Pakar Sebut UU TNI Cacat Prosedural, DPR Abai Mekanisme Prolegnas dan Carry Over
NU Online · Selasa, 1 Juli 2025 | 20:00 WIB

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), Mohammad Novrizal, dalam sidang uji formil Mahkamah Konstitusi Sidang Perkara Nomor 45, 56, 69, 75, 81/PUU-XXIII/2025 pada Selasa (1/72025). (Foto: tangkapan layar Youtube MKRI)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Proses legislasi Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) masih menuai sorotan tajam dari para pakar hukum tata negara (HTN). UU TNI dinilai pakar HTN cacat prosedural, mulai dari pelanggaran aturan perencanaan legislasi hingga dugaan penyelundupan agenda tanpa dasar hukum yang sah.
Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Mohammad Novrizal, menegaskan bahwa pengesahan UU TNI tidak sesuai dengan mekanisme formal Prolegnas (Program Legislasi Nasional) sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang.
“Undang-Undang TNI memang masuk dalam daftar jangka menengah, tetapi tidak pernah tercantum dalam Prolegnas prioritas tahunan tahun 2025. Selain itu, tidak ada dokumen resmi yang menunjukkan UU TNI menggunakan mekanisme carry over dari periode sebelumnya,” ujar Novrizal dalam sidang uji formil Mahkamah Konstitusi Sidang Perkara Nomor 45, 56, 69, 75, 81/PUU-XXIII/2025 pada Selasa (1/72025).
Novrizal mengungkapkan bahwa dalam risalah Rapat Paripurna DPR ke-13, tidak terdapat agenda resmi pembahasan perubahan Prolegnas untuk memasukkan UU TNI sebagai prioritas. Bahkan, surat Presiden yang menunjuk perwakilan pemerintah untuk membahas UU TNI, tidak bisa menjadi dasar sah perubahan agenda sidang.
"Perubahan agenda harus dibahas dalam Badan Musyawarah dan disetujui secara tertulis. Dalam hal ini, mekanisme formal tersebut tidak pernah ditempuh. Maka pengesahan RUU TNI bisa dinilai tidak sah," tegasnya.
Menurut Novrizal, DPR juga disebut menggunakan alasan carry over secara keliru. Padahal, UU TNI belum pernah masuk ke pembahasan tingkat 1 pada periode keanggotaan DPR sebelumnya, sebagaimana disyaratkan oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 dan perubahan-perubahannya.
Baca Juga
Pengesahan RUU TNI Khianati Demokrasi
Senada dengan Novrizal, Bivitri Susanti pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, bahkan menyebut proses legislasi dalam kasus UU TNI ini sebagai contoh nyata dari kemunduran demokrasi dan praktik legislatif yang ugal-ugalan.
“Perkara ini spesial karena banyaknya pelanggaran prosedur yang ditampilkan tanpa kesungkanan ketatanegaraan,” ujar Bivitri.
Ia menekankan bahwa proses pembentukan undang-undang bukan sekadar rutinitas administratif atau daftar centang teknokratik. Legislasi, menurutnya, adalah bagian dari bangunan negara hukum yang mesti berlandaskan moralitas dan legitimasi publik.
“Sayangnya, proses legislasi hari ini hanya dianggap sebagai fasilitas kekuasaan. Prosedurnya dikebiri, naskah akademiknya tidak tersedia, bahkan partisipasi publik hanya dilakukan secara pura-pura,” katanya.
Bivitri juga mempertanyakan alasan di balik pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa. “Kenapa harus buru-buru dan tertutup? Apa yang sedang disembunyikan? Kenapa akses terhadap naskah RUU pun sulit diakses publik?” ungkapnya.
Menurut Bivitri, kondisi ini mencerminkan gejala yang lebih luas, penyatuan kekuasaan eksekutif dan legislatif tanpa kontrol yang efektif. Dalam situasi seperti ini, Mahkamah Konstitusi menjadi satu-satunya benteng terakhir untuk menguji kembali semangat konstitusi.
Bivitri menyoroti lemahnya partisipasi bermakna dan minimnya transparansi sebagai bagian dari indikator pelanggaran formil. Dalam konteks negara demokratis, legislasi yang lemah secara prosedural bisa menjadi alat bagi kekuasaan untuk melanggengkan otoritarianisme.
“Legislasi tak bisa dilihat sebagai pasal-pasal kosong. Harus ada rasio legis, dasar moral, dan proses yang terbuka. Jika tidak, maka hukum hanya akan menjadi alat kuasa, bukan alat keadilan,” pungkas Bivitri.
Terpopuler
1
Sosok Nabi Daniel, Utusan Allah yang Dimakamkan di Era Umar Bin Khattab
2
3 Pesan Penting bagi Pengamal Ratib Al-Haddad
3
Mimpi Lamaran, Menikah, dan Bercerai: Apa Artinya?
4
Mahfud MD Ungkap Ketimpangan Struktural Indonesia
5
Gus Yahya: Di Tengah Ketidakpastian Global, Indonesia Harus Bertahan dan Berkontribusi bagi Dunia
6
Tak Bisa Dipisahkan, Mahfud MD: Hukum yang Baik Lahir dari Politik yang Bagus
Terkini
Lihat Semua