Setiap tahun, setiap pada tanggal 12 Rabiul Awal --tahun ini bertepatan dengan 5 September 2025-- riwayat dan perjalanan hidup Nabi Muhammad, SAW --untuk selanjutnya ditulis Nabi atau Sang Nabi--selalu diperingati oleh umat Islam dalam pelbagai bentuk dan ekspresi. Riwayat hidup dan pesan-pesan ajarannya diurai oleh sejumlah penceramah agama di pelbagai tempat di Indonesia dan dunia yang berpenduduk Muslim. Keimanan umat Islam pada Nabinya merupakan satu paket keimanan pada Tuhannya.
Tetapi ada yang sering luput saat mengingat kelahiran Sang Nabi tersebut, yakni kehadiran riwayat seorang perempuan yang sangat dekat dengan hati Nabi, yakni Siti Khadijah. Dialah seorang perempuan, sebagaimana yang digambarkan oleh Ali Syariati sebagai pelindung, penasehat, kekasih hati dan cinta seorang ibu yang sebelumnya tak dimilikinya. Bersamanya, Nabi hidup selama 25 tahun sebagai suami-istri dengan penuh cinta dan segenap kepercayaan dalam mengemban pesan-pesan ilahi untuk diperjuangkan dan menjadi nyata di muka bumi.
Siapakah Khadijah sebelum ia menikah dengan Nabi? Khadijah lahir di Makkah, sekitar tahun 555 M. Ia adalah Puteri Khuwailid bin As'ad dimana garis keturunan kakeknya masih bersambung dengan Nabi, terutama dari garis keturunan Bani Hasyim. Ayahnya, Khuwailid dikenal sebagai seorang saudagar kaya yang berniaga ke Syiria dan Yaman beserta kafilah lainnya. Ia memperdagangkan kuda dan hasil bumi yang ditukar dengan gandum, minyak zaitun, buah-buahan, kopi, tekstil dan barang-barang mewah lainnya.
Setelah kedua orang tuanya wafat, Khadijah mewarisi harta peninggalannya dan dikembangkan kembali melalui perdagangan yang sama. Hanya saja, perdagangan ini tidak dilakukannya secara sendirian, melainkan oleh agen terpercaya yang ia tunjuk. Khadijah kemudian terkenal sebagai perempuan terkaya di Makkah dan dijuluki sebagai Putri Makkah (the Princess of Makka).
Sebelum Khadijah menikah dengan Nabi, ia telah dua kali menikah. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Khadijah berpandangan bahwa orang-orang yang melamarnya tersebut karena semata-mata memandang hartanya, bukan ketulusan karena mereka mencintainya. Semenjak kematian suami keduanya, ia mengangkat orang yang bisa membantu perniagaannya.
Abu Thalib, paman yang mengasuh Nabi, mengetahui bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam (Suriah). Ia memanggil keponakannya yang ketika itu sudah berumur dua puluh lima tahun.
"Anakku," kata Abu Thalib, "Aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Setujukah kau kalau hal ini aku bicarakan dengan dia?"
"Terserah paman," jawab Muhammad.
Abu Thalib pun pergi mengunjungi Khadijah.
"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Thalib.
"Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad, aku tidak setuju kurang dari empat ekor. "
"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai."
Demikian jawab Khadijah (Muhammad Husain Haekal: 2003: 62-63).
Selain itu, Muhammad telah dikenal di penjuru Makkah sebagai al-Amin, orang yang dapat dipercaya, jujur dan dapat diandalkan. Kabar ini tersiar dari orang-orang yang telah bekerja bersamanya dalam berniaga dan dari keluarganya di Makkah yang mengenal Muhammad.
Muhammad pun pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan kejujuran dan kemampuannya, Muhammad mampu memperdagangkan barang-barang Khadijah dengan cara yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Setelah tiba waktunya akan kembali ke Makkah, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah (Muhammad Husain Haekal: 2003: 64).
Muhammad kembali ke Makkah dan tiba pada tengah hari. Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya. Ia turun dan menyambutnya serta didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta keuntungan yang diperolehnya.
Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkannya. Setelah itu, Maisara pun datang yang menceritakan tentang pribadi Muhammad yang halus wataknya, tinggi budi pekertinya yang menambah pengetahuan tentang Muhammad yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Makkah yang besar jasanya (Muhammad Husain Haekal: 2003: 64; Martin Lings: 1991:53-54).
Begitu Muhammad pergi, kegembiraan Khadijah telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga ia tertarik untuk menikahi pemuda ini dimana tutur katanya telah menembus jantung hatinya. Ia membicarakan hal ini kepada sahabatnya Nufaisah binti Munya untuk menjajagi kemungkinan Muhammad menikah dengan Khadijah.
