Nasional

Alasan Palestina Tak Kunjung Damai: Bisnis Senjata hingga Alat Politik Netanyahu

NU Online  ·  Jumat, 25 April 2025 | 14:00 WIB

Alasan Palestina Tak Kunjung Damai: Bisnis Senjata hingga Alat Politik Netanyahu

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla menegaskan bahwa terdapat alasan klasik penjajahan Israel atas bangsa Palestina masih terjadi. Menurutnya, masih banyak pihak yang mencari keuntungan atas penjajahan dan konflik yang bekepanjangan itu.


"Hanya dengan konfliklah mereka bisa mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka sekarang. Kalau Timur Tengah damai, masalah Palestina selesai ya malah justru nggak menguntungkan bagi aktor-aktor di Barat ini," kata Gus Ulil saat ditemui NU Online, Kamis (25/4/2025) di Jakarta.


Tak bisa dielakkan, katanya, terdapat pihak yang memanfaatkan penjajahan Israel itu sebagai ladang bisnis senjata yang sangat menguntungkan, sehingga jika berhenti justru merugikan pihak produsen senjata.


"Mereka saya kira berkepentingan menjadikan masalah Palestina ini bertahan terus karena di situ ladang penjualan senjata," tegasnya.


Ditambah, lanjut Gus Ulil, penjajahan Israel menjadi alat untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan politik bagi para politikus di Israel. Berdirinya, Israel sendiri juga menjadi alasan kuat Amerika Serikat (AS) untuk mempertahankan eksistensi di negara-negara Arab lainnya.


"Jika masalah Palestina terus bertahan, Israel juga berkepentingan, misalnya kelompok-kelompok radikal atau ultra ortodoks Israel yang kebetulan berkuasa dominan disana di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu (Perdana Menteri Israel)," katanya.


Karena kelompok-kelompok politik tersebut, lanjutnya, bakal mendapatkan polularitas yang tinggi di dalam pemerintahan Israel seandainya perang ini berlangsun terus. Ada alasan politikus ISrael untuk eksis, sehingga jika damai maka akan mengurangi relevansi atas isu yang dimainkan. 


"Kelompok radikal itu kehilangan relevansi kalau keadaan pulih kembali dan damai, sudah pasti (aktor politiknya) Netanyahu, karena sebetulnya dia terancam untuk diadili, dia mencoba mengalihkan perhatian publik domestik Israel dengan menjadikan diri, memproyeksikan diri sebagai hero pahlawan negara menyelamatkan bangsa Israel," jelasnya.


Sementara itu, usai Suriah mendapuk Ahmad Al-Sharaa sebagai presiden, arah politik negara itu sudah berubah, dari sebelumnya melakukan jalan militer untuk membantu Palestina, justru kini corak perjuangannya mirip dengan Presiden Palestina Mahmoed Abbash, yaitu dengan diplomasi.


"Mahmoed Abbash karena faksinya adalah Fatah. Fatah inikan dari dulu nggak cocok dengan Hamas dan kelompok di Palestina yang lebih menempuh jalan perlawanan militer, sementara Fatah inikan lebih diplomasi. Saya kira ada kecocokan antara visinya Ahmad Al-Sharaa dengan Mahmoed Abbas karena itu mereka bertemu (di Damaskus)," ungkapnya.


Melihat keadaan itu, lanjutnya, tidak ada yang menjamin perdamaian pada bangsa Palestina akan segera terjadi. Bahkan, Gus Ulil mengungkapkan rasa pesimisnya.


"Saya sih ragu berdasarkan pengalaman sebelumnya tampaknya memang negara-negara itu tidak ingin masalah Palestina selesai (untuk mencari keuntungan), itu intinya," pungkasnya.