu dari pemikiran fiqh dominan. Yakni pendekatan āFiqh Qauliā (fiqh tekstual). Dalam berbagai kasus yang dimintakan jawaban fiqhnya, Kiai Sahal terlebih dahulu mencari rujukan melaluiĀ pendekatan āFiqh Qauliā, terutama dari kitab-kitab mazhab Syafiāi.Ā Jika jawaban melalui pendekatan ini telah dianggap cukup memberikan solusi, maka beliau tidak perlu mencari jawaban dari mazhab lain. Pandangan fiqh mazhab lain baru disampaikan sebagai alternatif jika lebih berpeluang untuk diamalkan oleh yang bersangkutan atau oleh kepentingan lebih luas. Jika tidak ditemukan āibaratā yang relevan, beliau berusaha menjawabĀ dengan pendekatan āfiqh manhaji Syafiāiā. Dengan begitu, Kiai Sahal tetap ingin berada dalam dan menyantuni tradisinya, baik dalam kaitannya dengan pendekatan fiqh qauli maupun fiqh manhaji. Ini tentu saja memberikan kesan public bahwa beliau adalah ahli fiqh yang moderat dan tidak terbawa oleh arus āliberalā, seperti pikiran murid-muridnya, antara lain yang sering disebut orang: Ulil Absar Abdallah, atau anak-anak muda NU lain yang berpikiran seperti dia. Kalaupun tidak sejalan dengan pikiran anak-anak muda NU yang memiliki kecenderungan āliberalā tersebut, Kiai Sahal menyikapinya dengan arif. Beliau tidak menstigmanya sebagai sesat, apalagi mengafirkannya, melainkan mengajaknya berdialog, atau mengajak masyarakat mendiskusikannya dengan ilmiyah, atau paling jauhĀ membiarkan/mendiamkannya saja. Sikap dan cara pandang ini sesungguhnya, dalam pandangan saya tidak banyak dimiliki oleh kebanyakan ulama, baik dalam kalangan Ulama NU sendiri, apalagi kalangan Islam salafi garis keras.Ā Sikap seperti Kiai Sahal itu memperlihatkan kepada kita kedalaman dan keluasan ilmu seseorang sekaligus merupakan tanda kearifannya. Semoga kelak, sesudah beliau pulang, akan lahir pemikir-pemikir fiqh yang cemerlang, progresif, inklusif sekaligus arif, seperti beliau.Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā .Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā
Selamat Jalan Kiai Sahal. āYa Ayyatuhannafs al-Muthminnah Irjiāi Ila Rabbiki Radhiyah Mardhiyyah Fa Udkhuli fi āIbadi wa Udkhuli Jannatiā. Nafaāana Allah Bi āUlumihi.Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā
Cirebon, 07 Maret 2014
Makalah ini disampaikan pada diskusi buku āNuansa Fiqh Sosialā, dalam rangka memperingati 40 hari wafatnya K.H.M. Sahal Mahfudh, 07-03-2014, di gedung PBNU, Jakarta, diselenggarakan oleh Jaringan Gusdurian.
KH Husein Muhammad, Pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon, Pendiri Fahmina Institute Cirebon, dan Komisioner Komnas Perempuan.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
4
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
5
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
6
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
Terkini
Lihat Semua