Oleh Khoirul Anwar Afa
Syaikh Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’allim, menjadikan etika menghormati orang yang berilmu dan etika belajar sebagai prioritas yang harus diperhatikan, khususnya untuk mendapatkan hasil belajar yang sukses. Namun, yang sering diperdebatkan belakangan, apakah konsep belajar mengajar dalam konteks 'etika' yang ditawarkan oleh Imam Zarnuji masih relevan untuk diterapkan saat ini?
Perlu diketahui, Imam Zarnuji merupakan tokoh ulama Hanafiah yang hidup sekitar abad 13 M, dalam karyanya itu sangat menekankan aspek moral dan memuliakan guru. Namun, di sisi lain Zarnuji banyak dikenal sebagai ulama yang orotdoks terkait prinsip-prinsipnya yang berkaitan dengan ilmu. Meski demikian, karya Zarnuji itu sangat populer dan diaplikasikan di beberapa pesantren salaf, khususnya pesantren berbasis NU. Karena memang berbagai prinsipnya secara umum tetap memiliki statemen yang sesuai dengan pedoman keagamaan. Islam dalam konteks ini.
Misalnya saja, Zarnuji sangat menekankan bahwa ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu-ilmu agama yang bisa menyelamatkan manusia dari kekufuran. Antara lain yang dianjurkan, ilmu keimanan, shalat, zakat, puasa. Selain itu, ia juga memberikan titik poin bahwa hanya ilmu Tauhid (teologi) dan ilmu fikih (Yurisprudensi) yang memberikan manfaat untuk kehidupan sehari-hari, dan hukum mempelajarinya adalah wajib fardli, bagi setiap individu.
Antara etika dan ilmu yang harus dipelajari memiliki korelasi besar, baik dalam konteks fungsi maupun sebagai pedoman. Ilmu sebagai teori, adapun etika untuk berinteraksi dalam rangka menerapkann ilmu yang dimiliki. Namun jauh sebelum itu, kesadaran sosial (yang berakar dari sipiritual) harus dimiliki sebagai penalaran agar bisa memiliki refleksi keilmuan yang fleksibel.
Pada kenyataannya, banyak cabang ilmu pengetahuan yang dikembangkan di berbagai sekolahan, tetapi untuk perhatian moral masih sangat minim. Hal ini tidak tepat sekali dengan tawaran renstra (rencana strategis) pemerintah untuk memberikan bonus demografi masyarakat Indonesia, tumbuh sebagai masyarakat yang berakhlak mulia.
Objek yang relevan untuk mengembangkan moral masyarakat dimulai dari pelajar di berbagai lini. Mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga pada tingkat pendidikan formal tertinggi. Karena dunia pendidikan yang memiliki peran besar, sehingga tidak mengadopsi materi maupun pengajaran yang tidak relevan untuk diajarkan.
Belajar Zaman Now
Banyaknya sekolah nonformal yang didirikan oleh masyarakat, seperti membuat sekolah alam, atau home shooling, mayoritas berangkat dari ketidak puasan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di dalam pendidikan formal, yang pedoman ajarnya bersumber dari arahan pemerintah. Guna mendapatkan ilmu yang 'baik'.
Masih dalam pendapat Zarnuji, ilmu yang dihasilkan dari belajar sebagai suatu sifat untuk menuju kebenaran sehingga pemiliknya dapat mengetahui antara yang benar dan tidak. Dalam bahasa Yusuf Qardhawi salah seorang ulama Mesir, orang yang berilmu dapat membedakan antara halal dan haram. Sementara menurut Harun Nasution (w. 1998), menyebutkan bahwa ilmu dipahami oleh para ilmuan Barat sebagai pengetahuan tentang fakta-fakta baik natural maupun sosial yang berlaku umum dan sistematis, dimana teori maupun praktik sama-sama melepaskan moral. Sehingga ilmu pengetahuan memang benar-benar digali dengan serius dan diterapkan tanpa mempetimbangkan memiliki pengaruh negatif atau tidak.
Terlepas dari itu, memang ilmu dalam konteks teks yang menjadi pedoman orang Islam, Al-Quran, memiliki makna inti mengetahui dan mengamalkan. Sehingga ungkapan amal dengan ilmu sangat dianjurkan di dalam Islam. Bahkan diumpamakan seperti kuda yang hanya membawa kitab-kitab. Artinya, meskipun kuda membawa segudang buku tetap tidak bisa mengetahui isinya dan berjalan tanpa arah yang benar.
Wacana seperti demikian tentu sudah maklum. Hanya saja, untuk menyikapi belajar pada zaman saat ini membutuhkan upaya relevansi yang dinamis. Sesuai dengan konteks kultur dan budaya yang berlaku. Namun yang terpenting membangun mental pelajar untuk tanggap terhadap tantangan zaman perlu diberikan lebih intens.
Pada tahun 2017 KPAI pernah mengatakan jika selama dua tahun yaitu pada tahun 2016-2017 kekerasan pornagrafi anak cenderung meningkat dibandingkan jumlah kekerasan yang terjadi pada tahun 2015. KPAI juga menegaskan jika penyebab utama kekerasan itu, karena sangat mudahnya anak-anak untuk mengakses gambar pornografi dengan smartphone. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara yang tidak membebaskan pornografi. Berbeda dengan negara Amerika yang membebaskan pornografi, tetapi kekerasan atas nama pornografi yang melibatkan anak tercatat sangat minim.
Data tersebut sangat unik jika melihat fakta yang cenderung terbalik. Hal ini sama dengan ungkapan belum tentu banyak sampah meskipun berada di negara industri seperti di Jepang atau Cina. Maka mengembangkan mental masyarakat agar tidak gagap dengan fenomena sosial yang berkembang, termasuk maraknya pornografi. Peran guru sebagai pengajar untuk mengarahkan anak didik memiliki kesadaran terhadap problem itu sangat menentukan.
Menarik mencermati pendapat Moh. Athiyah Al-Abrasy yang mengatakan bahwa pendidik harus memiliki sifat zuhud, tidak memburu materi, jauh dari dosa, ikhlas, dan pemaaf. JIka demikian, pengajar posisinya sebagai pengajar yang aktif dalam memberikan dukungan moril maupun spiritiil kepada murid. Hal ini lah yang membuat para ulama, kiai, melakukan riyadhah atau upaya membersihkan diri untuk mendekat kepada Allah, memohonkan keberkahan untuk para muridnya. Dan yang seperti inilah yang sudah jarang ada.
Wallahu ‘alam.
*
Penulis adalah Peneliti Senior di Pusat Studi Al-Quran, menulis beberapa buku diantaranya Potret Pendidikan Indonesia (Formaci Press, 2017), Makna Hati Pendekatan Tafsir Sufi (2017), Wajah Baru Moderasi Islam (2017). Selain itu menulis jurnal ilmiah dan opini di surat kabar.