Nufaisah datang kepada Muhammad dan bertanya:
"Mengapa Anda belum menikah? "
"Aku tidak memiliki apa pun untuk berumah tangga," jawab Muhammad.
"Jika itu disediakan dan yang melamarmu seorang perempuan cantik, terhormat dan berlimpah harta, apakah Engkau bersedia?" kata Nufaisah.
"Siapakah dia?" tanya Muhammad.
Nufaisah menjawab dengan sepatah kata: "Khadijah."
"Dengan cara bagaimana? " Tanya Muhammad.
"Serahkan hal itu kepadaku", jawab Nufaisah. Maka Muhammad pun menyatakan kesediannya.
"Baiklah, dari pihakku bersedia."
Nufaisah kembali kepada Khadijah untuk menyampaikan beritanya. Setelah itu, Khadijah menyuruh Nufaisyah memanggil Muhammad agar datang kepadanya. Muhammad pun datang dan Khadijah berkata kepadanya:
"Putra pamanku, aku mencintaimu karena kebaikanmu kepadaku, juga karena engkau selalu terlihat dalam segala urusan di tengah masyarakat dengan bersikap adil. Aku menyukaimu karena engkau dapat diandalkan, juga karena keluhuran budi dan kejujuran perkataanmu."
Baca Juga
Khutbah Menyambut Peringatan Maulid Nabi
Kemudian, Khadijah menawarkan dirinya untuk dinikahi.
Mereka pun sepakat agar masing-masing berbicara kepada pamannya. Khadijah diwakili oleh Pamannya Umar bin Asad, karena Khuwailid, ayahnya telah meninggal dunia. Sementara dari pihak Nabi, Hamzah yang diutus untuk melamar Khadijah. Kesepakatan dicapai diantara mereka bahwa Muhammad harus memberinya mahar dua puluh ekor unta betina (Muhammad Husain Haekal: 2003: 64; Martin Lings: 1991: 53-54).
Setelah keduanya menikah, Nabi pun meninggalkan rumah pamannya dan tinggal di rumah Khadijah. Bersama Khadijah, Nabi menemukan teladan perempuan terbaik yang telah melahirkan enam anak-anaknya; dua putera dan empat puteri. Putra sulungnya diberi nama Qasim, dan Nabi Muhammad di kenal sebagai Abu al-Qasim. Namun, ia meninggal di usia dua tahun. Disusul puteri-puterinya bernama Zaynab, Ruqayyah, Umm Kultsum dan Fatimah, dan yang terakhir Abdullah yang juga tak berusia panjang (Muhammad Husain Haekal: 2003: 73; Martin Lings: 1991: 55).
***
Setelah Khadijah berumah tangga dengan Nabi, beberapa peristiwa kenabian terjadi pada masa ini. Pada 610 M, Nabi menerima wahyu pertama dari Malaikat Jibril ketika ia berkhalwat atau bertakhannus di Gua Hira. Saat Nabi memperoleh wahyu pertama, Nabi mengalami kegoncangan dan ketakutan. Khadijah adalah orang yang pertama kali diberitahu dengan tubuh yang gemetar sambil berkata:
"Selimuti aku! Selimuti aku!". Dipenuhi rasa cemas, tetapi tak berani bertanya kepada Nabi, Khadijah cepat-cepat membawakan selimut dan menyelimutinya. Ketika rasa takutnya telah mereda, Nabi menceritakan kepada istrinya apa yang telah dilihat dan didengarnya.
Setelah mendengar cerita dari Nabi, Khadijah pun berkata:
"Oh putra pamanku. Bergembiralah dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya Engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Sama sekali Allah tak akan mencemoohkan Engkau, sebab Engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu serta menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar."
Nabi pun merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan penuh kasih dan rasa terima kasih yang dalam. Tatkala Nabi sedang tidur, Khadijah mendatangi sepupunya, Waraqah bin Naufal. Waraqah adalah penganut Nasrani yang menerjemahkan kitab Bible ke dalam bahasa Arab. Waraqah, sebagaimana sebagian keturunan Bani Hasyim lainnya mempraktikkan ajaran hanif, sebuah ajaran dan tradisi keberagamaan yang diajarkan dan diwarisi dari Nabi Ibrahim.
Waraqah menanggapi apa yang disampaikan Khadijah sebagai berikut: "Quddus! Quddus! " kata Waraqah. "Demi Tuhan yang menguasai jiwaku, yang menguasai Muhammad adalah Namus yang terbesar, yang dulu juga mendatangi Musa. Sungguh, Muhammad adalah nabi bagi kaumnya. Katakan kepadanya supaya ia tetap tabah. " (Muhammad Husain Haekal: 2003: 83; Martin Lings: 1991: 68).
