Humanitarian Islam Jadi Hal yang Harus Diikhtiarkan dalam Konteks Esklasi Tertentu
Ahad, 27 Juli 2025 | 10:00 WIB

Direktur Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam dalam diskusi Forum Kramat di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (25/7/2025). (Foto: tangkapan layar kanal Youtube TVNU)
Jakarta, NU Online
Humanitarian Islam yang dalam situasi umum tampak biasa akan menjadi hal yang harus diikhtiarkan pada konteks tertentu. Hal demikian disampaikan Ahmad Khoirul Umam, Direktur Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Paramadina, pada diskusi Forum Kramat di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya 164, Jakarta.
"Dalam konteks humanitarian Islam yang ditawarkan oleh Nahdlatul Ulama, bagi kelompok tertentu, bagi kalangan tertentu mungkin dianggap understimate, yang biasa biasa. Humanitarian Islam, kemanusiaan, dalam situasi umum, ordinary situation itu biasa, tetapi dalam satu eskalasi tertentu dia menjadi hal yang harus diikhtiarkan," ujarnya pada Jumat (25/7/2025).
Perkembangan konflik global per hari ini yang mengalami eskalasi semakin kuat selaras dengan munculnya tren kemunduran demokrasi serta kemunduran multilateralisme di tingkat dunia. Di situlah, agama dapat berperan memberikan bentuk dan arah yang lebih baik di dalam konteks dinamika global. Ia menyampaikan bahwa dalam tradisi studi kajian internasional agama selalu menjadi fondasi utama.
"Ada kecenderungan dalam tradisi studi kajian internasional, termasuk Hubungan Internasional bahwa bahkan HI pertama itu lahir dari diskursus dinamika perdebatan tentang agama di Eropa," ujar pria yang menamatkan studi master dan doktornya di Australia itu.
Ia mencontohkan kedaulatan Eropa yang mengalami dinamika hebat karena faktor agama. Perang antara Vatikan dan negara-negara di masanya, misalnya, menggunakan formalisasi syariat Katolik dengan kekuatan. Hal itu dalam perkembangannya memunculkan kebebasan beragama bagi masyarakat Eropa.
"Tidak harus tumbuh dan diorientasikan, tetapi memberikan ruang bagi mereka kalau mau menjalankan syariat Kristiani secara umum. Dan itu membentuk konsep yang mana akarnya adalah kajian agama," ungkap Khoirul.
Khoirul berpendapat bahwa di dalam konteks kajian internasional, Nahdlatul Ulama sudah melakukannya melalui Religion of Twenty (R-20) dan juga Interfaith Dialogue yang dapat memperkuat tradisi konstruktif.
"Maka NU sebagai bagian dari islamic base civil society (basis masyarakat sipil Islam) harus ngambil peran yang kuat. NU tetap dalam khittah yang harus dijaga dan sama-sama harus diikhtiarkan," ujarnya.
Menurut Khoirul, tidak banyak basis sosial masyarakat Islam yang mampu melakukan peran tersebut, sedangkan NU sudah melangkah lebih maju. Maka hal tersebut, kata Khoirul, harus terus dilanjutkan.
"NU ini adalah bagian dari social capital (modal sosial) kita. Kalau kita bisa melakukan ini dengan baik, saya pikir ini menjadi distinctive action (aksi khusus) yang akan diapresiasi oleh bukan hanya masyarakat nasional tetapi juga global," pungkasnya.