Ekosistem Hukum Dinilai Bermasalah, Perempuan Perlu Terhubung dengan Gerakan Masyarakat Sipil
Selasa, 29 April 2025 | 21:00 WIB

Dialog Publik Peringatan Hari Kartini bertajuk Jalan Terjal Kepemimpinan Politik Perempuan di Era Pemerintahan Prabowo di Hotel AONE, Jakarta Pusat, Kamis (20/6/2024). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Titi Anggraini, menekankan pentingnya perempuan mengupayakan aktivisme masyarakat dan sosial di tengah ekosistem hukum yang abusif dan bermasalah.
“Dalam konteks tantangan ke depan, seperti apa kepemimpinan perempuan? Apa yang bisa kita harapkan ketika kepemimpinan perempuan yang formal dalam situasi ekosistem hukum yang memang abusif dan bermasalah? Jadi dalam konteks itulah aktivisme masyarakat yang harus kita ikhtiarkan bersama,” jelas Titi dalam Dialog Publik Peringatan Hari Kartini bertajuk Jalan Terjal Kepemimpinan Politik Perempuan di Era Pemerintahan Prabowo di Hotel AONE, Jakarta Pusat, Kamis (20/6/2024).
Ia juga menyampaikan pentingnya perempuan untuk tetap terhubung dengan gerakan masyarakat sipil, sehingga kepemimpinan etis perempuan, baik formal maupun informal, tetap ada.
“Saya menggunakan pekerjaan yang sedang saya jalani untuk tetap terhubung dengan gerakan masyarakat sipil, sehingga di mana pun kepemimpinan perempuan formal maupun informal dalam ruang-ruang profesi yang namanya kepemimpinan etis perempuan itu tetap ada, termasuk menjaga regenerasi di kelompok perempuan muda,” tegas Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.
Titi juga menyoroti kontribusi mahasiswa hukum dalam menguji UU TNI di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai contoh nyata geliat aktivisme muda.
“Dua permohonan uji materi UU TNI diajukan oleh mahasiswa. Di setiap gugatan, selalu ada aktivis perempuan muda yang terlibat. Ini bukti bahwa ruang kepemimpinan alternatif bisa lahir dari gerakan hukum,” ungkapnya.
Titi juga menyarankan untuk membangun aktivisme masyarakat di tiga ranah yaitu ranah sosial, aktivisme digital dengan ruang digital yang ada, dan aktivisme hukum.
Selaras dengan Titi, mantan Komisioner KPU RI Ida Budiati juga menekankan pentingnya kesadaran masyarakat dalam melakukan kontrol sosial sebagai warga negara.
“Budaya masyarakat yang belum aware (sadar) bagaimana berperan dalam mengelola organisasi negara, ada gap (celah) yang sangat besar antara peran demokrasi dengan awareness masyarakat dengan melakukan kontrol sosial,” tekannya.
Ida juga mengutarakan bahwa peningkatan kuantitas keterwakilan perempuan pada Pemilu dan saat ini masih berkaitan dengan politik dinasti atau mereka yang memiliki kepentingan.
“Jika dilihat dari hasil Pemilu hari ini, jumlah perempuan memang secara kuantitatif dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya itu naik, tetapi pertanyaannya, siapakah mereka? Kalau dilihat, pasti ada kaitannya dengan politik dinasti atau pemodal,” ujarnya.
Manajer Riset Kondedotco Lutfi Maulana Adhari menyinggung keterwakilan perempuan dalam politik. Ia mempertanyakan apakah keterwakilan perempuan itu masih berada pada tahap politics of presence (sekadar kehadiran) atau telah bergerak ke politics of ideas (gagasan)?
“Jika melihat Pilkada kemarin dan hari ini, kita masih berbicara ada atau tidaknya perempuannya bukan pada bagaimana kebijakannya terhadap perempuan atau bagaimana mereka bisa merepresentasikan perempuan,” jelasnya.