Ketua MPR Tegaskan Wakaf Harus Jadi Instrumen Pembangunan Nasional
Selasa, 5 Agustus 2025 | 19:00 WIB

Ketua MPR RI Ahmad Muzani saat menghadiri Rakernas BWI 2025 di Jakarta, pada Selasa (5/8/2025). (Foto: NU Online/Fathur)
Jakarta, NU Online
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Ahmad Muzani menegaskan bahwa wakaf harus naik kelas, dari urusan ibadah personal menjadi instrumen pembangunan nasional.
Hal ini disampaikan dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional Badan Wakaf Indonesia (Rakernas BWI) di Hotel Pullman Jalan M.H. Thamrin 59, Jakarta, Selasa (5/8/2025).
"Banyak masyarakat ingin mewakafkan harta, tapi tidak tahu ke mana. Mereka bingung, lembaga mana yang bisa dipercaya dan apakah wakafnya akan produktif. Di sinilah peran negara, dan BWI harus tampil di garis depan," tegas Muzani.
Muzani mengapresiasi inisiatif BWI dan Kementerian Agama yang tengah menyiapkan draf revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Menurutnya, regulasi tersebut sudah tidak memadai untuk menjawab tantangan zaman dan potensi besar wakaf saat ini.
"Saya akan dorong di DPR agar revisi ini jadi prioritas legislasi. BWI perlu diperkuat secara kelembagaan agar bisa mengelola aset wakaf secara lebih profesional, bahkan menjadi lembaga investasi umat," ujarnya.
Muzani mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui pembangunan Gedung Lembaga Dana Abadi Umat (LBDU) yang akan menjadi pusat layanan semua lembaga umat, termasuk BAZNAS dan BWI.
Baca Juga
Dalil Pensyariatan dan Keutamaan Wakaf
"Gedung itu akan berdiri megah di pusat kota. Ini bentuk komitmen pemerintah terhadap pengelolaan dana umat secara modern dan transparan," jelasnya.
Dalam forum yang sama, Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa umat Islam selama ini terlalu terpaku pada zakat sebagai instrumen utama ekonomi keumatan, padahal wakaf memiliki daya ungkit sosial yang jauh lebih besar jika dikelola dengan baik.
"Zakat itu hanya 2,5 persen dari kekayaan. Tapi kalau wakaf, tidak terbatas. Bayangkan jika potensi instrumen seperti wakaf, hibah, wasiat, fidyah, dam, dan sebagainya dikumpulkan, kita bisa punya dana hingga Rp500 triliun per tahun," ungkap Nasaruddin.
Ia mencontohkan pengalaman negara-negara Timur Tengah seperti Yordania dan Kuwait yang telah menerapkan sistem pemotongan otomatis dari transaksi digital untuk wakaf. Menurutnya, Indonesia pun bisa membuat sistem serupa, bahkan lebih besar skalanya.
Nasaruddin menegaskan bahwa wakaf tidak boleh berhenti di pembangunan masjid atau makam, melainkan harus menyasar bidang strategis seperti sekolah rakyat, koperasi merah putih, makanan bergizi, dan cek kesehatan gratis.
"Mayoritas penerima manfaat itu orang miskin. Wakaf bisa jadi instrumen untuk melunakkan ketimpangan, mengisi kekosongan peran negara dalam sektor tertentu," katanya.
Menag menegaskan, lembaga wakaf harus dibangun seperti zaman peradaban Islam klasik.
"Masa keemasan Islam dahulu tidak dibangun oleh kekuatan militer atau politik, melainkan oleh sistem wakaf yang berkeadilan dan berpihak pada ilmu pengetahuan," kata Menag Nasaruddin.