Nasional

Gus Yahya: Peran Spiritual NU Sudah Jadi Tradisi

NU Online  ·  Selasa, 1 Juli 2025 | 08:00 WIB

Gus Yahya: Peran Spiritual NU Sudah Jadi Tradisi

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam forum Gebyar Wawasan Kebangsaan yang digelar oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) di Jalan Kebon Sirih, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat pada Senin (30/6/2025). (Foto: Junaedin Ghufron)

Jakarta, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan bahwa di tengah tekanan geopolitik global dan ketidakpastian nasional, bangsa Indonesia memerlukan kekuatan baru yang lahir bukan semata dari ekonomi dan militer, tetapi dari ketahanan moral dan spiritualitas.


Gus Yahya menyampaikan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) berperan sebagai jangkar stabilitas sosial melalui tradisi spiritual yang telah mengakar kuat di masyarakat. Hal itu disampaikan dalam forum “Gebyar Wawasan Kebangsaan” yang digelar oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) di Jalan Kebon Sirih, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat pada Senin (30/6/2025).
 

“Peran spiritual orang NU itu sudah jadi tradisi. Kalau mengalami kesulitan hidup, yang pertama dilakukan itu adalah berdoa dulu bukan ngamuk. Ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita,” ungkap Gus Yahya.


Menurut Gus Yahya, kekuatan NU bukan hanya berasal dari jumlah pengikutnya, melainkan dari jejaring tradisi, komunitas, dan organisasi yang tersebar luas hingga ke akar rumput.


Melalui berbagai forum keagamaan, NU telah menjadi tempat berkumpul dan memelihara kohesi sosial yang sangat dibutuhkan di tengah polarisasi politik dan tekanan hidup saat ini.


"Dengan jaringan organisasi dan lembaga-lembaga tradisional, NU menghindari keterlibatan dalam posisi politik praktis dan lebih memilih menjadi kanal penyampai program-program strategis nasional kepada rakyat. Termasuk agenda-agenda ekonomi pemerintah agar manfaatnya benar-benar sampai ke masyarakat bawah,” tegasnya.


Gus Yahya menekankan, NU saat ini tengah mereposisikan diri sebagai penopang moral publik, bukan hanya sebagai kelompok yang dimobilisasi untuk kepentingan politik sesaat. Dalam banyak isu nasional, menurutnya, agama justru terlalu sering diinstrumentalisasi. Padahal nilai-nilai agama semestinya menjadi inspirasi untuk membangun konsensus dan solusi bersama.


“Sekarang ini banyak yang minta agama jadi pendukung isu misalnya lingkungan hidup. Padahal itu sudah jelas penting. Tidak perlu dicari-cari dalilnya. Yang kita butuhkan dari agama bukan legitimasi politik, tapi nilai fundamental jalan menuju konsensus, dan itu jauh lebih penting,” ujar dia.


Gus Yahya menyebutkan di tengah ketidakpastian global, Indonesia memerlukan kekuatan konsolidatif yang mampu membangun persatuan sosial. Dalam pandangannya, NU memiliki tanggung jawab historis untuk kembali menjadi pemersatu bangsa di tengah riuhnya polarisasi elite dan kegaduhan politik.


"Kita mengarungi dunia yang tidak mudah, dalam kondisi diri kita sendiri yang juga tidak prima. Maka, yang pertama-tama kita butuhkan adalah kesediaan untuk bersatu, berkonsolidasi, dan saling menopang. Hanya dengan begitu kita bisa mengatasi masalah bersama," tuturnya.


Gus Yahya menjelaskan apa yang dilakukan NU hari ini adalah membangun infrastruktur kebangsaan mencakup jaringan nilai, kesadaran, dan keteladanan spiritual yang bisa menjadi perekat bangsa. 


Ia menekankan pentingnya agar lembaga-lembaga negara, pelaku usaha, dan masyarakat sipil tidak hanya fokus pada solusi teknokratik, tetapi juga menyeimbangkannya dengan pendekatan spiritual dan moral.


"Agama jangan hanya dijadikan pengeras suara. Ia harus menjadi sumber inspirasi sejati untuk membangun jalan keluar dari krisis multidimensi yang kita hadapi hari ini,” jelas Gus Yahya.


Senada dengan itu, Ketua Dewan Usaha Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Chairul Tanjung yang menekankan pentingnya bersatunya dunia usaha, pemerintah, dan kekuatan sipil untuk menghadapi tekanan global.


“Kita tidak sedang baik-baik saja. Perubahan adalah keniscayaan. Seperti Gus Yahya bilang, Indonesia harus in-cooperating bersatunya semua unsur untuk menahan tekanan dan melangkah ke masa depan lebih baik,” ujar Ketua Dewan Usaha Kadin.


Sementara itu, ekonom senior Raden Pardede menambahkan bahwa krisis global memang tidak bisa dihindari, namun harus dimanfaatkan sebagai momentum transformasi.


"Krisis itu akan datang dan pergi. Yang penting adalah bagaimana kita memperkuat daya adaptasi kita, dan mengambil peluang dari krisis itu. "Do not waste a good crisis", justru di situlah peluang kita bertransformasi,” pungkas Raden.