Abu Bakar Ba’asyir di Kamus Sejarah, Pakar Linguistik: Kemendikbud Dibajak Ideologi Merongrong Negara
NU Online · Rabu, 21 April 2021 | 14:00 WIB
Muhammad Syakir NF
Penulis
Jakarta, NU Online
Buku Kamus Sejarah Indonesia Jilid I Nation Formation (1900-1950) dan Kamus Sejarah Indonesia Jilid II Nation Building (1951-1998) yang menuai polemik. Buku yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2017 itu memuat nama seseorang yang masuk keluar penjara karena terlibat dalam kasus terorisme, yakni Abu Bakar Ba’asyir, tepatnya pada jilid II di halaman 11.
Namun, narasi yang dipilih seperti menetralkan sosok yang baru saja bebas pada awal tahun 2021 itu. Buku tersebut memilih kata "dituduh" dan "dianggap". Padahal Abu Bakar Ba'asyir secara hukum terbukti mempunyai peran dan andil besar dalam gerakan-gerakan merongrong negara.
“... dituduh melakukan penghasutan dan menolak Pancasila sebagai asas tunggal dan dituduh menjadi salah satu pemimpin gerakan Jamaah Islamiyah yang dianggap memiliki hubungan dengan Al-Qaeda...”
Pakar Linguistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Makyun Subuki menyampaikan bahwa pemilihan diksi tersebut merupakan bentuk penetralan sosok yang telah berulang kali menjadi tersangka kasus terorisme itu.
“Anehnya, tokoh tertentu yang beberapa kali dipenjara karena terbukti merongrong ideologi negara --dan salinan video atau beritanya masih banyak beredar sampai saat ini-- justru dinetralisasi melalui sejumlah bentuk leksikal yang mengandaikan kesalahan itu bersifat mungkin dan tidak pasti,” katanya kepada NU Online pada Rabu (21/4).
Lebih lanjut, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) itu menyebut bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk afirmasi terhadap orang yang merongrong negara melalui wacana yang diperankan institusi negara (Kemendikbud). Tentunya, hal demikian menunjukkan bahwa Kemendikbud telah ‘dibajak’ orang-orang yang sealiran dengan tokoh tersebut.
“Afirmasi terhadap tokoh tertentu yang secara jelas merongrong dasar negara yang sah melalui saluran resmi praktik diskursif institusi negara bukan hanya tidak dapat dibenarkan, melainkan juga menunjukkan bagaimana institusi tersebut telah dibajak oleh orang yang juga memiliki ideologi yang merongrong negara,” kata alumnus Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu.
Oleh karena itu, Makyun dengan tegas menyatakan bahwa permintaan maaf tidaklah mencukupi untuk kasus tersebut. Menurutnya, hal itu harus diusut karena berkaitan dengan infiltrasi ideologi tertentu yang dapat merongrong negara.
“Pengusutan atas kemungkinan adanya infiltrasi ideologis dalam tubuh Kemendikbud harus dilakukan,” pungkasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Refleksi Akhir Safar, Songsong Datangnya Maulid
2
Gaji dan Tunjangan yang Terlalu Besar Jadi Sorotan, Ketua DPR: Tolong Awasi Kinerja Kami
3
KPK Tetapkan Wamenaker Immanuel Ebenezer dan 10 Orang Lain sebagai Tersangka Dugaan Pemerasan Sertifikat K3
4
Prabowo Minta Proses Hukum Berjalan Sepenuhnya untuk Wamenaker yang Kena OTT KPK
5
LF PBNU Rilis Data Hilal Jelang Rabiul Awal 1447 H
6
Pemerintah Berencana Tambah Utang Rp781,9 Triliun, tapi Abaikan Efisiensi Anggaran
Terkini
Lihat Semua