Nasional

Seribu Bayang Purnama, Film tentang Problematika Pertanian Masa Kini

Kamis, 26 Juni 2025 | 15:21 WIB

Seribu Bayang Purnama, Film tentang Problematika Pertanian Masa Kini

Press Screening dan Press Conference film Seribu Bayang Purnama di Metropole XXI, Jakarta, Kamis (26/6/2025) (Foto: Zunus/NU Online)

Jakarta, NU Online
Film berjudul Seribu Bayang Purnama lahir dari persoalan pertanian yang kompleks sebagai upaya edukasi dan alternatif solusi.


"Persoalan sektor pertanian yang itu terjadi terlalu lama. Petani termarjinalisasi karena kapitalisasi pertanian," ujar Yahdi Jamhur, sutradara film, saat Press Screening dan Press Conference di Metropole XXI, Jakarta, Kamis (26/6/2025).


Ia menyebut, petani rata-rata berusia di atas 40 tahun. Sementara petani dengan usia di bawah 40 tahun, sangat sedikit. Hal ini karena regenerasi petani tidak terjadi. Dan diprediksi 2035 bisa habis petani Indonesia. 

 

"Gak ada yang mau jadi petani," ujarnya.


Oleh karena itu, judul Seribu bayang Purnama dipilih sebagai simbol tokoh Putro yang melahirkan seribu petani baru dan terus lahir petani-petani baru yang mengolah pertaniannya dengan cara alami.


"Simbol karakter petani kita ke depan. Bayang-bayang si Putro ini yang menuntun petani sebagai pilihan bukan karena terpaksa," lanjutnya.


Yahdi berharap, film Seribu Bayang Purnama hasil karyanya ini, juga dapat menginspirasi generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian seperti yang dicontohkan Putro Hari Purnomo, tokoh utama film ini.


"Putro adalah seorang pemuda yang bertekad kembali dari kota ke kampung halamannya, untuk menggerakkan para petani agar ikut menerapkan metode pertanian alami," tegasnya.


Film ini lahir sutradara dengan pengalamannya yang cukup panjang sebagai jurnalis TV dan pembuat film-film dokumenter. Film ini dibuat dengan mengambil lokasi di desa-desa di Yogyakarta ini, dipenuhi dengan gambar-gambar sinematik yang indah dan eksotis, yang dapat membuat para penonton merasa seakan berada di alam pedesaan yang mengingatkan akan akar budayanya.


Film Seribu Bayang Purnama akan tayang serentak di jaringan bioskop nasional mulai tanggal 3 Juli 2025, seperti XXI, CGV, CINEPOLIS, dan SAM'S STUDIO.


Disebutkan juga oleh Yahdi, bahwa seluruh keuntungan tiket Film Seribu Bayang Purnama akan digunakan sepenuhnya untuk menjalankan program pemberdayaan petani.


Film ini juga diklaim sebagai film pertama dalam sejarah perfilman Indonesia yang mengangkat tema pertanian. Film layar lebar yang mengangkat sepenuhnya problematika para petani di pedesaan masa kini, yang mungkin tidak banyak diketahui oleh masyarakat perkotaan.


Di dalam film ini diceritakan bagaimana sulitnya para petani memperoleh modal untuk mengolah lahan mereka, antara lain karena mahalnya harga pupuk dan pestisida kimia yang sudah biasa digunakan para petani. Akibatnya, para petani terperosok ke dalam jeratan para rentenir yang menerapkan bunga pinjaman selangit, sehingga para petani pun hidup dalam lingkaran kemiskinan yang tak berkesudahan.


Nasib para petani yang kurang beruntung inilah, yang menginspirasi Yahdi Jamhur, sutradara film Seribu Bayang Purnama, untuk mengangkat kegelisahan para petani masa kini ke dalam sebuah film, dengan harapan masyarakat luas dapat lebih memahami derita para petani. Lantaran para petani inilah, yang menjadi tiang utama atau tulang punggung pengadaan pangan secara nasional.


Keinginan membuat film Seribu Bayang Purnama, dipicu oleh tantangan dan dukungan penuh dari produser eksekutif film ini, Joao Mota seorang penggiat pertanian alami dan sosok yang sangat peduli dengan pertanian dan nasib petani Indonesia datang membawa ide cerita, kisah sukses seorang petani muda di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berhasil mempelopori Metode Tani Nusantara, sebuah metode pertanian alami yang mudah, murah dan sederhana.


Dengan menerapkan metode tersebut, para petani tidak perlu lagi bergantung kepada para rentenir dan pupuk pestisida pabrikan berbahan baku kimia yang harganya cukup mahal serta bisa menekan biaya pertanian hingga 80 persen.


Namun untuk menerapkan metode pertanian alami di desa yang sudah sangat bergantung pada pupuk dan pestisida pabrikan, tentunya tidak mudah. Perjuangan para perintis metode pertanian alami pastinya mendapatkan perlawanan keras dari juragan penjual pupuk kimia pabrikan, seperti yang digambarkan dalam film Seribu Bayang Purnama. Konflik antara pejuang tani alami dengan juragan pupuk pabrikan, yang diwarnai kisah cinta yang juga problematik, menjadi bagian paling menarik dalam film ini.


Film produksi Baraka Film ini didukung alur cerita dan penokohan yang kuat, melalui skenario yang ditulis oleh Swastika Nohara, yang pernah meraih dua Piala Maya untuk kategori Penulis Skenario Terpilih, serta nominasi sebagai penulis skenario terbaik pada ajang bergengsi FFI 2014.