DPR Klaim KUHAP Baru Perkuat Hak Warga, Publik Sipil Ingatkan Celah Penyalahgunaan
Rabu, 9 Juli 2025 | 18:00 WIB
Jakarta, NU Online
Komisi III DPR RI melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang diklaim sebagai pembaruan besar sistem peradilan pidana Indonesia.
Ketua Komisi III, Habiburokhman, menegaskan bahwa DPR berkomitmen penuh menjadikan KUHAP sebagai produk hukum yang berpihak pada warga negara.
“KUHAP ini sangat penting karena mengatur relasi antara negara dan warga negara. Fokus kami adalah penguatan hak-hak warga yang berhadapan dengan hukum, termasuk tersangka, terdakwa, terpidana, dan saksi,” tegas Habiburokhman saat diwawancarai di kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Salah satu sorotan utama adalah penguatan peran advokat. Ia mengaku pengalaman pribadinya saat menjadi kuasa hukum dalam kasus-kasus politik menunjukkan betapa timpangnya posisi pembela dalam sistem hukum saat ini.
“Saya dulu mendampingi tersangka makar 212. Kami hanya boleh duduk, diam, dan mencatat. Bahkan tidak bisa protes atau menyela saat penyidik bertanya. Di KUHAP ini, advokat akan diberi ruang bicara aktif, bahkan bisa menyatakan keberatan, dan keberatan itu wajib masuk berita acara,” katanya.
Habiburokhman menekankan bahwa dalam RUU KUHAP, advokat akan diperbolehkan mendampingi siapa pun sejak awal proses pemeriksaan.
"Bukan hanya terdakwa. Siapa pun yang dimintai keterangan oleh penegak hukum baik sebagai saksi, orang yang diklarifikasi, atau pemberi informasi bisa didampingi advokat. Ini baru penguatan hak," ujarnya.
Menjawab kritik soal transparansi pembahasan, ia menegaskan bahwa seluruh rapat pembahasan dilakukan terbuka dan bahkan disiarkan langsung.
“Pembahasan DIM, kerja timus (tim perumus) dan timsin (tim sinkronisasi), hingga rapat tingkat pertama semua dilakukan terbuka dan kami minta live streaming diaktifkan. Kalau ada masyarakat yang mau kasih masukan, silakan tonton dari rumah," kata Habiburokhman.
Ia juga menanggapi permintaan agar RUU KUHAP segera rampung karena banyak RUU lain yang mengantre.
“Pimpinan DPR mendorong agar pembahasan KUHAP diselesaikan secepatnya. Tapi kami pastikan tidak terburu-buru. Hari ini saja kawan-kawan sebenarnya mau lanjut, tapi sudah lelah. Besok kami lanjutkan lagi,” imbuhnya.
Habiburokhman menyatakan bahwa DPR membuka ruang dialog untuk memperbaiki substansi pasal-pasal yang dianggap kontroversial.
“Kami terbuka terhadap masukan masyarakat. Tapi jangan dulu menghakimi sebelum naskah final keluar. Yang kami bahas di Komisi III akan disempurnakan bersama,” pungkasnya.

Potensi Lemahkan Hak Sipil
Namun di tengah upaya legislatif ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mengingatkan bahaya pembahasan yang terburu-buru dan substansi pasal-pasal yang dianggap berpotensi melemahkan hak sipil.
Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur menilai proses penyusunan RUU KUHAP sejak awal sudah bermasalah. Ia menyebut adanya dugaan manipulasi partisipasi publik dan pengabaian masukan masyarakat sipil.
“Kami diundang Januari, tapi awal Februari sudah muncul draf dan naskah akademik yang sama sekali tidak mencerminkan masukan kami. Ini manipulasi partisipasi publik,” ujar Isnur dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil di Jalan H Agus Salim, Gambir, Jakarta pada Selasa (8/7/2025).
Baca Juga
Delik Agama Dalam RUU KUHP Belum Terukur
Dia juga menilai bahwa KUHAP seharusnya menjadi perisai terhadap penyalahgunaan wewenang aparat, bukan memperlonggar celah represif.
“Kita bicara masa depan hukum pidana. Kalau KUHAP disahkan seperti ini, siapa pun bisa jadi korban penyalahgunaan kekuasaan,” tegas Isnur.
Iftita sari dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut RUU KUHAP versi DPR maupun pemerintah sama-sama bermasalah. Ia menyoroti lemahnya kontrol pengadilan terhadap tindakan aparat.
"Upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, seharusnya wajib seizin pengadilan. Tapi di RUU ini, justru ada pengecualian karena alasan ‘kondisi mendesak’ yang ditentukan sepihak oleh penyidik. Ini membuka celah penyalahgunaan kekuasaan dan menormalisasi pelanggaran," jelas Tita.