Kasus KBGO di Jepara, Ketum IPPNU: Pentingnya Edukasi dan Regulasi yang Lebih Tegas
NU Online · Ahad, 4 Mei 2025 | 07:20 WIB

Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PP IPPNU) Whasfi Velasufah (Foto: https://ipnuippnukokop.or.id/)
Suci Amaliyah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PP IPPNU) Whasfi Velasufah menegaskan perlunya edukasi digital sejak dini dan regulasi yang lebih tegas untuk mencegah kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Hal ini menyusul kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) dengan tersangka berinisial S (21) yang melibatkan setidaknya 31 anak berusia 12 tahun hingga 18 tahun di Jepara, Jawa Tengah.
"Usia pelajar ke bawah itu karakternya belum terbentuk sehingga menjadi sasaran empuk untuk jadi korban. Saya sangat prihatin dan ini harus kita advokasi dan dampingi," kata Vela kepada NU Online, Sabtu (3/5/2025).
Ia menilai maraknya KBGO menjadi ancaman serius bagi generasi muda yang belum memiliki bekal literasi digital yang memadai. Kemajuan teknologi, menurutnya, belum diimbangi dengan kesadaran akan bahaya dan risiko dunia maya.
"Kejahatan dari efek teknologi itu nyata. Kita harus benar-benar membentengi diri. Literasinya harus ditingkatkan,”ujarnya.
Vela menekankan pentingnya edukasi sejak dini agar anak-anak dapat mengenali rambu-rambu bahaya dalam pergaulan digital. Termasuk di antaranya menjaga privasi dan berhati-hati saat berinteraksi dengan orang yang baru dikenal lewat media sosial.
"Foto pribadi itu harus dijaga. Modus chat dan penipuan online juga harus diwaspadai. Kalau kenalan sama orang baru, apalagi di medsos, itu harus hati-hati,”katanya.
Menurutnya, media sosial membuka peluang interaksi luas yang tak selalu aman. “Sosmed ini kan bukan cuma untuk berinteraksi sama orang yang kita kenal. Kadang orang yang enggak kita kenal bisa masuk dan itu berbahaya kalau enggak disharing,”tambahnya.
Vela juga menyoroti pentingnya dukungan lingkungan sekitar. Ia melihat bahwa teman sebaya bisa menjadi ruang aman bagi anak untuk berbagi, terutama saat orang tua tidak bisa dijangkau.
"Kadang anak-anak itu lebih nyaman cerita sama teman seumurannya. Maka pencegahan ini harus jadi kerja bareng,”ujarnya.
Ia menilai pentingnya pendidikan seks sejak dini. Edukasi mengenai bagian tubuh yang tidak boleh disentuh dan perlindungan diri perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
"Kalau bisa dimasukkan saat masa orientasi sekolah. Karena kalau anak sudah jadi korban, pasti traumanya besar dan itu memengaruhi masa depan mereka,” tegasnya.
Vela mendorong adanya regulasi yang lebih jelas dan komprehensif dalam menangani kekerasan berbasis gender online. Ia menilai bahwa selama ini upaya pencegahan masih lemah karena kurangnya kebijakan yang mendorong program pencegahan secara terstruktur.
"Perlu regulasi yang betul-betul fokus pada kekerasan berbasis gender online dan pencegahannya. Jangan hanya responsif saat sudah ada korban,”harapnya.
Ia juga menyoroti belum optimalnya implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Menurutnya, kerja lembaga-lembaga negara terkait masih berjalan sendiri-sendiri dan belum didukung regulasi turunan yang kuat.
"Eksekusinya masih kurang. Kementerian PPPA, KPAI, Komnas Perempuan, semua jalan sendiri. Harus ada sinergi nyata agar perlindungan terhadap anak dan perempuan bisa lebih efektif,”pungkasnya.
Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi menyebutkan, korban KBGO pada rentang usia 18-25 tahun menjadi kelompok terbanyak, yaitu 272 kasus atau 57 persen dan diikuti anak-anak rentang usia di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26 persen.
"Kasus yang muncul terkait dengan pelecehan dan eksploitasi seksual perempuan maupun anak secara online hingga penyebaran konten intim non-konsensual merupakan salah satu bentuk KBGO yang mudah terjadi, bisa dialami siapapun, tetapi sangat minim solusi," ujarnya dikutip dari laman resmi KemenPPPA.
Sebelumnya, S (21), warga Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, diduga terlibat dalam kasus kekerasan seksual terhadap sedikitnya 31 anak perempuan dari berbagai daerah. Dari jumlah tersebut, lebih dari sepuluh anak menjadi korban pemerkosaan. Saat ini, S telah ditetapkan sebagai tersangka dan terancam hukuman penjara hingga 12 tahun.
Kasus ini pertama kali terungkap ketika orang tua salah satu korban menemukan rekaman kekerasan seksual di ponsel anaknya yang baru saja diperbaiki. Saat dikonfirmasi, korban mengaku merasa malu sehingga tidak berani menceritakan kejadian tersebut sebelumnya. Temuan itu kemudian dilaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Kabar Duka: Ibrahim Sjarief, Suami Jurnalis Senior Najwa Shihab Meninggal Dunia
6
Ribuan Ojol Gelar Aksi, Ini Tuntutan Mereka ke Pemerintah dan Aplikator
Terkini
Lihat Semua