Dalam kesempatan lain, Waraqah juga pernah berkata langsung kepada Nabi:
"Demi Dia yang memegang hidup Waraqah. Engkau adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahuiNya pula."(Muhammad Husain Haekal: 2003: 85)
Lalu Waraqah mendekatkan kepalanya dan mencium ubun-ubun Nabi. Nabi pun merasakan adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqah tersebut. Tetapi ia merasa betapa berat tanggung jawabnya, karena harus menyiarkan ajaran yang ia peroleh dari wahyu yang diterimanya.
Khadijah adalah perempuan pertama yang mengakui kenabian Nabi, karena ia yang paling mengetahui kualitas kemanusiaannya, tidak pernah berbohong (al-amin), tidak pernah mengejar harta untuk kepentingan pribadi, pun juga tidak gila kuasa. Ia juga yang pertama kali memeluk agama Islam dan yang pertama kali pula diajarkan oleh Nabi tata cara shalat.
Ia perempuan istimewa yang secara khusus mendapatkan salam dari Malaikat Jibril yang kala itu menyerupai bentuk aslinya yang dititipkan kepada Nabi.
"Wahai Khadijah, di sini ada Jibril yang menyampaikan salam kepadamu dari Tuhanmu. "
Khadijah menjawab,
"Tuhan adalah kedamaian, dan bagiNya kedamaian, serta kedamaian atas Jibril! "(Martin Lings: 1991: 75).
***
Pada 619 Masehi, Khadijah wafat pada usia 65 tahun. Pada saat itu, Nabi berusia 50 tahun dan pada tahun ke-10 kenabian. Keduanya telah hidup bersama secara harmonis selama 25 tahun. Meninggalnya Khadijah --juga pamannya yang selama hidupnya melindungi beliau, Abu Thalib--disebut dalam sejarah hidup Nabi sebagai Tahun Duka Cita dan kesedihan atau 'Amul Huzni'.
Ali Syariati (1980) menulis mengapa kesedihan itu terjadi, karena bersama Khadijah, Nabi menghadapi ketakutan, bahaya, kesepian, tahun-tahun kebencian dan permusuhan, pertempuran dan perjuangan. Nabi juga telah kehilangan pelindungnya, teman menderitanya yang penuh kasih sayang, cinta, iman, pengorbanan dan kekayaan ketika Nabi sangat membutuhkannya.
Sepeninggal Khadijah, Nabi melanjutkan hidupnya dengan mempunyai beberapa istri, diantaranya adalah Siti Aisyah. Dalam kelanjutan rumah tangga tersebut, Nabi sering mengingat dan membicarakan Khadijah yang membuat Siti Aisyah cemburu. Tatkala kecemburuan Siti Aisyah itu muncul, Nabi berkata:
"Allah tidak memberiku yang lebih baik dari Khadijah. Ia mempercayaiku di saat orang lain menolakku. Ia serahkan semua hartanya untuk mengabdi kepada-Ku ketika orang lain menahan harta mereka dariku. Ia juga telah memberiku keturunan melalui rahimnya (Sayid AA Razwi: 2002: 171).
***
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari keteladanan Siti Khadijah? Jauh sebelum adanya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang merupakan Perjanjian Internasional yang diadopsi PBB pada 1979 dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 7 tahun 1984, Khadijah telah mempraktikan hidupnya sebagai manusia utuh yang tak mengalami diskriminasi karena jenis kelaminnya sebagai manusia yang berjenis kelamin perempuan.
Ia berdaya secara ekonomi dan yang menentukan dirinya dengan siapa ia harus menikah. Ia juga perempuan yang pertama kali menyatakan ketertarikannya kepada Nabi dan ketertarikan itu bukan karena harta maupun kekuasaan, melainkan laki-laki yang dipilihnya adalah orang memiliki budi pekerti yang luhur dan terpercaya.
Bersama Nabi, Khadijah bukanlah semata-mata sebagai istri yang melayani kebutuhan harian suami dalam urusan domestik dan melahirkan anak-anaknya. Lebih dari itu, Khadijah adalah sahabat seperjuangan dimana Nabi meminta pelbagai pertimbangan dalam mengambil keputusan dan sahabat dalam berdialog dan berstrategi. Bahkan, sebagian besar harta Khadijah diperuntukkan untuk perjuangan menegakkan kebenaran dan menyebarkan kemaslahatan dan kebaikan.
Saat ini dan masa depan, kita masih membutuhkan figur 'Khadijah-Khadijah baru'. Menumbuhkan keberadaan figur tersebut perlu suatu ekosistem yang kondusif mulai dari keluarga, pasangan hidup, kultur masyarakat dan sistem bernegara. Wallahu A'lam!
Neng Dara Affiah, sosiolog, dosen, penulis, terlibat aktif dalam kerja-kerja keagamaan dan kebudayaan serta kerja-kerja hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak asasi perempuan