Internasional HAJI 2025

Nyai Badriyah Fayumi Jelaskan Fiqih Haji untuk Perempuan: dari Ihram, Thawaf, hingga Haid

NU Online  Ā·  Ahad, 25 Mei 2025 | 15:00 WIB

Nyai Badriyah Fayumi Jelaskan Fiqih Haji untuk Perempuan: dari Ihram, Thawaf, hingga Haid

Nyai Badriyah Fayumi saat menjelaskan tentang fiqih haji untuk perempuan, Sabtu (24/5/2025) di Makkah, Arab Saudi. (Foto: MCH 2025/Andi Ardi)

Makkah, NU Online

Mustasyar Diny PPIH Arab Saudi Nyai Hj Badriyah Fayumi menjelaskan sejumlah poin penting terkait fiqih haji untuk perempuan. Menurutnya, kodrat dan kondisi fisiologis perempuan berbeda dengan laki-laki, sehingga perlu ada tuntutan dan manasik tersendiri bagi jamaah haji perempuan.


Pertama, soal jihadnya seorang perempuan. Ia menerangkan sebuah riwayat hadits dari Aisyah yang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang jihadnya perempuan. Sebab saat itu perempuan dilarang berperang bersama Rasulullah.


Kedudukan khusus untuk perempuan

Bagi perempuan, kata Nyai Badriyah, haji dan umrah memiliki kedudukan khusus dalam syariat Islam. Suatu kali Ummul mukminin Aisyah bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah para laki-laki bisa berjihad berperang denganmu, kami perempuan ini apa ini jihadnya? Apakah kami wajib berjihad?" tanya Aisyah.


Nabi Muhammad kemudian menjawab, "Ya bagi perempuan ada kewajiban berjihad yang tidak ada peperangan di sana, yaitu haji dan umrah".


Hadits ini, kata Nyai Badriyah, sekaligus menjelaskan bahwa jihad tidak selalu diartikan perang.


Nyai Badriyah menjelaskan, mengapa haji dan umrah menjadi jihad bagi perempuan? Kalau sekarang perjalanan haji pendek, kalau dahulu bisa sampai satu tahun, perjalanannya luar biasa. Berpisah dengan keluarga dalam waktu yang lama bukan suatu pengorbanan kecil bagi perempuan.


"Sungguh sayang jika jihad ini tidak dimanfaatkan oleh kaum perempuan itu sendiri," ucap Nyai Badriyah Fayumi di Makkah, Arab Saudi, pada Sabtu (24/5/2025).


Haid dan thawaf

Ia menerangkan, fiqih haji perempuan ini perlu dibahas secara khusus. Sebab Allah menciptakan perempuan dan laki-laki berbeda, organ reproduksinya berbeda. Perempuan haid, nifas, melahirkan, sedangkan laki-laki tidak.


"Perbedaan fisik ini lalu berdampak pada perbedaan hukum, termasuk perbedaan dalam hukum haji, perbedaan tata cara ihram, perbedaan juga ketika perempuan mengalami haid pada saat thawaf ifadhah, thawaf umrah, thawaf wada, dan sebagainya," kata Pengasuh Pesantren Mahasina Bekasi, Jawa Barat ini.


Secara sosiologis, kata Nyai Badriyah, jamaah haji perempuan banyak, sehingga sama penting dengan laki-laki untuk mendapatkan ilmu, pencerahan, dan bimbingan agar haji mereka mendapat haji mabrur.


Apalagi tahun ini, imbuhnya, dari 221.000 jamaah haji, 120.000 di antaranya jamaah haji perempuan. Karena itu, membimbing ibadah perempuan tentu saja penting diketahui laki-laki karena banyak perempuan yang pergi haji bersama suaminya atau keluarganya.


Nyai Badriyah mengungkapkan persoalan yang ia temui sebagai Mustasyar Diny, baik terkait kain ihram, thawaf Ifadah, dan lainnya. Kalau diklaster, kata Nyai Badriyah, ada dua persoalan besar.


Pertama, persoalan perempuan haid dan thawaf. Bagaimana jika perempuan dari tanah air, sudah ihram, kemudian haid dari tanah suci dan haidnya belum suci hingga ke tanah suci?


"Dalam kondisi tersebut, kepada mereka, silakan tetap berihram. Penuhi larangan dan kewajiban ihram, tapi jangan thawaf dulu. Tunggu di hotelnya masing-masing sampai bersuci, kalau masih sampai cukup waktu tunggu sampai benar-benar suci," jelas Nyai Badriyah.


Kalau waktunya mepet masih haid dan masih keluar sedikit-sedikit darah, kata Nyai Badriyah, maka ubah niat dari haji tamattu menjadi niat qiran.


"Jadi pergi haji dulu, laksanakan semua amaliyah haji sampai nanti tahalul setelah lempar jumrah aqabah, kemudian kita menunggu tahalul awal, menunggu suci, kemudian niat ihram umrah dan haji sebagaimana yang kita lakukan dalam niat haji qiran," jelas Nyai Badriyah.


Kemudian, bagaimana untuk perempuan yang masih haid ketika sudah harus meninggalkan tanah suci padahal belum thawaf wada?


'Mereka tidak wajib thawaf wada dan tidak dikenakan dam. Karena haid itu dari Allah dan kepulangan ke tanah air tidak bisa dinego-nego," terang Nyai Badriyah.


