Jakarta, NU Online
Dalam laporan tahunan pada 2017, Transparansi Internasional menyusun peringkat 180 negara di dunia dengan basis penilaian terkait layanan publik disebuah negara. Dari 180 negara, Indonesia berada di peringkat ke-96. Sementara indeks persepsi korupsi pada 2016, Indonesia berada di perangkat ke-90 dari 176 negara.
Persoalan korupsi di Indonesia masih menjadi perhatian serius. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang khusus menangani kasus-kasus korupsi sering kali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pejabat negara.
Pemberitaan tentang penangkapan pejabat negara pun seperti bukan berita baru. Terakhir, tepatnya pada Rabu (28/2), KPK kembali berhasil melakukan OTT kepada Wali Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Atriatma Dwi Putra.
Menanggapi hal tersebut, Ketua PBNU bidang Hukum H Robikin Emhas mengungkapkan bahwa merebaknya tindak korupsi di Indonesia akibat dari sistem demokrasi yang cenderung liberal.
"Kita sudah sangat liberal, maka berdampak pada biaya politik yang mahal," kata Robikin, Rabu (28/2) di Jakarta.
Menurutnya, tingginya biaya politik tercermin dari maraknya politik uang dalam Pilkada. "Saya kira itu tidak boleh terus dibiarkan," ujarnya.
Menurutnya, dalam upaya menyelesaikan persoalan korupsi yang melanda Indonesia bisa dilakukan dengan dua cara.
Pertama di tingkat pemerintah. Pemerintah harus membangun sistem yang transparan dan akuntabel serta harus menempatkan orang yang mempunyai integritas moral yang tinggi.
Begitu juga di masyarakat, katanya melanjutkan, korupsi yang terjadi di tingkat bawah dalam hal politik uang adalah perilaku yang ditularkan oleh para elit.
"Maka para elit harus memberikan tauladan yang diawali dengan komitmen untuk tidak melakukan money politic. Hampir bisa dipastikan koruptor yang melibatkan kepala daerah muaranya tidak jauh dari politik biaya tinggi," jelasnya.
Ia berharap agar sistem rekruitmen politik dibangun dengan biaya yang rendah.
Menurutnya, demokrasi yang cenderung liberal akan menjadikan uang sebagai penentu kemenangan. Uang merupakan modal politik dalam pemilihan umum (Pemilu), khususnya Pilkada yang akan melahirkan perilaku korupsi untuk mengembalikan modal.
"Nah, ini kan cara berpikir yang sedari awal salah dan harus dihentikan. Baik dihentikan oleh sistemnya maupun aktor-aktornya," katanya.
Kedua, penegakkan hukum. Ia mengapresiasi dan terus mendukung penegak hukum agar dalam menjalankan tugasnya menjadi lebih profesional dan akuntabel terhadap seluruh pelaku korupsi, dari korupsi tingkat rendah hingga korupsi yang banyak merugikan uang negara.
"Lebih-lebih korupsi kelas kakap," katanya. (Husni Sahal/Fathoni)