Bagaimana jika perempuan sudah mepet dan sudah harus pulang jamaah haji kloter-kloter awal dan belum sempat thawaf ifadhah atau waktu thawaf ifadhahnya mepet padahal masih haid?


"Jangan sedih, haid ini dari Allah dan thawaf ifadhah juga kewajiban dari Allah dan Allah tidak akan memberatkan hambanya," kata Nyai Badriyah.


Maka, lanjutnya, ada pilihan bagi perempuan ketika harus sudah pulang dan belum suci-suci banget.


Pilihan pertama, carilah waktu ketika haidnya sedikit atau mungkin tidak ada. Lalu pergilah thawaf dan sa'i, kemudian selesai tahalul yang kedua, kemudian tidak kena dam.


Kalau ternyata masih sedikit-sedikit dan harus pulang, lanjut Nyai Badriyah, maka itu adalah uzur syar'i di luar batas kemampuan seseorang seperti kayak orang yang wajib shalat tapi ternyata terkena daimul hadats.


"Maka tetap lakukan banyak berzikir banyak beristighfar insyaallah Allah akan tetap menerima ibadah kita karena haid itu bagian dari ketentuan Allah bagi kaum perempuan," ucap Nyai Badriyah.


"Jadi jangan pernah dijadikan persoalan antara haid dengan thawaf, baik thawaf umrah, ifadhah, dan thawaf wada. Insyaallah semua ada solusinya dan jamaah haji perempuan tetap mendapatkan haji mabrur," lanjutnya.


Ihram bagi perempuan

Klaster kedua, hal yang boleh dan tidak boleh dalam berihram. Untuk perempuan disarankan menggunakan diaperĀ atau pembalut pada saat ihram pada saat puncak haji.


"Kami sarankan kepada jamaah haji perempuan pada saat perjalanan Armuzna nanti untuk memakai pampers atau minimal pembalut," ucap Nyai Badriyah.


Begitu juga saat mabit di Mina, meskipun tidak sedang haid. Nyai Badriyah mengatakan hal itu penting untuk menjaga kebersihan dan kesucian pakaian. Ia juga menyebut hal itu akan memudahkan jamaah wanita karena jumlah toilet yang terbatas.


Kalau sewaktu-waktu jalanan macet, jamaah kebelet dan antrenya panjang atau bahkan tidak bisa turun.


"Kita pernah mengalami peristiwa Muzdalifah yang di luar dugaan seperti itu, maka menggunakan diaper (pampers) insyaallah sedikit membantu," jelas Nyai Badriyah.


Ia mengatakan jumlah toilet di Mina dan Arafah antara laki-laki dan perempuan relatif sama. Namun, katanya, sebagian toilet laki-laki dilengkapi urinoir sehingga memudahkan.


"Jumlah jamaah perempuan lebih banyak. Ini pasti membutuhkan waktu yang lebih banyak. Maka agar kita tidak terjatuh dalam perdebatan yang tidak perlu, kita tidak terpancing emosinya, maka insyaallah pampers dan pembalut ini sangat membantu," jelas Nyai Badriyah.


"Kita tetap antre tapi kalau tidak kuat, kebelet, kita bisa tumpahkan sambil antre dan ketika di dalam kita tinggal ganti pembalut atau pampers-nya. Ini tidak ada kaitan apapun dengan pelanggaran ihram perempuan," tambahnya.


Kemudian, Nyai Badriyah menjelaskan tentang beberapa larangan ihram. Secara fiqih, perempuan tidak diperkenankan menutup wajah dan telapak tangan saat ihram. Namun dalam kondisi tertentu seperti cuaca ekstrem atau risiko penularan penyakit ISPA, penggunaan masker diperbolehkan.


"Kalau demi menjaga kesehatan, itu tidak mengapa. Tapi kalau ingin lebih berhati-hati, bisa membayar fidyah dengan puasa tiga hari atau sedekah kepada enam fakir miskin," kata Nyai Badriyah.


Adapun membuka jilbab di hadapan sesama perempuan saat ihram tidak termasuk pelanggaran. Namun tetap disarankan menjaga aurat selama ihram sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah.


Nyai Badriyah mengingatkan bahwa menjelang Armuzna, banyak aktivitas fisik menanti. Oleh karena itu, jamaah—khususnya perempuan—dianjurkan menyimpan tenaga.


"Kita masih punya waktu dua pekan menuju Armuzna. Gunakan waktu ini untuk ibadah yang ringan tapi berpahala besar, seperti zikir, tadarus, sedekah, doa, sabar, dan pengendalian diri," jelasnya.


Tak jarang, perbedaan pendapat fiqih menjadi bahan perdebatan di kalangan jamaah. Nyai Badriyah mengimbau agar hal ini dihindari. Pilihlah pendapat yang paling menenangkan hati, sehingga tidak menghabiskan waktu untuk memperdebatkan hal yang tidak perlu. Fokuslah pada niat dan keikhlasan. Ia juga mengajak jamaah perempuan untuk menjadikan wukuf sebagai titik balik spiritual.


"Ketika kita lelah berjalan menuju Jamarat, niatkan sebagai langkah menuju Allah. Ketika kita melepaskan kenyamanan saat ihram, niatkan sebagai tanda cinta kepada-Nya. Semoga semua pengorbanan ini mengantarkan kita menjadi haji yang mabrur," pungkas Nyai Badriyah.